telusur.co.id - Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo, menegaskan kembali pencabutan nama Presiden RI ke-2 Soeharto secara eksplisit dari pasal 4 Ketetapan MPR (Tap MPR) Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) sudah final dan telah resmi dilakukan serta disetujui oleh seluruh fraksi MPR dan kelompok DPD. Termasuk keputusan tentang pemulihan nama baik Presiden RI-1 Soekarno dan Presiden ke-4 Abdurahman Wahid.
Keputusan tersebut diambil pada Sidang MPR RI Akhir Masa Jabatan periode 2019–2024 yang dihadiri lebih dari 2/3 anggota MPR RI dari unsur DPR RI dan DPD RI pada tanggal 25 September 2024, setelah sebelumnya disepakati dalam Rapat Gabungan Pimpinan MPR bersama seluruh pimpinan fraksi MPR RI dan kelompok DPD RI pada tanggal 23 September 2024.
Meski Keputusan tersebut tidak menghapus konsekwensi perdata dari TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, namun melalui keputusan MPR RI dalam Sidang MPR RI Akhir Masa Jabatan 2019-2024 tanggal 25 September 2024 itu, penyebutan nama Soeharto secara eksplisit dalam pasal 4 dicabut dan dinyatakan sudah selesai dilaksanakan dan tidak lagi relevan secara hukum maupun politik.
“Secara hukum positif, seluruh proses terkait penegakan hukum terhadap almarhum mantan Presiden Soeharto telah selesai. MPR menegaskan fakta hukum itu melalui pencabutan penyebutan namanya dalam pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998. Tugas MPR memastikan setiap ketetapan MPR memiliki relevansi dan kepastian hukum,” ujar Bamsoet di Jakarta, Jumat (24/10/25).
Ketua DPR RI ke-20 dan Ketua Komisi III DPR RI ke-7 ini menjelaskan, merujuk pada Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dikelompokkan ke dalam kategori Ketetapan MPR yang dinyatakan “tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Undang-Undang”.
"Selanjutnya pada pasal 4 angka 2 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003, keberlakuannya dipertegas dengan rumusan “sampai terlaksananya seluruh ketentuan dalam Ketetapan tersebut”. Artinya, pemberlakuan ketentuan pasal 4 Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 yang secara eksplisit menyebutkan nama mantan Presiden Soeharto, tolok ukur pemberlakuannya adalah implementasi dari ketentuan pada pasal 4 tersebut," kata Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Wakil Ketua Umum FKPPI/Kepala Badan Bela Negara ini menguraikan, dari serangkaian fakta hukum yang mengemuka, pada akhirnya bermuara pada hadirnya kepastian hukum bagi mantan Presiden Soeharto.
Antara lain dengan terbitnya Surat Ketetapan Perintah Penghentian Penuntutan (SKP3) pada tahun 2006 oleh Kejaksaan Agung, sesuai ketentuan pasal 140 ayat (1) KUHAP, dan terbitnya Keputusan Mahkamah Agung nomor 140 PK/Pdt/2015, serta dengan telah berpulangnya mantan Presiden Suharto pada tanggal 27 Januari 2008.
"Dengan mempertimbangkan berbagai fakta hukum di atas, penyebutan nama mantan Presiden Soeharto dalam TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 dinyatakan telah selesai dilaksanakan. Pimpinan MPR periode 2019-2024 juga berpandangan sebagai sebuah bangsa yang besar, kita mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan setiap permasalahan bangsa dengan penuh kearifan dan melihat jauh ke depan, demi kepentingan anak cucu kita di masa yang akan datang. Jangan ada lagi dendam sejarah yang diwariskan pada anak-anak bangsa yang tidak pernah tahu, apalagi terlibat pada berbagai peristiwa kelam di masa lalu," jelas Bamsoet.
Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Alumni Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menambahkan, Presiden RI ke-2 Soeharto merupakan salah satu putra terbaik bangsa yang harus dihormati jasa-jasanya. Soeharto telah berusaha mengabdikan diri sebaik-baiknya dalam menjalankan tugas sebagai presiden, dan berjasa besar dalam menghantarkan bangsa Indonesia beranjak dari negara miskin menjadi negara berkembang.
Sejarah mencatat, tahun 1960-an adalah salah satu periode tersulit yang dihadapi bangsa Indonesia. Tahun 1963, pertumbuhan ekonomi
Indonesia terkontraksi minus 2,25 pesen. Tahun 1966 inflasi melonjak hingga 635,3 persen, dan tahun 1967 Indonesia adalah negara miskin dengan catatan hutang sebesar 700 juta US dollar.
Namun beratnya tantangan kebangsaan tersebut tidak menyurutkan langkah Soeharto. Dengan dibantu tim pakar ekonominya, salah satunya Soemitro Djojohadikoesoemo (ayahanda Presiden Prabowo Subianto), berhasil membalikkan keadaan. Tahun 1969, atau setahun setelah menjabat Presiden, pertumbuhan ekonomi melonjak tajam menjadi 12 persen, dan inflasi berhasil ditekan pada kisaran 9,9 persen. Tidak hanya itu, tahun 1976, Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang sukses meluncurkan satelit dan tahun 1984 Indonesia sukses swasembada pangan.
"Dengan memperhatikan besarnya jasa dan pengabdian mantan Presiden Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade, serta dengan adanya Keputusan MPR RI 25 September 2024 yang menegaskan mengenai telah dilaksanakannya ketentuan pasal 4 TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, maka tidak ada lagi halangan bagi mantan Presiden Soeharto untuk mendapatkan anugerah gelar pahlawan nasional. Selaras dengan martabat kemanusiaan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan," pungkas Bamsoet.



