Data Kementan Ngawur, Peternak Unggas Minta Komisi IV DPR Bentuk Panja - Telusur

Data Kementan Ngawur, Peternak Unggas Minta Komisi IV DPR Bentuk Panja

Asosiasi Perunggasan RDPU di Komisi IV DPR. Foto: tangkap layar TV Parlemen

telusur.co.id - Pemerintah terkesan tidak mempunyai niat untuk memberikan solusi konkrit terkait permasalahan perunggasan. Pangkalnya, permasalahan yang dihadapi peternak unggas mandiri baik broiler maupun layer kerap berulang kali terjadi. 

Karena itu, Asosiasi yang tergabung dalam Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) meminta Komisi IV DPR membentuk Panita Kerja (Panja) untuk mendalami persoalan tersebut. 

"Problematika di perunggasan tidak selesai, mohon kiranya dibentuk Panja untuk bahas implementasi dari pertemuan-pertemuan itu bisa kami rasakan," ujar Sekretaris Jenderal Pinsar, Mukhlis, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IV DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/9/23). 

Problem perunggasan yang dihadapi peternak broiler tak jauh berbeda dari masalah over suplai dan menyebabkan anjloknya harga. Harga ayam potong yang diterima peternak kerap kali di bawah dari biaya produksi bahkan jauh dari acuan harga yang ditetapkan pemerintah. 

Di saat bersamaan, peternak broiler juga dihadapkan pada fluktuasi harga pakan hingga bibit ayam atau day old chick (DOC) yang digunakan untuk budidaya. 

"Peternak mandiri yang ada saat ini tergencet karena integrator yang ngawur. Kementan sendiri mereka tidak punya data. Datanya ngawur, ini berkali-kali kita sampaikan, demo juga berkali-kali," kata Ketua Pinsar Jawa Tengah, Pardjuni. 

Sejak 2019, lanjut Pardjuni, masalah anjloknya harga tidak pernah tuntas. Hal ini lantaran integrator atau perusahaan unggas terintegrasi yang mulai menguasai pasar dan menekan usaha peternak kecil. 

"Ayam broiler itu umurnya hanya 35 hari, tapi tidak terselesaikan sampai lima tahun lebih," katanya. 

Alasan masalah tak usai karena intervensi pemerintah yang hanya di hilir seperti dengan pemusnahan bibit ayam yang merupakan Final Stock (FS) tanpa adanya pengendalian bibit ayam galur murni atau Grand Parent Stock yang diimpor. 

Untuk catatan, awal produksi ayam berasal itu dari GPS yang menelurkan keluar Parent Stock (PS) lalu dihasilkan FS yang dibesarkan menjadi ayam potong. 

"Artinya masalah ini di GPS, kalau yang diurus hanya FS ya percuma," ujarnya

Sementara masalah yang dihadapi peternak layer tak jauh berbeda. Belakangan harga jagung pakan yang menyumbang besar biaya produksi telur melambung tinggi dan menekan para peternak layer. 

Ketua Koperasi Peternak Unggas Sejahtera Lokal Kendal, Suwardi menuturkan, harga jagung pakan dari para petani lokal kian mahal bahkan telah menyentuh Rp 7.500 per kg jauh lebih tinggi dari acuan Rp 5.000 per kg. 

"Mulai Mei 2023, sudah Rp 6.000 per kg dan sampai hari ini sudah Rp 6.500 per kg yang diterima peternak. Itu bagi peternak yang bisa beli. Di Poultry, harga jagung giling sudah Rp 7.000 per kg," kata Suwardi di hadapan para anggota Komisi IV DPR. 

Adapun sesuai acuan pemerintah dalam Perbadan 5 Tahun 2022, batas bawah harga telur di tingkat konsumen Rp 22 ribu per kg dan batas atas Rp 24 ribu per kg. 

Sementara harga yang diterima saat ini hanya Rp 20.500 terutama di Blitar. yang jadi sentra nasional. “Jadi peternak sudah tanggung rugi. Hari ini harusnya, harga pokok produksi Rp 24.700 per kg, itu baru peternak bisa hidup dengan kondisi harga jagung saat ini," ujar Suwardi.[Fhr] 


Tinggalkan Komentar