telusur.co.id - Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Laksanto Utomo mengingatkan kembali dengan melayangkan surat Presiden Joko Widodo dan DPR RI, untuk berkomitmen mensahkan RUU Masyarakat Hukum Adat menjadi Undang-undang, dimasa akhir jabatannya. 

Pasalnya, masih ada utang penyelesaian RUU Masyarakat Hukum Adat menjadi sebuah undang-undang. 

Demikian disampaikan APHA Indonesia dalam jumpa pers yang digelar di Kampus A,  Trisakti, Jakarta Barat, menyoal 2 Dekade Mandegnya RUU Masyarakat Adat, Selasa (17/5/2022)..

Laksanto berharap, elit politik tidak hanya melakukan pendekatan kepada komunitas masyarakat hukum adat,  guna hasrat politik mendekati pemilu. Namun,  setelah itu tidak merespon persoalan bahkan kurang saat hak-hak masyarakat adat diganggu. 

"Jangan eksploitasi dan dekati masyarakat adat,  dan memanfaatkan masyarakar adat saat 2024 saja. Tapi,  hak-hak dan saat masyarakat adat tertindas diam, " ketus Laksanto. 

APHA mendesak pemerintah, untuk segera menyelesaiakan persoalan Mandegnya RUU Masyarakat Adat. Sehingga tidak muncul kesan, bahwa masyarakat adat hanya sekadar dimanfaatkan, salah satunya ketika datangnya Pemilu saja. Nalun, setelah itu kembali dilupakan. 

Sekretaris APHA Dr. Ning Adiasih SH, MH, mengatakan, masalah mendasar masih tidak tersentuh. Kebijakan dan rencana kebijakan mengenai wilayah adat justru memberi impunitas/kekebalan terhadap berbagai pelanggaran yang telah terjadi. 

"Hal ini dilakukan dengan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang telah dirampas dari skenario pengakuan Wilayah Adat. Watak kebijakan tentang Masyarakat Adat dan hak-hak tradisionalnya menunjukkan pembangkangan serius terhadap perintah konstitusi," ujarnya. 

Dijelaskannya, penguasaan negara atas sumberdaya alam tidaklah absolut. Putusan MK 35/2012 telah menegaskan agar wilayah-wilayah adat (baca: hutan adat) harus dikembalikan kepada Masyarakat Adat karena penguasaan negara atas wilayah adat itu bersifat inkonstitusional. 

Tetapi komitmen rendah yang menyembunyikan motif-motif ekonomi dan politik telah menyebabkan betapa sulitnya meluruskan kesalahan tersebut. 

"Kasus sengketa lahan miliki masyarakat adat Desa Marafenfen di Kepulauan Aru Maluku yang dirampas oleh TNI AL seluas 689 Ha. Kasus ini bermula lahan yang disengketakan warga dengan TNI AL itu ada di Desa Marefenfen, Kecamatan Aru Selatan dengan luas 689 hektar diambil TNI AL pada 1991. TNI AL dahulu datang langsung ukur patok dan merampas tanah itu tersebut. Saat itu, TNI AL mendatangi desa dan membuat patok. Beberapa waktu kemudian mereka datangd engan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan mengukur lahan. TNI AL kemudian disebut memanipulasi dukungan warga untuk mengakui tanah tersebut milik TNI AL

Bahkan dari keterangan kuasa hukum masyarakat adat Marafenfen, TNI AL

memanipulasi dukungan 100 warga berupa kesepakatan pelepasan lahan. Sementara

pada dokumen yang digunakan itu tercantum warga yang sudah tidak berada di Aru dan sebagian lagi masih anak-anak.. Sengketa tanah ulayat milik masyarakat adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuk, Kecamatan Busang, Kutai Timur, Kalimantan Timur juga mewarnai sengketa tanah ulayat di Tahun 2021," terangnya. 

Wakil Ketua APHA Dr Kunthi Tridewiyanti. SH. MA, menjelaskan, masyarakat adat menuntut hak ulayatnya yang digunakan oleh Perusahaan Perkebunan Sawit dimana penggunaan lahan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kutai Timur pada tahun 2006 yang memberikan hak 14.350 hektare lahan untuk membuka perkebunan sawit.

"Kasus eksploitasi pariwisata juga terjadi di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Eksploitasi pariwisata ini Berpotensi Menimbulkan Erosi Kultural Yang Berdampak Pada Ekologi dimana perjumpaan antara kebijakan yang dikemas dalam "hukum negara" (baik yang dibuat pemerintah daerah maupun pemerintah pusat) tidak dapat bersimbiosis yang saling menunjang dalam lingkup sosial loka l(kawasan kultural), yang di dalamnya terdapat masyarakat yang diatur oleh hukum local/hukum adat. RUU Masyarakat Adat belum juga dibahas dan ditetapkan sebagai Undang-Undang. Padanal UU Masyarakat Adat ini diharapkan menjadi dasar hukum dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang selama puluhan tahun telah membelenggu dan mendiskriminasi Masyarakat Adat," jelas dia. 

Tentu, lanjut Dr Kunthi, dengan catatan bahwa UU itu selain menterjemahkan UUD 1945 juga mengacu pada hukum HAM, dan bereficksi pada fakta sosiologis. Sejak tahun 2020, RUU ini telah selesai dibahas oleh BadanbLegislasi DPR RI. Seharusnya DPR dalam beberapa kali sidang paripurnanya telah menetapkan RUU itu sebagai inisiatif DPR sehingga secara formal dapat dikirim kepada Presiden dan selanjutnya siap dibahas bersama antara Pemerintah dan DPR. Akan tetapi hingga akhir tahun 2021, RUU Masyarakat Adat belum juga masuk dalam daftar dimaksud. Selain proses pembahasan yang jalan di tempat, secara substantif RUU Masyarakat Adat juga menyimpan banyak kelemahan. Tidak mengherankan apabila ada pendapat yang menyatakan bahwa selain belum lengkap RUU Masyarakat Adat tidak menjawab secara komprehensif masalah yang terjadi di lapangan dan masalah yang bersumber dari teks-teks kebijakan sektoral. Selain itu, RUU Masyarakat Adat

yang telah dibahas di Badan Legislasi itu berisikan ketentuan-ketentuan yang berbahaya bagi eksistensi Masyarakat Adat dan hak-hak tradisionalnya.

"APHA merasa prihatin terhadap terjadinya sengketa tanah ulayat yang menimpa masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat yang dengan kearifan lokalnya notabene adalah penjaga kelestarian dan keseimbangan lingkeungan menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat maupun Daerah sehingga masyarakat adat harus tersingkirkan dari tanah adat milik mereka sendiri," ungkapnya. 

 

Awal Tahun 2022 APHA mengharapkan bahwa pada tahun ini adalah

momentum adanya perlindungan dan kepastian hukum bagi eksistensi masyarakat adat melalui pengesahaan RUU Masyarakat Hukum Adat. Namun harapan tersebut hingga akhir tahun tidak juga terealisasi. Pemerintah dan DPR seperti setengah hati untuk mengesahkan RUU MHA menjadi Undang-Undang. Hal ini terlihat dari adanya RDPU APHA dengan DPR RI maupun DPD RI sejak awal tahun 2018 hingga kini tidak ada kemajuan yang signifikan terhadap pengesahaan RUU MHA. 

 

 

"Hingga kini APHA tetap berkomitmen kuat untuk mengawal pengesahan RUU

MHA menjadi Undang-Undang. Semoga impian seluruh masyarakat adat dan setiap

insan yang peduli terhadap eksistensi masyarakat adat di Indonesia terwujud di Tahun 2022. APHA mengharapkan Presiden Republik Indonesia dapat peka dan merespon apa yang terjadi pada masyarakat adat saat ini. Sebagai upaya APHA sebagai akademis, kami dengan senang hati untuk memberikan pandangan terhadap RUU masyarakat Adat dengan berbudaya secara langsung," tutupnya. (Fie)