Melengkapi Analisis Kasus Tambang Sangihe - Telusur

Melengkapi Analisis Kasus Tambang Sangihe


Penulis: Suroto*

KASUS tambang emas Sangihe menyeruak sejak wakil bupati penolak tambang emas milik Canada di pulau itu meninggal misterius. Sejak ikut tolak tambang. 

Melengkapi analisa kasusnya, agar kita tidak terus terjebak dengan kasus-kasus seperti itu, maka kita harus mampu mendobrak masalah besarnya. Negara dan bangsa ini memang sudah dijebak agar jadi penganut sistem kapitalis pinggiran yang abaikan kepentingan rakyat banyak, kepentingan Si Marhein.

Pertama, kita dijebak melalui utang haram, lalu dijebak melalui Investasi Asing  yang merugikan dan yang terakhir kita dijebak melalui konsumsi pada importasi.

Begini, pada tahun 1980-an, Prof Jan Timbergen sebagai penerima Nobel Ekonomi mengajukan usulan agar negara-negara miskin dan berkembang itu segera lepas dari jebakan kemiskinan dan ciptakan dana cadangan pembangunan mereka sendiri dengan cara alokasikan 0,7 persen dari total Produk Domestik Bruto negara maju.

Tapi, ini tidak disetujui. Karena sekecil apapun utang di negara miskin dan berkembang, itu adalah alat atau instrumen negara maju dan korporasi kapitalis mereka untuk masuk kendalikan seluruh kepentingan ekonomi dan politik kita.

Kita tahu, dalam sistem kapitalisme itu ada yang disebut dengan krisis konjungtur alias krisis musiman, karena sebab-sebab kelebihan produksi atau juga ekonomi gelembung yang diciptakan oleh para kapitalis. Ketika krisis terjadi, maka negara-negara maju itu melalui organisasi multilateral mereka seperti IMF, World Bank dan lain-lain, lemparkan skema hutang.

Hutang haram itu, yaitu hutang tapi diberikan dengan aturan main yang mereka kehendaki. Sebut saja, misalnya, adalah krisis moneter 1997, uang itu melalui Letter of Intens hanya boleh digunakan untuk selamatkan rupiah dan juga lembaga perbankkan. Dan karena ini adalah sektor tertier yang penting untuk dijadikan alat sedot kepentingan ekonomi  mereka. Ini dibutikan dengan penguasaan asing di perkenankan hingga 99 persen, sebagai yang terburuk di dunia. Bandingkan Malaysia, misalnya, yang hanya 17,5 persen diperkenankan untuk kepemilikan asing.

Utang boleh terus dinaikkan hanya dengan komitmen agar kita menyetujui skema: privavitasi, liberalisasi dan deregulasi. Undang-undang dan regulasi kita melalui proyek " Reformasi Governence " yang disuntikkan ke lembaga negara dan NGO kita untuk preteli kedaulatan rakyat.

Ini bisa dibuktikan dengan berbagai UU dan terutama UU Penanaman Modal dan yang terakhir adalah UU Cilaka, semua itu untuk memperlancar investasi asing mereka. Sadisnya  lagi, adalah mereka juga mengatur agar utang kita digunakan untuk membangun infrastruktur fisik dan biaya proyek strategis nasional kita yang sesungguhnya jauh dari kepentingan ekonomi rakyat banyak..

Investasi mereka itu merangsek masuk ke sektor komoditi ekstraktif seperti tambang dan perkebunan terutama sawit yang masif dan serobot tanah rakyat yang sisakan derita kemanusiaan, kerusakan alam, dan juga kemiskinan masyarakat lokal.

Ini semua ditopang dengan berbagai rompi pengaman dalam bentuk aturan dan kebijakan yang saya sudah sebut tadi. Nah, rakyat Sangihe itu adalah bagian dari korban ini semua. Kasus seperti ini pasti akan masif sampai tak akan bisa ditanggulangi oleh para aktifis kita di lapangan. Semua pasti akan diamankan demi alasan " kepentingan nasional".

Kita juga tahu bahwa harga komoditi ekstraktif itu dikuasai secara oligopoli oleh pemain kapitalis besar di tingkat global, dan ini jelas rugikan kita.

Lalu yang terakhir, alat kendali mereka adalah melalui jebakan konsumsi importasi. Dikarenakan penyerobotan tanah, maka petani kita hari ini 70 persen lebih isinya hanya petani gurem alias buruh tani yang tak punya lahan garap.

Akhirnya, apa yang kita makan itu kita importasi, dan ini adalah kondisi yang sangat berbahaya. Karena apa yang kita makan dikendalikan oleh bangsa lain. Tegas Sukarno katakan "hati-hati dengan apa yang kamu makan. Karena apa yang kamu makan itu tentukan seberapa daulat kamu ..." 

Akhirnya apa yang terjadi. Kita tidak hanya ada dalam bayang-bayang defisit neraca pembayaran alias gali lobang tutup lobang bayar hutang puluhan tahun kedepan, tapi kita juga hidup dalam bayang-bayang defisit neraca perdagangan. Karena yang kita import terutama pangan akan terus bergantung pada bangsa lain.

Mereka itu kongkalikong dengan elit kaya mafia kartel pangan yang sembunyi dibalik keistimewaan kebijakan import pemerintah. Mereka itu yang biayai pesta pora Pemilu.

Tahun 2018 misalnya, kita double defisit parah. Dan khusus untuk defisit neraca perdagangan kita 2018 adalah yang terburuk sejak 30 tahun lalu, 8,57 miliard dollar. Dan kita tahu, urusan makanan ini urusan berbahaya secara pertahanan politik.

Sebut misalnya, ketika kedelai saat ini suplai dari Amerika Serikat 80 persen dan seret sedikit saja harga langsung membumbung tinggi. Kalau semua kebutuhan makan kita seperti itu maka jadilah hiper  inflasi, yang bisa jatuhkan rezim siapapun. Sebab ketika rakyat tak lagi dapat menjangkau harga makanan, mereka maka pasti akan jadi gejolak sosial politik.

Ini artinya kita secara ekonomi dan politik telah dikendalikan oleh kepentingan mereka. Rakyat banyak dibawah cengkeram kapitalis global yang berkongkalikong terus dengan para kapitalis nasional dan lokal serta elit politik.

Jadi, agar semua ini selesai maka kita harus lakukan DEMOKRATISASI EKONOMI. Kembalikan kepentingan nasional dan kedaulatan rakyat dan selamatkan demokrasi itu sendiri. Kita tak akan pernah mampu selesaikan kasus kasus eksploitasi kapitalis itu tanpa demokratisasi ekonomi.....[***]

 

*) Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis ( AKSES)


Tinggalkan Komentar