telusur.co.id - Para peternak unggas merasa resah dengan tidak adanya ketersediaan jagung maupun harganya yang kian meroket. Bahkan, Asosiasi Perunggasan yang tergabung dalam Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) menantang jika ada yang menyebut bahwa komoditas Jagung surplus, dimana tempatnya.
"Kalau memang jagungnya surplus kami diberitahu. Dimana ada jagung akan kita beli, kami bukan butuh data tapi kami butuh fakta. Ayam gak bisa diberi makan kertas tapi bisa diberi makan dengan jagung dan kelengkapan lainnya," tegas Ketua Koperasi Peternak Unggas Sejahtera Lokal Kendal, Suwardi, dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi IV DPR, Jakarta, Senin (18/9/23).
Suwardi menegaskan, sebagai peternak, hanya ingin ada ketersediaan jagung. Peternak juga tidak ingin harga jagung dipetani jatuh.
"Kami dari asosiasi pernah diminta oleh Provinsi NTB karena disana harga jagung jatuh pernah Rp3.200-Rp3.400 kami diminta Badan Pangan untuk membeli 4 ribu. Kami lakukan. Ada yang sampai ke Lampung. Dalam waktu 10 hari di NTB jagung menjadi harga 4 ribu di tahun 2022. Itu kami lakukan," ujar Suwardi.
Namun, lanjut Suwardi, dikonsumsi saat ini lantaran jagung tidak menjadi tren konsumsi masyarakat, maka inflasinya tidak ditulis.
"Seharusnya kalo benar-benar adil inflasi jagung sudah naik 30 persen dari HPP harusnya sudah tinggi," ucap Suwardi.
Namun, hal ini bukan tren di sosial media, dan tidak menjadi konsusmsi masyarakat umum, hanya para peternak-peternak saja yang sering meminta kepada pemerintah melalui Badan Pangan.
"Pak Mentan sampai saat ini kami belum pernah diundang untuk rapat bersama dengan Pak Mentan ya. Ini udah menjelang purna tugas belum pernah diajak ngomong bersama. Jadi harapan kami para peternak rakyat ini agar jagung ini tersedia," tegasnya.
"Saya tidak akan ngomong darimana, monggo. Itu kewenangan pemerintah. Kami sebagai rakyat, sebagai konsumen meminta tersedia harganya terjangkau sesuai dengan HAP kami siap. Kami juga tidak mau nanti petani kita malas untuk tanam jagung. Kasihan juga," sambungnya.
Asosiasi juga mengeluhkan harga telur ayam di tingkat peternak saat ini sedang anjlok, bahkan di bawah biaya produksi. Peternak pun mengeluhkan kebijakan harga acuan yang ditetapkan pemerintah kini tak relevan lagi.
Saat ini harga jual di tingkat peternak berada di Rp 20.500 per kilogram (kg). Padahal, HAP di tingkat peternak telah diatur pemerintah Rp22.000-Rp24.000 per kg.
Angka itu diatur dalam Peraturan Badan Pangan Nasional Nomor 5 Tahun 2022 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Produsen dan Harga Acuan Penjual di Tingkat Konsumen Jagung, Telur Ayam Ras, dan Daging Ayam Ras.
"Kondisi hari ini HAP Perbadan Nomor 5 tahun 2022 batas Rp 22.000-Rp 24.000. Hari ini sudah Rp 20.500 di Blitar," kata Suwardi.
Karena hal itu, lanjut Suwardi, kerugian yang dialami para peternak cukup besar. HAP di peternak seharusnya sudah berada di angka Rp24.700 per kg.
"Jadi kami sudah menanggung rugi, harusnya HAP (harga acuan penjualan) hari ini Rp24.700 (per kg). Peternak baru bisa hidup kondisi ini harga jagung sudah di atas harga bahan baku impor naik yang tidak ada di Indonesia," ujarnya.
Ia kembali menegaskan bahwa para peternak yang tergabung dalam asosiasi ini sejumlah 4.245 peternak dengan populasi 42. 429.571 ekor. Adapun kebutuhan jagung estimasi dari Oktober, November dan Desember sejumlah 190. 550,453 kilo atau sekitar 190 ribu ton.
"Kami berharap bisa disampaikan kepada pemerintah. Kami tidak akan meminta 190 ribu, kami akan menjaga kearifan lokal yang ada disekitar kami jangan sampai euforia ketersediaan mematikan tetangga kami petani. Harga yang ditetapkan, kami minta juga harga HAP agar petani hidup, peternak juga hidup dan akhirnya di hilir harga telur akan seimbang. Konsumen tidak akan berteriak-teriak, sehingga tidak akan menimbulkan inflasi. Tetapi bulan September ini telur deflasi karena harga telur di bawah HPP yang ditetapkan oleh Perbadan dibawah batas bawah," tukasnya.[Fhr]