telusur.co.id -The Indonesian Democracy Initiative (TIDI), sangat prihatin atas terjadinya penusukan terhadap Menkopolhukam Wiranto. Karenanya, TIDI mengutuk tindakan pelakunya, dan mengharapkan investigasi terhadap kejadian ini hingga tuntas. Kemudian, sebagai respon penusukan ini muncul pernyataan sejumlah pihak tentang perlunya Indonesia menyatakan "darurat sipil".
Direktur Eksekutif TIDI, Arya Sandhiyudha, menyatakan sesungguhnya gagasan penerapan status keadaan darurat sipil perlu kajian secara menyeluruh dan mendalam.
“Pertama, ada konsekuensi apabila darurat sipil diaktifkan punya konsekuensi membuat lahirnya rezim hukum baru dimana pengabaian dan pelanggaran konsep hukum positif yang ada dengan legitimasi status darurat sipil," kata Arya dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Selasa (15/10/19).
Arya menilai, bahwa kondisi Indonesia sekarang bilamana dibandingkan dengan situasi negara yang pernah menerapkan darurat sipil seperti Turki atau Mesir sangatlah berbeda.
Berbedanya ialah, tidak ada kebutuhan mendesak, karena hukum yang saat ini ada sebenarnya masih dapat digunakan secara efektif untuk menyelesaikan kondisi ini.
“Dalam kondisi penusukan skala kemarin, sebenarnya UU Terorisme (UU No. 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan terorisme) sudah dapat melokalisir permasalahan. Biasanya status darurat sipil digunakan pada saat kondisi konflik sosial seperti pemberontakan, kerusuhan atau bencana alam yang tidak dapat diatasi oleh alat kelengkapan secara biasa,” paparnya.
“Penusukan kemarin rasanya tidak cocok masuk dalam kondisi darurat sebagaimana disebutkan dalam UU 23 prp Tahun 1959 Tentang Keadaan Bahaya itu," tambahnya.
Kedua, lanjut Arya, menjelaskan kondisi penusukan itu sepertinya tidak juga masuk dalam kategori mengancam kedaulatan negara yang memenuhi klausul “jika tidak dinyatakan darurat maka kondisi Negara akan Roboh“ (lihat Penjelasan UU 23 Prp 1959-red).
"Saya sendiri lebih melihat bahwa kondisi penusukan, meski memilukan, belum sampai derajat ancaman objektif yang mengakibatkan kondisi yang memicu hadirnya rentetan ancaman yang mengancam kedaulatan dan pemerintahan pada umumnya. Mungkin, kalau pembantaian di Wamena oleh separatis yang jadi latar darurat sipil terbatas mungkin lebih diterima. Justru wacana darurat sipil yang dapat merobohkan negara karena akan disusul krisis ekonomi dan investasi lari," terang Arya.
Ketiga, tambah Arya, penetapan darurat sipil memungkinkan lahirnya benturan dan pelanggaran terhadap banyak prinsip demokrasi dan HAM yang akan merugikan Indonesia dari aspek indeks demokrasi dan aspek ekonomi.
Potensi negara dijelaskan Arya dapat dicitrakan massif oleh rakyat di dalam negeri dan komunitas internasional sebagai rezim represif yang berbahaya akan sangat merugikan dalam banyak aspek.
“Beberapa hal yang akan menimbulkan keresahan publik secara luas, status darurat sipil akan membuka ragam pembenaran untuk melakukan penyadapan secara massif, melakukan pelarangan konten radio dan tv, melakukan penggeledahan badan dan rumah, membatasi orang keluar rumah dan menyita barang barang dengan dalih bertentangan dengan ketertiban umum dan masih banyak lagi (lihat Pasal 8 sd.20 UU 23 prp 1959-red),” paparnya.
Arya menyebutkan, dalam kondisi darurat seperti ini, maka Presiden memiliki kekuasaan sangat luas. Termasuk untuk melakukan sabotase pada sejumlah hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Oleh karenanya, kondisinya sebenarnya sangat riskan. Jika tidak sangat mendesak, secara objektif menurutnya darurat sipil sebaiknya tidak digunakan.
“Keempat, kita semestinya mengutamakan prinsip kehati-hatian dalam bernegara. Seharusnya penetapan status darurat merupakan sebuah upaya terakhir dalam menghadapi permasalahan yang ada. Hanya manakala tidak ada upaya lain dalam hukum yang dapat menyelesaikannya maka barulah digunakan. Pun jika ada yang sedikit-sedikit mengaku darurat, maka sejatinya ia berpotensi menumbuhkan budaya melecehkan hukum positif sebagai produk kesepakatan bersama," paparnya.
Kelima, Arya menilai langkah darurat sipil berpotensi melumpuhkan instrumen Hukum dan meruntuhkan negara Hukum.
“Sekali dideklarasikan oleh Presiden maka hakim tidak dapat menguji keabsahan keputusan Presiden tersebut. Hal ini tercantum dalam Penjelasan Pasal 1 UU 23 Prp Tahun 1959 yang menyatakan “maka hakim tidak dapat menguji sebuah pernyataan keadaan bahaya apakah itu menurut hukum atau tidak,” tuturnya.
UU 23 Prp 1959 memang lahir pada era demokrasi terpimpin Soekarno. Pada masa itu Presiden adalah mandataris MPR dan bertanggung jawab pada MPR. Sehingga sebenarnya jika UU 23 Prp 1959 ini diaplikasikan pada kondisi Indonesia hari ini maka penetapan keadaan darurat tersebut tidak dapat digugat ke pengadilan administrasi negara.
Arya menambahkan, penerapan status darurat sebenarnya menurut Rositter merupakan salah satu bentuk tegas constitutional dictatorship yang berbahaya.
“Hal ini disebabkan hilangnya sejumlah kebebasan yang digantikan dengan komando terpusat pada kepala negara. Seharusnya ini langkah terakhir, paling akhir dan bukan merupakan gagasan coba-coba semata," demikian Arya. [asp]
Laporan : Fahri Haidar