telusur.co.id -SURABAYA – Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) semakin mengokohkan komitmennya terhadap kesehatan masyarakat. Hal ini ditunjukkan dalam Sidang Senat Terbuka yang menandai Hari Lahir (Harlah) ke-12, yang digelar pada Rabu (13/8) di Auditorium Unusa Tower. Acara ini juga menjadi ajang bagi tiga dosen untuk menyampaikan orasi ilmiah mengenai berbagai isu kesehatan.
Ketua Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya (YARSIS), Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA, mengatakan bahwa keberhasilan Unusa melampaui usianya, terlihat dari capaian akreditasi yang membanggakan. Sejak awal didesain bukan sebagai universitas biasa, Unusa terus berkembang. “Hanya menitipkan sesuatu di satu titik tidak cukup untuk menjadi tempat tinggal. Kita harus menambah titik-titik lain hingga membentuk ruang yang bermanfaat. Kita akan mengembangkan Unusa menjadi kampus yang unggul, kedepannya kita akan membuka program PPDS Jantung serta Obgyn, S2 Kesehatan Masyarakat, serta Pendidikan Profesi Gizi” imbuhnya.
Rektor Unusa menambahkan bahwa orientasi Unusa selalu bermuara pada kemanfaatan. “Meskipun tantangan semakin berat, jika kita mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, maka manfaatnya akan benar-benar dirasakan. Karena itu, pada peringatan Harlah kali ini, kami mengangkat tema ‘Terus Berinovasi Meraih Kejayaan’,” ungkapnya. Ia juga menekankan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang selalu memberikan manfaat bagi sesamanya.
Pada acara tersebut, tiga dosen Unusa yang baru meraih gelar doktor menyampaikan orasi ilmiah bertema kesehatan:
-
Dr. dr. Ardyarini Dyah Savitri, SpPD FINASIM dengan materi Pencegahan Dini Penyakit Ginjal Diabetik DM Tipe 2: Mewujudkan Indonesia Sehat.
-
Dr. Yurike Septianingrum, S.Kep., Ns., M.Kep. dengan pidato tentang Inovasi Model Dukungan Manajemen Diri dalam Transisi Perawatan Pasien Stroke.
-
Dr. Agus Aan Adriansyah, S.KM., M.Kes. yang mengangkat masalah Model Social Competence untuk Peningkatan Kinerja Postnatal Care Bidan.
Dr. Ardyarini Dyah Savitri menjelaskan, Penyakit Ginjal Diabetik (PGD) akibat Diabetes Melitus (DM) tipe 2 merupakan komplikasi serius dengan risiko tinggi. Ia menyoroti tingginya biaya penanganan penyakit ginjal, yang menurut data BPJS Kesehatan, mencapai Rp 11 triliun pada tahun 2024. “Tingkat prevalensi ini terus meningkat pada tahun 2018 dan 2023, dimana prevalensi pada tahun 2018 mencapai 10,9% berdasarkan data Riskesdas tahun 2018 dan menjadi 11,7% pada tahun 2023 berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023,” katanya. Ardyarini menyarankan terapi farmakologi dan penggunaan bahan alami seperti stroberi yang kaya antioksidan untuk mengendalikan kadar gula darah.
Dr. Yurike Septianingrum menyoroti stroke sebagai penyebab utama kecacatan dan kematian di dunia. Di Indonesia, prevalensi stroke tahun 2018 mencapai 10,9%, dengan Jawa Timur sebagai salah satu provinsi dengan kasus tertinggi. Yurike mengembangkan Model Dukungan Manajemen Diri Berbasis Perawatan Transisi, yang bertujuan meningkatkan kemandirian pasien stroke. “Saya meyakini ketika pasien memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuannya, maka ia akan lebih termotivasi untuk mengelola kesehatannya secara aktif dan bertanggung jawab, bahkan setelah keluar dari rumah sakit,” tuturnya.
Dr. Agus Aan Adriansyah mengangkat isu kesehatan ibu pasca persalinan. Ia mengungkapkan bahwa lebih dari 65% kematian ibu di Indonesia terjadi pada masa nifas. Agus Aan menyampaikan bahwa masih banyak kendala di lapangan, termasuk kualitas layanan postnatal care (PNC) yang belum optimal dan rendahnya kesadaran ibu nifas. Untuk mengatasi masalah ini, ia mengembangkan Model Social Competence pada bidan. "Model ini menempatkan kesadaran sosial --meliputi empati, orientasi pelayanan, dan kesadaran organisasi-- sebagai fondasi utama untuk membangun keterampilan sosial, serta memperkuat komunikasi interpersonal dan kemitraan antara bidan, ibu nifas, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya,” jelasnya. Model ini diharapkan dapat menciptakan bidan yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga memiliki kemampuan sosial-emosional yang kuat.