Resensi Buku, Usaha Awal Melihat Ulang Perkembangan Islam Politik di Indonesia - Telusur

Resensi Buku, Usaha Awal Melihat Ulang Perkembangan Islam Politik di Indonesia


Oleh: Lukman Hakiem 
(Peminat Sejarah)

Subandi Rianto, Menimbang Negara Islam, Perbandingan Pemikiran Politik Natsir dan Kartosuwiryo 1900-1959, Yogyakarta, Integritas Media,2022, XII +  179 halaman.

Buku karya Subandi Rianto ini berasal dari tesis S2 untuk meraih Magister Humaniora daldm Ilmu Sejarah  Universitas Gsdah Mada yangtelah diuji dan dinyatakan lulus pada skhir 2019.

Ketua Program Studi Ilmu Sejarah UGM, Farabi Fakih, Ph.D., yang memberi Kata Pengantar  untuk buku ini memuji ketekunan Subandi menelusuri perkembangan politik Islam sejak abad XX sebagai bagian dari persebaran jaringan ide internasional Pan Islsamisme

Terdiri dari 5 Bab, melalui buku ini Subandi menelusuri biografi singkat Natsir dan Kartosoewirjo, dua tokoh  yang lahir dari guru yang sama, ilmu yang sama, tetapi berbeda dalam ijtihad mengenai cara mewujudkan Negara Islam. 

Dengan menelusuri karir politik dan perkembangan pribadi Natsir dan Kartosoewirjo, Subandi hendak melihat batasan-batasan dari politik Islam dalam perkembangannya di abad XX. Subandi juga ingin melihat betapa aspek-aspek tertentu dalam kehidupan masing-masing telah mempengaruhi mereka untuk mengambil jalan berbeda dalam mengekspresikan kepercayaan politik mereka. 

Perbedaan dari jalur yang berbeda bukan hanya menciptakan perpecahan dalam Islam politik,' tulis Subandi (viii), 'melainkan membuka ruang-ruang dialektis yang perkembangan intertektualitas antarnarasi dari jalur pan Islamisme bukan hanya membuka ruang bukan hanya untuk pertukaran internasional, bahkan pertukaran di antara spektrum beragam  dari Islam politik itu sendiri.

Seperti dicatat oleh Fakih, memang ada keterbatasan dari analisis dengan penulisan dua tokoh ini. Jalur Islam politik "liberal" dan 'Islam Nusantara" tampak luput dari kajian Subandi.  Jelas, intertektualitas dari narasi ini terbatas pada Islam politik yang dianggap konservatif. Tetapi, posisi Natsir yang kemudian dikenal sebagai sosok politisi Muslim yang demokratis dan berkomitmen kepada nilai-nilai republik yang inklusif, memberi harapan  penelusuran Subandi memberi harapan akan aspek evolutif dan dialektis dari Islam politik yang diambil oleh tokoh-tokohnya untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan demokrasi baru di masa kini dan nanti.

Ketimbang menggambarkan Islam politik sebagai sebuah pulau yang terpisah, di buku ini Subandi menggambarkan Islam politik sebagai bagian dari riak-riak pergerakan ide dan tokoh pada tingkat nasional dan internasional.

Di bagian akhir buku ini, Subandi mengungkapkan perbedaan antara Natsir dan Kartosoewirjo. Subandi melihat konsep pemikiran Natsir ysng cenderung kooperasi antara syariat Islam dengan demokrasi, serta mampu meramu konsep-konsep Pan Islamisme dan demokrasi secara baik.

Sementara Kartosoewirjo yang cenderung menawarkan konsep negara Islam dengan non kooperasi, mandiri dan tidak bekerja sama dengan kaum sekuler dan kolonial, memilih mendirikan Darul Islam.

Pokok-pokok Pan Islamisme yang didapat Kartosoewirjo melalui Sosialisme Islam Tjokroaminoto justru berhasil meramunya dengan pokok-pokok Narkisme yang dituangkan daldm konsep hijrah sepenuhnya dengan tidak bekerja sama dengan siapapun.

Kartosoewirjo yang revolusioner akhirnya memilih jalannya sendiri. Dia menjadi pejuang revolusioner yang berada di luar jalur negara-bangsa Indonesia. Menurut Subandi, ada perubahan corak pemikiran pemikiran Natsir. Corak pemikiran  Natsir disubperiode ideologi yang substantivistik ke formalistik ketika berada di Konstituante disebabkan oleh terbukanya peluang untuk mewujudkan gagasan Negara Islam secara demokratis. Bagi Subandi, perubahan ini menunjukkan, dalam keadaan apapun, Natsir tetap berada pada garda demokrasi.

Proses ini berbeda dengan Kartosoewirjo yang mendapat pengaruh sama kuat dari Pan Islamisme, Narkisme, dan Sosialisme Islam. 

Tjokroaminoto tampaknya mampu meramu semua gagasan itu ke dalam satu gagasan mengenai negara Islam 

Kartosoewirjo yang mendapat pengaruh Narkisme dari Mas Marco, sosialisme Islam dari Tjokroaminoto melalui perjuangannya dengan narasi-narasi perlawanan kelas, anti kolonialisme, dan antidiskriminasi seperti dapat dibaca pada tulisan & tulisannya di Fadjar Asia, yang telah dibukukan dengan judul Nasib Rakjat di Tanah Jajahan.

Perbandingan genealogi pemikiran Natsir dan Kartosoewiryo menjadi bukti bahwa di dalam nasionalisme Islam ydng berkembang di Hindia Belanda, terdapat dua corak pemikiran yang saling bertolak belakang, walaupun keduanya berkegiatan dalam organisasi yang sama sejak Jong Islamieten Bond (JIB), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Masyumi.

Natsir kemudian menjadi pemimpin Masyumi, menjadi politisi parlemen, menjadi menteri, dan Perdana Menteri, sebelum akhirnya didepak dari ranah politik oleh Presiden Sukarno .

Di zaman Orde Baru, Natsir dan kawan-kawannya yang bersikap kritis terhadap kekuasaan yang menindas, diperlakukan bagai kucing kurap oleh rezim Soeharto. Atas nama Pancasila, mereka dibunuh hak-hak hidupnya: dilarang jadi pegawai negeri, dilarang menjadi narasumber sesuatu pertemuan. Dilarang menjadi narasumber pers, dicegah ke luar negeri. Bahkan tidak boleh berada satu atap dengan Presiden dan atau Wapres.

Musim berganti, zaman berputar. Di masa reformasi, jasa Natsir bagi bangsa dan negara Indonesia diakui. Presiden SBY pada 2007 mengukuhkan Natsir sebagai Pahlawan Nasional.

Pemikiran Islam kontemporer menempatkan Natsir sebagai model politisi Muslim ideal yang mampu merumuskan Islam dengan demokrasi sementara Kartosoewirjo dengan Darul Islamnya selalu dikaitkan dengan lahirnya radikalisme Islam. 

Menurut, analis sayangnya dalam -Partai Masjumi  Antara Godaan Demokrasi dan  Islam Integral,, Remy Medinier di halaman  432 menulis: 'Pada saat berlangsung persidangan di Majelis Konstituante, salah satu tokoh pemimpin Kristen datang menemui Mohammad Natsir untuk menyatakan bahwa sebagai warga negara ia disebut mendukung pendirian negara Islam, dengan satu syarat ia harus diyakinkan bahwa Natsirlah dan bukan yang lain, yang akan menjadi Presiden' [] 
 


Tinggalkan Komentar