Konstelasi Politik Global: Ekosistem Demokrasi di Era Digitalisasi (5.0) - Telusur

Konstelasi Politik Global: Ekosistem Demokrasi di Era Digitalisasi (5.0)

Fungsionaris BADKO HMI Jatim, Rizqi Ikhzahrul Romadhon

telusur.co.idOleh : Rizqi Ikhzahrul Romadhon

Kita hidup di zaman dimana negara besar sebagai poros dunia sedang berpindah posisi. Abad ke-21 menandai lahirnya konstelasi baru kekuasaan global, dunia yang tak lagi terpusat pada satu kutub. Di Timur, ekonomi dan teknologi bangkit; di Barat, nilai dan sistem demokrasi diuji ulang, dunia mencari keseimbangannya kembali. 

Dalam peta geopolitik ini, ASEAN memiliki peluang diplomatis dalam menjaga keseimbangan dianyara dus kekuatan besar. Di tengahnya, negara-negara seperti Indonesia berperan sebagai jembatan kosmik antara dua dunia: kekuatan lama dan masa depan baru. Namun, kekuatan itu kini tidak hanya diukur dari senjata atau ekonomi, melainkan dari kendali atas informasi dan data. Generasi muda, yang tumbuh di bawah cahaya layar digital, menjadi garda depan peradaban ini.

Kita sedang menyaksikan transformasi paling besar dalam sejarah politik: demokrasi digital. Teknologi kini memungkinkan partisipasi publik yang lebih terbuka, dari e-voting berbasis blockchain hingga platform aspirasi daring yang menampung suara rakyat secara real-time. 

Demokrasi kini membuka lembaran baru: Opini publik, survei digital, petisi, bahkan pola konsumsi informasi. Teknologi tak lagi menjadi ancaman bagi kebebasan, melainkan alat untuk memperkuatnya. 

Dalam Era 5.0, manusia dan mesin tidak lagi berseberangan, melainkan bersatu dalam harmoni yang saling menguatkan. Di bawah konstelasi ini, demokrasi sedang berevolusi dari sistem politik menjadi ekosistem digital partisipatif. Partisipasi publik kini bisa terjadi di ruang virtual; suara rakyat tak lagi berhenti di bilik suara, tetapi mengalir melalui data, algoritma, dan sistem daring yang transparan.

Generasi muda hari ini hidup di dunia di mana batas antara realitas dan virtual nyaris lenyap. Mereka mengakses dunia melalui gawai, bekerja di ruang digital, dan berinteraksi melalui algoritma. Namun, di balik konektivitas, mereka dihadapkan pada bayangan panjang: judi online, black campaign, kejahatan siber, dan deepfake yang menyebabkan krisis kepercayaan digital serta algoritma media sosial yang semakin memperkuat polarisasi. 

Ketahanan bangsa kini tidak lagi hanya soal pertahanan militer, tetapi kekuatan moral, literasi, dan kesadaran digital. Di sinilah dilema terbesar kita: apakah manusia masih menjadi pusat keputusan, atau justru menjadi bayangan dari algoritma yang ia ciptakan sendiri?

Berbagai aktivitas yang dulunya hanya dapat dilakukan oleh manusia kini beralih pada mesin pintar. Fenomena ini bukan lagi sekadar memudahkan, melainkan juga menimbulkan kegelisahan eksistensial yang mendalam.

Para pakar teknologi memperkirakan bahwa, perkembangan AI menuju level yang sangat maju disebut superintelligence akan membawa dampak mendasar bagi peradaban. Kemampuan mesin untuk belajar sendiri, bahkan sampai di tahap pengambilan keputusan tanpa campur tangan manusia dalam mengendalikan sistem sosial-ekonomi global, memunculkan pertanyaan etis yang serius.

Kondisi ini seharusnya menuntun kita pada kesadaran baru: Bahwa penanaman literasi digital adalah salah satu fondasi utama dalam menjaga ketahanan moral, intelektual, kedaulatan bangsa di tengah derasnya arus teknologi.

Perlu kita ketahui bersama bahwa, etika demokrasi bukanlah tiga hal yang terpisah, melainkan satu simpul dari perjalanan manusia di era 5.0. Negara, masyarakat, dan individu harus bertransformasi bersama, dari pengguna teknologi menjadi pengendali masa depan. 

Pemerintah perlu memperkuat sistem keamanan siber nasional. Sementara itu, masyarakat juga harus kooperatif dalam membangun ekosistem digital yang sehat. Literasi digital tidak berhenti pada kemampuan menggunakan perangkat atau aplikasi, tapi juga meliputi bijak dalam bersosial media, serta memiliki pemahaman literasi digital yang cukup. Kebebasan berekspresi di dunia maya juga harus diimbangi dengan etika digital.

Melalui literasi digital, diharapkan adanya orientasi nilai yang menegaskan arah sekaligus memberi harapan. Solusi yang baik tidak cukup hanya bersifat normatif, tetapi menawarkan jalan bersama yang realistis dan berakar pada nilai. 

Negara perlu memosisikan diri sebagai arsitek kedaulatan digital. Penguatan keamanan siber nasional, perlindungan data pribadi, serta regulasi etis atas AI dan algoritma harus menjadi agenda strategis, bukan reaksi sesaat. Demokrasi digital hanya akan sehat jika negara mampu menjamin ruang digital yang aman, adil, dan transparan bagi warganya.

Generasi muda harus dipersiapkan bukan sekadar sebagai pengguna teknologi, tetapi sebagai subjek sadar yang kritis dan beretika. Penanaman literasi digital perlu melampaui aspek teknis menuju pembentukan kesadaran moral: kemampuan memilah informasi, menolak manipulasi algoritma, serta keberanian menjaga integritas di tengah godaan dunia maya. Di sinilah pendidikan, organisasi kepemudaan, dan komunitas intelektual memiliki peran strategis sebagai benteng ketahanan nilai. 

Masyarakat sipil perlu membangun ekosistem digital yang partisipatif dan kolaboratif. Ruang digital harus direbut kembali sebagai ruang deliberasi publik yang sehat, bukan arena polarisasi dan eksploitasi emosi. Etika digital, gotong royong virtual, dan tanggung jawab kolektif menjadi kunci agar demokrasi tetap berakar pada kemanusiaan.

Pada akhirnya, tantangan abad ke-21 bukan soal memilih antara teknologi atau kemanusiaan, melainkan memastikan keduanya berjalan seiring. Demokrasi di era 5.0 hanya akan bertahan jika manusia tetap menjadi pusat keputusan, nilai menjadi kompas, dan teknologi ditempatkan sebagai alat pembebas, bukan penentu nasib. 

Dari titik inilah Indonesia, bersama generasi mudanya, dapat berdiri sebagai jembatan peradaban: menjaga keseimbangan global, sekaligus meneguhkan masa depan yang berdaulat, beretika, dan manusiawi.

Teknologi hanyalah alat, bukan penguasa. Prinsip utamanya: human in command, bukan machine in control.


Tinggalkan Komentar