Telusur.co.id -Oleh: Rusydi Umar, Dosen S2 Informatika, Universitas Ahmad Dahlan
Di layar ponsel, semuanya tampak sederhana. Pilih barang, klik bayar, lalu muncul opsi “beli sekarang, bayar nanti”. Tidak ada antrean, tidak ada tatap muka, tidak pula pertanyaan panjang tentang kemampuan membayar. Dalam hitungan detik, barang berpindah tangan, sementara utang perlahan tumbuh di balik layar. Bagi sebagian remaja, inilah wajah baru konsumsi digital: cepat, ringan, dan nyaris tanpa rasa bersalah.
Paylater dan pinjaman online kini bukan lagi domain orang dewasa. Aplikasi-aplikasi itu hadir dengan tampilan ramah, bahasa santai, dan promosi yang terasa akrab dengan dunia anak muda. Remaja yang bahkan belum memiliki penghasilan tetap dapat mengakses fasilitas kredit hanya bermodalkan identitas digital. Utang tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan bagian dari gaya hidup.
Tekanan terbesar datang dari lingkungan digital itu sendiri. Media sosial membentuk standar baru tentang “normal”: ponsel terbaru, nongkrong di kafe, belanja daring, atau sekadar ikut tren. Dalam arus ini, kemampuan finansial sering kali tertinggal di belakang keinginan untuk terlihat setara. Paylater menjadi jalan pintas agar tidak tertinggal, meski konsekuensinya belum sepenuhnya dipahami.
Masalahnya bukan semata soal cicilan. Yang lebih mengkhawatirkan adalah perubahan cara berpikir tentang uang. Remaja mulai terbiasa hidup dengan konsep memiliki sebelum mampu. Menabung dan menunggu terasa kuno di tengah budaya instan. Ketika kebutuhan dan keinginan bercampur, utang menjadi solusi yang dianggap wajar, bahkan normal.
Pinjaman digital juga hadir tanpa pengalaman sosial yang biasanya membuat seseorang berpikir dua kali. Tidak ada rasa sungkan seperti meminjam ke bank atau keluarga. Yang ada hanyalah notifikasi dan persetujuan otomatis. Utang menjadi sunyi, tetapi dampaknya nyata. Saat jatuh tempo datang, barulah tekanan muncul—dalam bentuk pesan, panggilan, dan kecemasan yang sering ditanggung sendiri oleh remaja.
Di usia yang masih mencari jati diri, kondisi ini berisiko besar. Remaja belum sepenuhnya matang dalam mengambil keputusan jangka panjang, sementara aplikasi keuangan menawarkan kepuasan instan. Ketidakseimbangan ini membuat mereka belajar tentang keuangan bukan melalui pemahaman, melainkan dari pengalaman pahit menghadapi tagihan.
Larangan semata tidak cukup menjawab persoalan ini. Dunia digital sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja. Yang dibutuhkan adalah pendampingan dan percakapan yang jujur tentang uang. Orang tua dan sekolah perlu membuka ruang diskusi, bukan sekadar memberi nasihat. Remaja perlu diajak memahami bagaimana utang bekerja, apa konsekuensinya, dan mengapa menunda keinginan justru memberi kebebasan.
Teknologi sebenarnya bisa menjadi alat edukasi, bukan hanya konsumsi. Remaja dapat belajar mengatur uang dari hal sederhana: anggaran kecil, prioritas belanja, dan memahami selisih antara mampu dan ingin. Kesadaran ini tidak lahir dari ceramah, tetapi dari pengalaman yang dibimbing.
Di sisi lain, platform digital juga memegang tanggung jawab etis. Akses kredit tanpa pendampingan pada kelompok usia rentan membuka ruang masalah sosial baru. Ketika kemudahan lebih diutamakan daripada perlindungan, risiko dialihkan sepenuhnya kepada pengguna yang belum siap.
Fenomena paylater dan pinjol pada remaja sejatinya mencerminkan masyarakat yang memuja kecepatan. Kita ingin segalanya sekarang, tanpa jeda. Namun, kedewasaan finansial justru tumbuh dari jeda itu dari kemampuan menahan diri dan memahami batas.
Jika generasi muda dibiasakan berutang sebelum berpenghasilan, maka persoalannya bukan lagi individu, melainkan masa depan. Literasi finansial bukan sekadar soal angka, tetapi tentang kesadaran. Dan kesadaran itu seharusnya dibangun sebelum utang datang lebih dulu daripada pemahaman.



