telusur.co.id - Oleh : Denny JA
Maracaibo, 2019.
Pada suatu malam kelam, kota terbesar di negara bagian Zulia, Venezuela, tenggelam dalam gelap gulita.
Tak ada cahaya dari lampu jalan, tak ada dengung kulkas, tak ada nyala televisi di ruang tamu. Kota yang dulu dijuluki Mutiara Minyak Karibia itu seperti kembali ke abad lampau.
Di tengah bayang-bayang panjang dan aroma krisis, seorang ibu muda mendorong anaknya yang demam tinggi ke rumah sakit.
Bukan dengan mobil, karena tidak ada bensin, tetapi dengan gerobak kayu.
Di rumah sakit pun tak tersedia oksigen. Tak ada dokter. Dan ironinya, tak ada listrik, di negeri dengan cadangan minyak terbesar di dunia.
Pertanyaan pun menggantung:
Bagaimana mungkin sebuah negeri yang pernah menjadi raksasa energi dunia justru kolaps karena energi itu sendiri?
Di titik inilah, kita perlu bercermin. Apa yang bisa Indonesia pelajari dari tragedi negara-negara kaya minyak yang justru tumbang karena berkahnya sendiri?
Seperti dewa Romawi Janus, minyak memang bermuka dua. Satu menjanjikan kemakmuran, satu lagi membawa kutukan yang melumpuhkan institusi dari dalam.
Petrostate: Negara yang Dihisap oleh Sumurnya Sendiri
Dalam kajian ekonomi-politik, sebuah petrostate adalah negara yang anggarannya sangat bergantung pada ekspor minyak dan gas.
Batas kasarnya: lebih dari 45% pendapatan negara berasal dari sektor ini.
Apa konsekuensinya?
• Negara tidak hidup dari pajak rakyat, melainkan dari royalti dan ekspor minyak.
• Demokrasi melemah karena penguasa tak lagi bergantung pada suara pemilih.
• Ketahanan ekonomi menjadi rapuh karena sangat bergantung pada harga global yang berubah-ubah.
Data IMF mencatat: Venezuela, Nigeria, Libya, bahkan Rusia, pernah mengalami krisis fiskal parah ketika harga minyak jatuh drastis.
Tapi Norwegia, yang juga petrostate, justru menjadi salah satu negara dengan indeks pembangunan manusia tertinggi di dunia.
Apa yang membedakan mereka?
Untuk menjawabnya, kita harus menelusuri jejak sejarah.
Sejarah Tak Pernah Netral: Dari Kudeta hingga Kemiskinan
Kutukan minyak telah tertulis dalam lembar-lembar sejarah modern:
• Iran, 1951: PM Mohammad Mossadegh menasionalisasi industri minyak. Inggris dan Amerika murka.
CIA merancang kudeta. Iran jatuh ke tangan Shah, lalu meledak menjadi Revolusi Islam.
• Venezuela, 1970-an: Negeri ini dijuluki “Saudi-nya Amerika Latin” karena ledakan ekspor migas.
Tapi ia lupa menanam fondasi industri non-migas. Ketika harga jatuh, negara ambruk.
• Nigeria, sejak 1960-an: Miliaran dolar dari migas mengalir masuk. Tapi 70% rakyat tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Korupsi merajalela.
Sejarah mencatat:
Tidak ada kekayaan yang netral.
Emas memicu penjajahan. Berlian melahirkan perang saudara.
Dan minyak? Ia menciptakan negara tanpa warga, hanya penguasa dan sumur.
Harga Minyak: Ketika Takdir Domestik Ditulis di Pasar Global
Minyak bukan pendapatan tetap. Ia tunduk pada keputusan kartel, spekulasi geopolitik, krisis internasional, dan bahkan pandemi.
Beberapa momen krusial:
• 1986: Harga minyak jatuh lebih dari 50%. Venezuela goyah.
• 1998: Krisis Asia menekan permintaan.
• 2014: Revolusi shale oil di AS menciptakan surplus global.
• 2020: Pandemi COVID-19 membuat permintaan runtuh. Harga Brent sempat di bawah $20 per barel.
Venezuela yang dulu hidup di masa keemasan harga $100 per barel, tak siap saat badai datang.
Inflasi melonjak jutaan persen. Rumah sakit tutup. Guru mogok. Jutaan rakyat menyeberang ke Kolombia dan Brasil.
Sementara itu, Arab Saudi meluncurkan Vision 2030, upaya strategis untuk mendiversifikasi ekonomi terlambat, tapi masih punya harapan.
Pelajaran pentingnya jelas:
Jika jantung fiskal terlalu bergantung pada satu komoditas, satu guncangan global bisa menyebabkan stroke nasional.
Patronase dan Kekuasaan: Ketika Minyak Menentukan Siapa yang Berkuasa
Dalam demokrasi, rakyat memilih pemimpin.
Namun dalam petrostate, sering kali minyaklah yang memilih siapa yang tetap bertahan.
• Rusia: Vladimir Putin membangun kekuasaan lewat Gazprom dan Rosneft. Minyak jadi alat patronase dan represi.
• Arab Saudi: Kerajaan absolut yang mendistribusikan kekayaan migas melalui subsidi tanpa parlemen, tanpa oposisi.
• Indonesia, Orde Baru: Soeharto menikmati stabilitas harga migas di era 1970-an. Tapi ketika harga anjlok di 1997, krisis finansial datang, dan rezim pun runtuh.
Kekuasaan di petrostate sering bersifat rente:
Bukan didasarkan pada suara rakyat, tapi pada akses ke pipa minyak.
Menurut Transparency International, 9 dari 10 negara penghasil minyak terbesar berada di zona merah korupsi.
Dana publik mengalir bukan ke sekolah atau rumah sakit, melainkan ke jet pribadi dan vila elite.
Indonesia pun pernah mengalami ini: dari kisah mafia migas, Petral, hingga mark-up impor BBM.
Setiap menteri energi mewarisi “peta selang” distribusi yang jarang bersih.
Subsidi BBM menjadi candu populis. Rakyat marah saat dikurangi. Negara pun gemetar.
Negara minyak sering membangun jalan tol, tapi lupa membangun kejujuran.
Ia menciptakan pertumbuhan ekonomi, namun meninggalkan masyarakat yang rapuh saat badai datang.
Tidak Semua Petrostate Gagal
Namun sejarah juga mencatat contoh keberhasilan:
• Norwegia: Menyisihkan surplus migas ke dalam Sovereign Wealth Fund terbesar di dunia. Dana dikelola transparan, berbasis prinsip etika jangka panjang.
• Kanada: Menggabungkan produksi migas dengan regulasi lingkungan ketat dan sistem demokrasi mapan.
• Qatar: Menginvestasikan hasil minyak ke sektor pendidikan, teknologi, dan logistik kelas dunia.
Apa kuncinya?
Institusi.
Jika lembaga negara kuat dan transparan, minyak dapat dijinakkan menjadi mesin kemakmuran.
Tapi jika elite rakus dan hukum lemah, minyak justru mempercepat kehancuran.
Menjelang Senjakala Minyak: Apa yang Harus Kita Siapkan?
Kita hidup di era transisi energi. Dunia bergerak ke arah terbarukan. Tapi banyak negara termasuk Indonesia, masih seperti perokok berat yang enggan berhenti, meski paru-parunya sudah hitam.
Indonesia memang bukan raksasa minyak. Tapi sebagai salah satu produsen energi terbesar di Asia Tenggara, kita tetap rentan terhadap gejolak global.
Apa yang bisa kita lakukan?
• Bangun Dana Abadi Energi Nasional, dikelola mandiri, profesional, dan transparan, mirip model Norwegia.
• Alihkan subsidi BBM menjadi insentif untuk riset dan pengembangan energi terbarukan.
• Tutup kebocoran di logistik dan impor BBM dengan sistem digital berbasis audit real-time.
• Yang paling krusial: jadikan pendidikan dan karakter manusia Indonesia sebagai prioritas utama, bukan sekadar proyek infrastruktur fisik.
Indonesia di Persimpangan Sejarah
Negara tidak hancur karena kekayaan. Tapi karena ketidaksiapan menghadapi kekayaan itu sendiri.
Seperti kata peraih Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz:
“A resource curse is not a fate. It’s a policy failure.”
Minyak bisa menjadi darah yang menghidupi bangsa, atau racun yang perlahan mematikan jantung republik.
Kita hanya diberi satu kesempatan untuk memilih.
Apakah Indonesia akan menjadi Maracaibo yang padam, atau Oslo yang bercahaya?
Pilihan itu tidak terletak di kedalaman sumur.
Melainkan di kedalaman nurani dan kejernihan visi para pemimpinnya.
*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, dan Penulis Buku.