telusur.co.id - Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengapresiasi beberapa program quick wins pemerintah pusat di bidang pendidikan, termasuk kenaikan anggaran pendidikan, berdasarkan pidato Presiden Prabowo dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026. Anggaran pendidikan 2026 ditetapkan sebesar Rp 757,8 triliun, naik 4,63 persen dibandingkan anggaran sebelumnya yang sebesar Rp724,3 triliun.
"Namun P2G menyayangkan, karena setelah diamati lebih jauh ternyata anggaran pendidikan yang fantastis Rp 757,8 triliun itu dipakai sebesar 44,2 persen untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG)," kata Kornas P2G Satriwan Salim, dalam keterangannya, Senin, 18 Agustus 2025.
P2G lantas memberi tanggapan kritis terkait hal ini. Pertama, postur anggaran demikian dirasa kurang tepat sasaran. P2G terkejut dengan alokasi anggaran pendidikan yang hampir separuhnya untuk MBG.
“Kami terkejut, 335 triliun atau hampir setengah anggaran pendidikan ternyata dipakai untuk program MBG. Padahal masih banyak persoalan mendasar pendidikan dan guru harus dibenahi dan dibiayai pemerintah," kata Satriwan.
Jika memandang postur APBN 2025 sebenarnya alokasi untuk pendidikan dasar dan menengah tidak mendapatkan alokasi yang proporsional.
"P2G menyesalkan anggaran pendidikan 20 persen sebagai mandatory spending justru lebih besar dialokasikan pada kementerian lain yang tidak mengelola pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah. Padahal persoalan utama pendidikan Indonesia, masih berkutat pada pendidikan dasar dan menengah termasuk jenjang PAUD," kata Satriwan.
P2G menilai, pemerintah Prabowo-Gibran belum fokus terhadap pembenahan pendidikan dasar dan menengah termasuk PAUD. Buktinya saja Kemdikdasmen hanya mendapat alokasi 33,5 triliun atau sekitar 4,6% saja dari 20% APBN 2025 untuk pendidikan. Tampak kontras dengan anggaran MBG.
Mestinya, program MBG tidak boleh mengambil dari anggaran pendidikan 20%. Sebab, anggaran MBG tidak secara langsung atau eksplisit diperintahkan oleh konstitusi, berbeda dengan anggaran pendidikan dan hak warga negara mendapat pendidikan yang disebut eskplisit dalam pasal 31 ayat 1-5 UUD NRI Tahun 1945.
Kedua, P2G berharap Pemerintah melakukan refocusing anggaran pendidikan dari kementerian-kementerian di luar kementerian pendidikan. Ada sekitar 23 kementerian lembaga yang juga mengambil alokasi 20% anggaran pendidikan. Seperti penyelenggaraan pendidikan ikatan dinas dan sekolah di bawah kementerian seperti Kemenkeu, Kemdagri, Kementan, Kemenhan, dan lainnya.
"Anggaran sekolah ikatan dinas yang dikelola kementerian, non-kementerian pendidikan lebih dari 100 triliyun, mestinya itu kemudian direalokasi ke kementerian yang mengurusi pendidikan saja agar lebih berkeadilan, proporsional, dan tepat sasaran sesuai perintah konstitusi," kata Satriwan .
Sementara itu, pernyataan Menkeu Sri Mulyani menyedihkan hati para guru dan dosen, karena seakan-akan menjadi beban anggaran negara.
"Semestinya Kemenkeu tidak perlu mengambil anggaran pendidikan 20%, karena akan mengurangi alokasi yang seharusnya untuk guru dan dosen. P2G heran mengapa Kemenkeu masih saja menggunakan anggaran pendidikan jika menganggap guru dan dosen adalah beban negara," Satriwan melanjutkan.
Ketiga, P2G mendesak Presiden Prabowo agar merealisasikan janjinya untuk kesejahteraan guru, dosen, dan tenaga kependidikan
Mengingat dalam Astacita Prabowo-Gibran disebut akan mewujudkan "Standar Upah Minimum Guru Non ASN dan Honorer".
"Janji mewujudkan standar upah minimum guru non ASN ini yang kami tagih sejak awal. Pemerintah Prabowo melalui RAPBN 2026 hendaknya segera menetapkan standar upah minimum tersebut. Jika ingin menunjukkan komitmennya," kata Iman Zanatul Haeri, Kabid Advokasi Guru P2G.
Iman menjelaskan, sampai kini pemerintah belum menetapkan standar upah minimum bagi guru non-ASN, termasuk guru-guru honorer. Sehingga kesejahteraan guru non-ASN, guru honorer, guru madrasah swasta, guru PAUD, penghasilannya masih jauh di bawah penghasilan minimum para buruh.
Pemerintah hendaknya menyadari perintah UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pasal 14 ayat 1 huruf a, bahwa guru berhak mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan minimum.
"Bagi P2G, pemberian insentif dan BSU dari pemerintah untuk guru sejatinya bukan kado HUT RI ke-80. Sangat tidak tepat pemerintah menggunakan istilah "kado untuk guru". Maaf, bukan kami kufur nikmat, tapi insentif 300 ribu perbulan bukanlah kado, tapi pemenuhan hak guru, yang itupun tidak terpenuhi seutuhnya," terang Iman.
Masih banyak guru honorer maupun non-ASN, seperti guru swasta termasuk guru madrasah, guru PAUD yang upahnya 200 ribu - 500 ribu perbulan, masih jauh di bawah standar upah minimum regional.
"Jika Presiden betul-betul ingin mensejahterakan guru, khususnya guru non-ASN maka sudah semestinya Pak Prabowo merealisasikan janji beliau di dalam Astacita yaitu penetapan standar upah minimum bagi guru-guru non-ASN yang berlaku secara nasional," kata Iman.
"Jadi kami melihat anggaran pendidikan yang sangat fantastis ini angkanya mencapai 757 triliun dari APBN, tetapi sebenarnya tidak dinikmati dan belum berdampak pada kesejahteraan guru non ASN. Pun belum berdampak terhadap peningkatan kualitas pendidikan dasar dan menengah, pembenahan literasi numerasi, kompetensi guru, masih ada 1,4 juta guru belum mendapat tunjangan profesi, termasuk untuk mewujudkan Wajib Belajar 13 tahun," kata guru honorer ini.
Keempat, P2G berharap Pemerintah melakukan penataan ulang terkait dengan tata kelola sekolah. Mengacu pada UUD NRI Tahun 1945 pasal 31 ayat 3, bahwa pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional.
Menurut Iman, P2G berharap pemerintah memperbaiki tata kelola pendidikan khususnya pengelolaan sekolah. Satuan pendidikan seperti SMA Unggul Garuda dan Sekolah Rakyat hendaknya dikelola oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Sehingga perintah konstitusi terselenggaranya satu sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara konsisten.
"Tidak seperti sekarang, terjadi tumpang tindih antarkementerian pendidikan, Kemensos, pemda, dari aspek program, implementasi, termasuk rekrutmen siswa dan gurunya," kata Iman.
P2G juga memperhatikan fenomena para murid dan guru Sekolah Rakyat yang ramai-ramai mengundurkan diri. Ini pertanda bahwa ada tumpang tindih tata kelola multisistem sekolah. Kemensos tidak punya reputasi mengelola sekolah, apalagi sekolah berasrama. Seharunsnya, masalah ini bisa dideteksi dari awal.
Ditinjau dari sisi anggaran, RAPBN 2026 mengalokasikan dua tahap pembangunan untuk 200 Sekolah Rakyat sebesar 24,9 triliun, dan 9 triliun untuk 9 SMA Unggul Garuda. Sementara untuk Revitalisasi 12.560 sekolah dan madrasah hanya sebesar 22,5 triliun.
"Kami melihat alokasi ini tumpang tindih dan tidak tepat sasaran, revitalisasi 12 ribu sekolah dan madrasah anggarannya lebih kecil daripada 200 Sekolah Rakyat. Padahal 12 ribu sekolah tersebut menampung jutaan murid. Kontras dengan 200 Sekolah Rakyat yang hanya menampung sekitar 100 ribu murid saja," kata Iman.
Bahkan tiap murid Sekolah Rakyat mendapatkan laptop. Ini jelas diskriminasi, sebab di sekolah umum juga ada anak-anak dari jalur afirmasi keluarga miskin, tapi tidak mendapatkan fasilitas semewah dan selengkap anak-anak di Sekolah Rakyat. Padahal mereka sama-sama anak Indonesia dan sama-sama dari keluarga miskin.
Kelima , P2G mendorong pemerintah segera merealisasikan keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai pendidikan dasar gratis. Sehingga sekola dan madrasah swasta tetap dapat menyelenggarakan pendidikan yang dibiayai oleh negara dan anak-anak Indonesia yang tak tertampung di sekolah negeri tetap mendapat hak pendidikannya, sebagaimana perintah MK.
"Sayangnya, membaca postur RAPBN 2026, pemerintah belum menunjukkan _political will_ melaksanakan keputusan MK terkait pendidikan dasar gratis," kata Iman.
P2G berharap pemerintah pusat jangan hanya berpihak pada anak di Sekolah Rakyat dan SMA Unggul Garuda saja. Janganlah pemerintah mengabaikan dan tidak memprioritaskan hak pendidikan anak di sekolah negeri dan swasta lainnya, termasuk para gurunya.[Nug]