Oleh : Smith Al Hadar
ENTAH kenapa, dalam lima tahun terakhir ini mahasiswa Indonesia seperti tersihir. Di mana-mana di kolong langit negeri ini, mereka terpaku tak bergerak. Hanya kadang mereka siuman sebentar, lalu nyaris tak terdengar lagi. Orang terheran-heran, lalu bertanya dengan masygul: sudah matikah akal sehat dan hati nurani mereka?
Pertanyaan tersebut layak saja karena masalah besar di negeri ini bertumpuk-tumpuk, masalah-masalah yang mengancam membangkrutkan negara, tanpa disentuh mahasiswa. Malah ada yang masuk kuliah pada 2014, bertepatan dengan saat Jae mulai berkuasa, kini sudah bergelar sarjana tanpa berkontribusi apa pun bagi negara semasa mereka menjadi mahasiswa. Seolah-olah selama masa itu (2014-2019) semuanya beres-beres saja, rezim sudah berjalan di jalur yang benar dan rakyat hidup sejahtera, adil, dan makmur, seperti di surga saja. Mengapa ini bisa terjadi? Apakah mahasiswa telah kehilangan idealisme? Idealisme yang kemudian membawa mereka ke posisi terhormat: agent of change.
Rakyat pun bertanya ke sana ke mari tentang redupnya idealisme mahasiswa itu. Tapi tak ditemukan jawaban. Ada memang yang mencoba menjelaskan secara sosial-budaya bahwa mahasiswa kini, yang adalah generasi milenial, tak lagi menggubris politik, sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka lebih tertarik pada gaya hidup dengan tubuh wangi, busana dan aksesori branded, dan menjalani kehidupan hedonistis. Menjadi kaya adalah satu-satunya parameter sukses seseorang. Tapi jawaban ini tidak memuaskan. Rakyat masih penasaran dan kadang merenung: kalau mahasiswa telah kehilangan idealisme, maka sama artinya dengan matinya api bangsa. Tidak, rakyat menutup wajah mereka dengan kedua belah tangan, menolak melihat realitas yang meremukkan benak dan hati mereka.
Memang lima tahun belakangan adalah periode ajaib bagi intelektual dan mahasiswa Indonesia. Kampus-kampus berubah menjadi kuburan massal. Tragisnya, tidak sedikit pimpinan kampus dan dosen yang justru mengebiri kesadaran politik mahasiswa. Mereka lebih berperan sebagai kepanjangan tangan penguasa daripada menjadi agen pencerahan bagi mahasiswa.
Tak muncul lagi para intelektual dan akademisi kritis yang menuntun bangsa ke jalan yang lurus. Yang untuk itu mereka harus terus-menerus mengingatkan rezim untuk taat hukum dan aturan. Konsisten pada komitmen memajukan dan menyejahterakan semua warga. Akibatnya, tak terdengar suara garang mahasiswa menuntut rezim menjalankan amanat penderitaan rakyat.
Apakah karena Indonesia kini sudah menyerupai taman firdaus yang dipenuhi berbagai buah-buahan ranum dan dialiri sungai susu? Apakah rezim Jae, melebihi rezim-rezim sebelumnya, tak bernoda sedikit pun sehingga tak ada alasan untuk diprotes? Apakah rezim telah memenuhi puluhan janji kampanyenya ataukah para cerdik pandai, masyarakat madani, dan mahasiswa telah kehilangan akal sehat akibat dihipnotis propaganda rezim melalui para influencer dan buzzer bayaran, serta media arus utama?
Sementara pertanyaan-pertanyaan itu menunggu untuk dijawab, berbagai fakta keras tentang kebobrokan rezim bermunculan ke permukaan. Fakta-fakta yang menindas rakyat dan berpotensi merusak negara.
Coba lihat ini. Rezim memeras rakyat dengan berbagai macam pajak dan menghapus atau mengurangi subsidi untuk rakyat, seolah-olah mereka telah makmur melebihi rakyat di negara-negara maju. Rakyat sempat bertanya, mengapa kami diperas sedemikian rupa? Tak ada jawaban dari para cerdik pandai, masyarakat madani, dan mahasiswa, kecuali jawaban dari rezim: pencabutan subsidi dan penarikan pajak demi untuk kesejahteraan dan keamanan hidup kalian, karena kami akan mengembalikannya kepada kalian juga untuk sebesar-besar kesejahteraan kalian.
Eh, rakyat saling berpandangan tak mengerti. Demi kesejahteraan kami? Tapi mengapa kami bertambah miskin? Dan rezim terperanjat ketika rakyat berseru: rezim ini lebih jahat dari rezim Soeharto. Soeharto membungkam kami, tapi memberi kompensasi kesejahteraan. Kalian menindas sekaligus memiskinkan kami. Pendukung reformasi pun bergetar. Ini bahaya, kalau rakyat tak percaya lagi pada demokrasi, bisa muncul lagi rezim otoriter seperti di masa lalu.
Fakta lain, rezim melemahkan demokrasi, kebebasan berkumpul dan berpendapat, pemberantasan korupsi, penegakan hukum, penindasan buruh, korupsi, salah urus negara, dan kebijakan amburadul terkait penanganan wabah virus corona. Masih banyak kebobrokan dan keonaran rezim yang ingin diprotes, tapi rakyat terserak di mana-mana tanpa pemimpin. Inilah yang membuat mereka tak berdaya. Dan rezim Jae yang dikendalikan Opung, yang seperti bulldozer, terus menerjang tanpa ampun, tanpa sensitifitas sosial, seolah ia mendapat mandat rakyat untuk menindas rakyat.
Dalam keputusasaan ini, sayup-sayup rakyat teringat Zaadit Taqwa, Ketua BEM UI. Dialah yang pada 2017 meniup peluit dan mengeluarkan kartu kuning buat Jae saat Jae memberikan pidato di acara Dies Natalis ke-68 UI di kampus Depok. Bukan main senangnya rakyat pada waktu itu. Dalam keadaan terkejut, mereka bertanya: apakah dia titisan Kong Hu Cu, Budha, Zaratustra, Musa, Yesus, atau Muhammad?
Masalahnya sudah terlalu lama mereka tak mendengar suara kenabian tentang pembebasan dan keadilan dari mahasiswa. Maka ketika Zaadit menggugat kebebalan rezim, rakyat berbodong-bondong berkumpul di hadapannya untuk mendengar apa yang dikatakannya, yang siapa tahu membawa harapan baru dan mengangkat belenggu dari leher mereka. Serta meyakinkan mereka bahwa mahasiswa masih sama seperti dulu: selalu menjadi yang terdepan dalam membela rakyat. Apalagi Zaadit mengatakan aksinya itu merupakan simbol peringatan kepada Jae bahwa masih banyak PR yang belum selesai. Salah satunya terkait kasus gizi buruk di Asmat yang menewaskan 72 warga Papua. Namun, rakyat kembali kecewa karena aksi Zaadit hanya seperti lintasan meteor, terang sebentar lalu padam. Gelap gulita dan kelaparan kembali membekap mereka.
Ketika keadaan semakin tak tertahankan lagi, mereka memaksa diri ke kampus untuk mencari pertolongan meskipun tak terlalu yakin suara mereka akan didengar. Mereka tahu sedikit-sedikit tentang sejarah pergerakan sosial negeri ini dan menemukan bahwa mahasiswa selalu menjadi pendobrak status quo sejak Boedi Oetama demi bangsa yang bermatabat, bebas dari penjajahan asing maupun penguasa lokal, serta kesejahteraan rakyat.
Dan, seperti yang mereka takutkan, di kampus mereka hanya menemukan pesta pora mahasiswa untuk merayakan budaya pop dunia yang remeh temeh, seolah-seolah mereka adalah mahasiswa Amerika. Wajah mereka tak lagi mengguratkan semangat mahasiswa zaman dulu, yang radikal dalam pemikiran dan gerakan demi kesehatan dan kemajuan ibu pertiwi jua. Hanya sesekali rakyat mendengar suara kritis dari pinggiran, dari orang-orang yang masih waras. Tapi suara-suara itu hanya seperti angin lalu, tak mampu menyadarkan rezim, apalagi menggoyahnya.
Ke mana lagi harus mengadu ketika para cerdik pandai, masyarakat madani, dan mahasiswa telah membuang empati mereka pada rakyat? Sudah demikian gersangkah negeri ini dari orang-orang cerdas, berbudi luhur, dan berbadan kurus karena menghabiskan malam-malamnya dengan berpikir tentang nasib bangsa?
Sementara itu, situasi semakin sulit membelit rakyat akibat krisis covid-19. Banyak orang kehilangan pekerjaan, usaha rakyat kecil dan menengah bangkrut, dan kemiskinan terhampar di seluruh negeri. Tak ada cahaya di ujung lorong gelap ini. Bahkan rezim semakin memperlihatkan arogansinya. Proyek pemindahan ibu kota negara yang banyak diprotes rakyat tetap dijalankan. RUU Omnibus Law Cipta kerja yang menindas buruh tetap dibahas DPR. Dan Perppu No 1 Tahun 2020 yang membenarkan piutang baru negara, serta kebebasan belanja pemerintah yang tak boleh dijatuhkan sanksi pidana kalau dianggap terjadi penyalahgunaan kekuasaan kalau ternyata kebijakan itu memproduksi KKN. Perppu ini diprotes tokoh-tokoh bangsa.
Sementara rakyat mencari-cari Zaadit-Zaadit baru, terdengar berita dari kejauhan bahwa mahasiswa akan segera turun ke jalan kalau parlemen tetap membahas Omnibus Law dan Perppu Keuangan Negara tetap diberlakukan. Berita ini lambat-lambat memunculkan harapan baru lagi pada rakyat, tapi dengan sikap hati-hati agar tak terlalu kecewa nanti kalau berita itu ternyata hoaks belaka.
Ya, rakyat mengambil sikap benefit of the doubt. Atau kalau berita itu benar adanya, semoga demonstrasi itu tak masuk angin seperti ketika mahasiswa menuntut penarikan revisi UU KPK yang melemahkan lembaga anti-rasuah itu. Waktu itu, protes massif mahasiswa di seluruh negeri sepertinya akan berhasil. Nyatanya, mahasiswa kemudian kembali tidur saat RUU itu disahkan menjadi UU di tengah merajalelanya korupsi.
Rakyat yang bingung bertanya: mengapa tiba-tiba saja mahasiswa melempem? Seolah-olah tak terjadi apa-apa sebelumnya, padahal demonstrasi itu telah meminta korban nyawa mahasiswa di Sulawesi Tenggara. Lalu muncul selentingan bahwa ketua-ketua BEM telah disuap rezim. Rakyat menolak percaya. Selain karena selentingan itu belum tentu benar, percaya pada berita itu berarti percaya bahwa hati nurani bangsa telah lenyap disapu rezim, yang kendati dungu memilki kekuatan sihir luar biasa.
Rakyat menolak percaya karena tak mau kehilangan harapan bahwa ke depan negeri ini masih dapat diperbaiki. Yang memperbaiki adalah mahasiswa juga seperti setelah mereka menjatuhan rezim Soekarno dan Soeharto.
Karena itu, kendati dengan sikap skeptis, rakyat masih bertanya: Apakah berita tentang rencana mahasiswa turun ke jalan benar adanya? Dan apakah kali ini demonstrasi itu akan terus berlanjut sampai tujuan tercapai?
Tak ada yang bisa menjawab kecuali mahasiswa sendiri. Bagaimanapun, belum pupus harapan dan penghormatan rakyat pada mahasiswa. Bila perlu, untuk menegaskan ulang bahwa mahasiswa adalah hati nurani rakyat, perjuangan mahasiswa harus lebih jauh daripada sekadar memprotes RUU Omnibus Law dan Perppu itu.
Negara kini sedang berada di tangan orang-orang yang tidak berkompeten dalam pengelolaannya. Kesemrautan itu makin menjadi-jadi dalam penanganan wabah virus corona yang telah berdampak pada krisis multidimensi. Karenanya, kapal Indonesia terancam karam. Rezim telah kehilangan kekuatan untuk menyelamatkannya. Maka, kalau mahasiswa jadi turun ke jalan, itu dapat berarti mereka akan mengayunkan palu godam ke kepala rezim. Ini hanyalah mimpi atau barangkali harapan saya. Toh, kadang mimpi bisa jadi kenyataan. Hidup mahasiswa!
Editor: Abdurrahman Syebubakar