telusur.co.id - Pakar politik, Arifki Chaniago menilai, usulan pemilihan kepala daerah kembali dilakukan melalui DPRD, merupakan langkah mundur dari capaian demokrasi elektoral Indonesia.
Hal itu menanggapi pernyataan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, di HUT Golkar ke-61, pada Jumat (5/12/2025), yang mengusulkan Pilkada dikembalikan ke DPRD. Dan, usulan itu juga dipertimbangkan oleh Presiden Prabowo agar meminimalis ongkos demokrasi dan tidak ditentukan oleh orang-orang yang berduit.
"Pilkada langsung memang tidak sempurna. Tetapi mengembalikannya ke DPRD bukan jawaban. Itu hanya memindahkan persoalan dari ruang publik ke ruang elite, dan publik akan membacanya sebagai pengurangan hak memilih," kata Arifki dalam keterangan tertulisnya, Senin (8/12/2025).
Arifki menjelaskan bahwa narasi "efisiensi pemilu" sering dipakai dalam diskusi elite, tetapi hampir tidak pernah menjadi keluhan utama rakyat di daerah. Yang justru dikeluhkan adalah buruknya tata kelola kampanye, lemahnya penegakan hukum pemilu, hingga minimnya edukasi politik.
"Kalau vas bunga jatuh karena raknya goyang, yang harus diperbaiki itu raknya, bukan menyembunyikan bunganya ke gudang. Demokrasi kita bermasalah bukan karena rakyat memilih langsung, tetapi karena infrastruktur politiknya tidak diperkuat," jelasnya.
Menurutnya, usulan kembali ke DPRD membuka pintu lebar bagi politik transaksional. Mekanisme pemilihan oleh segelintir anggota DPRD membuat akuntabilitas kepala daerah tidak lagi diarahkan kepada rakyat, tapi kepada elite yang memilih.
"Risikonya sederhana: kepala daerah lebih sibuk menjaga suara di ruang tertutup ketimbang bekerja untuk suara publik. Kita pernah hidup dalam model itu dan tidak ada nostalgia yang perlu dirayakan, " ungkapnya.
Dari sisi komunikasi politik, wacana ini juga dinilai tidak peka terhadap suasana publik. Di tengah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai dan lembaga legislatif, menawarkan pengalihan kewenangan pemilihan kepala daerah ke DPRD justru memperburuk jarak antara elite dan warga.
"Ini semacam pesan yang tidak sinkron: ketika publik menuntut transparansi dan partisipasi yang lebih besar, justru muncul wacana yang mengembalikan proses politik ke ruangan tertutup. Secara persepsi, ini langkah yang sangat kontra dengan arus publik," jelas Arifki.
Ia menambahkan, wacana ini tampak lebih sebagai manuver politik ketimbang kajian serius. Karena dengan Pilkada lewat DPRD kita tak lagi mengenal figur seperti Jokowi, Anies, Sandi, Ahok, Risma, dan lainnya. Pernyataan ini, tentu akan berdampak terhadap dinamika UU Pemilu dan kalkulasi parpol melihat potensi pemilu 2029.
“Kalau wacana sebesar ini muncul hanya sebagai lemparan awal tanpa desain lengkap, itu menunjukkan bahwa ini sekadar diskursus awal Undang-Undang Pemilu tahun 2026 yang sedang dilakukan 'tes ombak'. Aturan tidak boleh dikelola dengan metode ‘lempar dulu, lalu lihat 'siapa saja yang marah’ dan selanjutnya dibatalkan, " ungkapnya.
Direktur Eksekutif Aljabar Strategic ini menegaskan bahwa demokrasi lokal tidak perlu dirombak ke belakang, melainkan diperbaiki ke depan. Yang dibutuhkan adalah perbaikan regulasi, penguatan pengawasan, literasi politik, dan pembiayaan politik yang transparan. Bukan mencabut hak rakyat untuk memilih kepala daerahnya.
"Kita memperbaiki mesin, bukan mengganti penumpang," tegasnya.
Dengan bola wacana telah digulirkan, ia menilai respons publik dan partai lain akan menentukan apakah ide ini akan semakin mengecil atau justru menjadi perdebatan nasional. Yang jelas, demokrasi Indonesia layak mendapat argumen yang lebih kuat daripada sekadar alasan tidak mau pusing regenerasi kepemimpinan nasional yang berasal dari daerah.[Nug]



