telusur.co.id - Oleh : Radian Jadid
Tiga pekan lebih banjir bandang melanda berbagai wilayah di Sumatera, penderitaan masyarakat terdampak masih jauh dari kata usai. Di banyak lokasi, warga masih kesulitan memenuhi kebutuhan paling mendasar: pangan dan papan.
Rumah-rumah rusak atau hanyut, akses terhadap air bersih terbatas, dan sumber penghidupan lumpuh. Dalam situasi kemanusiaan yang berkepanjangan ini, negara tidak boleh bersikap setengah hati. Presiden harus segera menetapkan banjir bandang Sumatera sebagai bencana nasional.
Bencana ini jelas tidak berskala lokal. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh satu kota atau satu provinsi, melainkan lintas wilayah administratif. Kerusakan infrastruktur, terputusnya akses ekonomi, serta lumpuhnya aktivitas sosial terjadi secara bersamaan di banyak daerah.
Korban meninggal secara langsung dilaporkan lebih dari seribu jiwa, sementara korban tidak langsung, masyarakat yang terdampak kehilangan rumah, pekerjaan, lahan pertanian, dan akses layanan dasar, jumlahnya mencapai puluhan ribu orang. Skala dampak seperti ini seharusnya sudah cukup menjadi dasar kuat bagi Presiden menetapkannya sebagai Bencana Nasional.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa penanganan masih tersendat oleh berbagai kendala. Sekat-sekat administrasi dan formalitas bantuan membuat kerja kemanusiaan tidak berjalan optimal. Relawan kerap terkendala izin dan koordinasi, sementara distribusi bantuan dan logistik menghadapi hambatan administratif dan teknis. Dalam situasi darurat, birokrasi yang kaku justru memperlambat pertolongan dan memperpanjang penderitaan penyintas.
Pemerintah seharusnya bersikap lebih terbuka. Bantuan kemanusiaan tidak boleh dibatasi, apalagi dicurigai. Solidaritas publik, baik dari masyarakat sipil, organisasi kemanusiaan, dunia usaha, maupun relawan independen, adalah kekuatan nyata bangsa ini.
Empati yang tumbuh dari donator lintas wilayah lintas negara yang diwujudkan dalam berbagai skenario bantuan seharusnya diapresiasi dan dikanalisasi. Negara semestinya hadir sebagai koordinator dan fasilitator, bukan sebagai penghambat. Membuka ruang seluas-luasnya bagi bantuan kemanusiaan justru akan mempercepat pemulihan dan mengurangi beban negara itu sendiri.
Lebih dari sekadar bantuan jangka pendek, penanganan banjir bandang Sumatera harus dilakukan secara sistemik. Sistemik berarti terencana, terkoordinasi, dan berkelanjutan dari fase tanggap darurat hingga recovery dan pembangunan ulang.
Pemulihan hunian, layanan kesehatan berkelanjutan, pemulihan ekonomi rakyat, serta jaminan ketahanan pangan dan keberlangsungan ekosistem bermasyarkat tidak bisa ditangani secara sporadis. Pendekatan parsial hanya akan melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan di antara wilayah terdampak.
Di sinilah urgensi penetapan status bencana nasional. Dengan status tersebut, pemerintah pusat memiliki legitimasi dan kewenangan penuh untuk bergerak dalam skala nasional. BNPB, TNI, dan Polri dapat dikerahkan secara simultan untuk mengatasi banjir bandang Sumatera lintas wilayah, dengan komando yang jelas dan terintegrasi.
Penanganan dapat dilakukan secara terstruktur, masif, dan sistematis, mulai dari evakuasi, distribusi logistik, pembangunan hunian sementara dan permanen, hingga pemulihan infrastruktur dan ekonomi masyarakat.
Dampak dari pendekatan nasional ini akan jauh lebih besar dan langsung dirasakan oleh para penyintas. Akses bantuan menjadi lebih merata, proses pemulihan lebih cepat, dan harapan untuk kembali menjalani kehidupan yang layak menjadi lebih nyata. Tanpa status nasional, upaya pemulihan berisiko berjalan lambat dan timpang, meninggalkan sebagian warga dalam ketidakpastian berkepanjangan.
Pada akhirnya, keputusan ini adalah soal kepemimpinan. Presiden sebagai pemegang mandat tertinggi harus memikirkan nasib rakyat di atas segala pertimbangan lain. Bukan saatnya sibuk membela kebijakan atau mengamankan posisi dan jabatan. Menetapkan banjir bandang Sumatera sebagai Bencana Nasional bukanlah pengakuan kelemahan, melainkan wujud keberanian politik dan tanggung jawab moral negara terhadap warganya.
Jika negara terus ragu mengambil langkah besar, maka penderitaan rakyat akan semakin panjang. Sumatera tidak membutuhkan retorika, tetapi keputusan nyata. Presiden harus segera bertindak dan menetapkan status bencana nasional, agar negara benar-benar hadir sepenuhnya, dari tanggap darurat hingga pemulihan dan pembangunan ulang, demi keadilan dan kemanusiaan bagi seluruh korban.
*Penulis adalah Ketua Task Force Kemanusiaan Kantin (TFKK) ITS, Ketua Harian ITS93, dan Kepala Sekolah Rakyat Kejawan.



