telusur.co.id - Koalisi organisasi kemahasiswaan yang tergabung dalam Cipayung Plus Jawa Timur menyatakan penolakan tegas terhadap keputusan pemerintah yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto.
Pernyataan ini disampaikan dalam konsolidasi Cipayung Plus Jatim di Surabaya, Senin (10/12/2025), dan dituangkan pula melalui press release resmi dengan tajuk “Cipayung Plus Jatim Mendesak Presiden, Cabut Gelar Pahlawan Nasional Soeharto".
Melalui pers release tersebut, koalisi mahasiswa ini mendesak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto untuk segera mencabut gelar tersebut, yang dinilai mencederai keadilan sejarah dan nurani bangsa.
Cipayung Plus Jatim yang terdiri dari GMNI, HMI, PMII, IMM, GMKI, KAMMI, PMKRI, KMHDI, dan SEMMI menilai keputusan pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan langkah keliru dan berpotensi mengaburkan catatan kelam rezim Orde Baru.
Dalam pernyataan sikapnya, mereka menegaskan bahwa, pemberian gelar itu tidak sejalan dengan nilai moral, historis, dan yuridis sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Menurut Ketua DPD GMNI Jatim, Hendra Prayogi, keputusan pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto adalah bentuk kemunduran moral dan sejarah bangsa.
“Kita tidak bisa menutup mata dari fakta bahwa, era Soeharto penuh dengan pelanggaran HAM, pembungkaman demokrasi, dan korupsi. Memberinya gelar pahlawan berarti menistakan korban dan mengaburkan sejarah kelam bangsa ini,” lugasnya.
Ia menilai penghargaan negara seharusnya diberikan kepada figur yang menjaga integritas dan moralitas serta tidak punya cacatan hiam sejarah.
Sementara itu, Ketua Badko HMI Jatim, M. Yusfan Firdaus menegaskan bahwa, keputusan ini melanggar prinsip hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
“Undang-undang jelas menyebut calon penerima gelar tidak boleh memiliki catatan hitam dalam perjalanan hidupnya. Soeharto justru identik dengan praktik KKN dan represi terhadap rakyatnya. Memberinya gelar pahlawan jelas bentuk pelecehan terhadap hukum dan nurani publik,” tambahnya.
Dari barisan Muhammadiyah, Ketua DPD IMM, Devi Kurniawan menyebut, langkah pemerintah ini mengabaikan keadilan sejarah dan penderitaan korban.
“Kita tidak menafikan peran Soeharto dalam stabilisasi ekonomi, tetapi luka dan trauma korban Orde Baru belum pernah disembuhkan. Memberikan gelar pahlawan sebelum rekonsiliasi tuntas adalah bentuk pengkhianatan moral bangsa,” papar Devi.
Ia juga menegaskan bahwa, IMM bersama Cipayung Plus akan terus mengawal penegakan keadilan serta meluruskan sejarah bangsa.
Lebih lanjut, Ketua PKC PMII Jatim, Muhammad Ivan Akiedozawa menganggap, keputusan pemerintah memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto adalah tamparan bagi semangat reformasi yang diperjuangkan mahasiswa 1998.
“Soeharto adalah simbol otoritarianisme. Reformasi tumbuh dari perlawanan terhadap kediktatoran yang ia ciptakan. Mengangkatnya sebagai pahlawan berarti mengkhianati perjuangan mahasiswa dan rakyat,” jelas Ivan.
Dalam pernyataan resminya, Cipayung Plus Jatim menilai pemberian gelar ini tidak hanya melukai hati korban rezim Orde Baru, tetapi juga merusak kredibilitas negara dalam menegakkan nilai-nilai keadilan dan moralitas publik.
Mereka kompak mendesak Presiden untuk mencabut gelar Pahlawan Nasional Soeharto dan meminta Dewan Gelar serta Pemerintah menegakkan kriteria kepahlawanan secara objektif, sesuai amanat undang-undang.
“Negara tidak boleh menghapus sejarah kelam, penghargaan harus didasarkan pada prinsip keadilan dan kebenaran sejarah, bukan pada nostalgia keberhasilan pembangunan semata,” tulis pernyataan resmi Cipayung Plus Jatim.
Dengan sikap tegas ini, Cipayung Plus Jatim menegaskan bahwa, mahasiswa tetap berdiri di garis moral bangsa. Mereka menyerukan agar pemerintah tidak menghapus sejarah kelam atas nama rekonsiliasi semu, dan memastikan bahwa gelar kepahlawanan hanya diberikan kepada sosok yang benar-benar menjaga martabat kemanusiaan dan keadilan sosial. (ari)



