telusur.co.id - Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan, menekankan pentingnya revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan untuk memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan nasional. Menurutnya, pangan bukan sekadar isu teknis, melainkan menyangkut hidup dan matinya sebuah bangsa, sebagaimana ditegaskan oleh Bung Karno.
Johan menyampaikan bahwa UU Pangan yang berlaku saat ini belum mampu menciptakan ketahanan dan kedaulatan pangan berbasis produksi nasional. “Buktinya, ketersediaan pangan kita masih didominasi impor. Artinya, belum ada keberpihakan nyata terhadap produksi dalam negeri,” ujarnya.
Ia juga mengkritik dampak Undang-Undang Cipta Kerja yang menggeser tujuan penyelenggaraan pangan dari kedaulatan dan kemandirian menjadi semata-mata soal ketersediaan. “Apapun asal barang tersedia, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Ini penyimpangan dari semangat awal UU Pangan,” tegasnya.
Menurut Johan, UU Pangan saat ini juga tidak memberikan sanksi tegas terhadap ketergantungan impor, dan belum menunjukkan keberpihakan yang kuat terhadap petani dan produsen lokal. Ia menilai perlu adanya rumusan baru dalam revisi UU untuk memperkuat amanat konstitusi Pasal 33 UUD 1945.
Dalam paparannya, Johan juga menyoroti ketimpangan dalam sistem penyerapan hasil produksi petani oleh Bulog. “Bulog hanya diberi tugas menyerap 3 juta ton dari total produksi dalam negeri sekitar 19 juta ton. Sisanya tidak tersentuh, inilah yang menyebabkan banyak petani merasa tidak terlindungi,” ungkapnya.
Johan mengusulkan penguatan peran Bulog dan perlunya pembentukan Kementerian Pangan agar tata kelola pangan nasional menjadi lebih fokus dan terintegrasi. Menurutnya, kementerian ini bisa menjadi rumah koordinasi bagi lembaga seperti Bulog dan Bapanas.
Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya grand design strategi pangan yang meliputi empat pilar utama: produksi yang berdaulat dan berkelanjutan, distribusi yang adil dan terkendali, konsumsi yang lokal dan bergizi, serta cadangan pangan nasional yang tangguh dan mandiri.
“Negara tidak boleh menyerahkan urusan pangan pada mekanisme pasar semata. Negara harus hadir dan bertanggung jawab melindungi rakyatnya agar mereka bisa mengakses pangan yang cukup, layak, dan bergizi,” pungkas Johan.[iis]