telusur.co.id - Di tengah ketegangan regional yang semakin memuncak, Panglima Tertinggi Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), Mayor Jenderal Hossein Salami, mengeluarkan pernyataan tajam dan penuh tantangan kepada musuh-musuh Iran. Dalam sebuah pertemuan di timur laut Iran pada hari Selasa, Salami menyampaikan pesan yang jelas: Iran siap menghadapi skenario apa pun, dan siapa pun yang berani menyerang akan "dihancurkan."
“Kami mengetahui musuh kami sepenuhnya dan memantau setiap gerakannya. Kami berdiri gagah meski diplomasi terus berlangsung. Jika ada yang nekat menyerang Iran, mereka akan hancur,” ujar Salami dengan nada penuh keyakinan.
Pernyataan tersebut dilontarkan di tengah terus berlanjutnya negosiasi nuklir tidak langsung dan ancaman militer dari Amerika Serikat jika kesepakatan tak tercapai. Namun, Salami menepis tekanan itu, sembari menyombongkan kekuatan militer Iran yang disebutnya telah berkembang "berkali-kali lipat" hanya dalam setahun terakhir.
Front Perlawanan: Dari Gaza ke Tel Aviv
Salami juga menyanggah klaim bahwa Front Perlawanan yang terdiri dari berbagai kelompok bersenjata anti-Israel di Timur Tengah telah melemah akibat agresi militer Zionis. Justru sebaliknya, katanya, kekuatan perlawanan tengah menanjak.
“Gaza kini lebih kuat dari sebelumnya, Yaman menyerang lebih efektif, dan Hizbullah telah bangkit kembali,” tegasnya.
Salah satu bukti terbaru dari ketahanan ini adalah serangan rudal balistik hipersonik yang diluncurkan oleh Ansarallah (Houthi) Yaman ke Bandara Ben Gurion, Tel Aviv. Serangan itu membuat jutaan warga Israel berlindung dan menghentikan aktivitas bandara selama hampir satu jam sebuah aksi yang menunjukkan bahwa sistem pertahanan canggih seperti Arrow dan THAAD bukanlah jaminan keamanan mutlak.
Runtuhnya Mitologi Ketangguhan Israel
Dalam narasi Salami, citra Israel sebagai kekuatan militer tak tertandingi kini mulai retak. Ia bahkan meremehkan kemampuan Tel Aviv dalam menahan gempuran besar.
“Jika satu rudal Ansarallah saja membuat mereka panik, bagaimana jika 600 rudal menghantam sekaligus?” katanya menyindir.
Salami menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebagai "penjahat perang yang dihantui bayangan penangkapan," dan menggambarkan Israel sebagai entitas yang tengah runtuh secara politik, ekonomi, dan moral.
“Secara politik, mereka sudah kolaps. Bahkan Eropa tak lagi tertarik menjalin hubungan. Tanpa dukungan AS, Israel takkan bertahan sehari pun,” tegasnya.
AS: Raksasa yang Letih dan Terpecah
Tak hanya Israel, Salami juga menyasar Amerika Serikat. Ia menyebut Negeri Paman Sam sebagai kekuatan global yang mulai meredup, dengan kepemimpinan lemah dan institusi yang kelelahan akibat krisis beruntun.
“AS tahu bahwa perang tidak menyelesaikan masalah mereka. Mereka menghadapi militer yang letih, politikus yang terkepung, dan krisis demi krisis di dalam negeri,” katanya.
Menyoroti masa pemerintahan Donald Trump, Salami menyindir bahwa meski Trump datang dengan ambisi “mengubah dunia,” pada akhirnya ia justru “diubah oleh dunia” dan gagal menepati janji-janji besarnya.
Gema Perlawanan dan Bayangan Perubahan
Di tengah agresi militer dan tekanan diplomatik, Iran justru mengokohkan sikapnya sebagai pusat perlawanan regional. Dari Gaza hingga Yaman, dan dari Lebanon hingga Iran, semangat resistensi disebut semakin menguat, sementara poros kekuatan lama—Israel dan AS dilukiskan semakin goyah.
Pernyataan Salami adalah bagian dari narasi yang terus dikembangkan oleh Teheran: bahwa Front Perlawanan bukan hanya bertahan, tapi juga bangkit dan mendesak dominasi geopolitik lama.
“Tidak ada yang dapat mengabaikan kekuatan baru yang sedang tumbuh. Kami tidak akan mundur, dan kami tidak akan dikalahkan,” pungkasnya.[]