NasDem Nilai Putusan MK Picu Turbulensi Konstitusional - Telusur

NasDem Nilai Putusan MK Picu Turbulensi Konstitusional

Atang Irawan

telusur.co.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2024 yang mengatur jadwal pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan kemudian dilanjutkan dengan pemilihan serentak DPRD serta kepala daerah dalam jangka waktu 2 sampai 2,5 tahun setelah pelantikan, dinilai berpotensi menimbulkan turbulensi konstitusional yang serius.

Menurut Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Partai NasDem, Atang Irawan putusan MK ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang secara tegas mengatur bahwa pemilihan umum (pemilu) harus diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber-jurdil) setiap lima tahun sekali.

“Penjadwalan pemilu yang diatur MK ini berpotensi menabrak konstitusi karena melanggar prinsip lima tahunan, sehingga memicu ketidakpastian hukum dan kegaduhan politik,” tegas Atang.

Lebih lanjut, Atang menyoroti bahwa putusan MK juga menafsirkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 secara monolitik dengan menyatakan pilkada harus dilakukan langsung oleh rakyat, padahal pasal tersebut hanya mengisyaratkan pelaksanaan secara demokratis dengan berbagai model sesuai kekhususan daerah. 

Contohnya, DIY dengan sistem gubernur dan wakil gubernur yang ditetapkan secara istimewa. Hal ini dinilai mengabaikan semangat otonomi daerah yang menjadi landasan filosofis konstitusi.

Selain itu, putusan MK berpotensi menimbulkan kekosongan jabatan di DPRD dan mengharuskan penunjukan penjabat DPRD secara massal, yang berbahaya bagi legitimasi politik dan demokrasi. “Kalau anggota DPRD tidak dipilih rakyat, maka makna kedaulatan rakyat akan tergerus,” ujar Atang.

Atang juga mengingatkan bahwa MK seharusnya bertindak sebagai guardian of constitution yang menguji hal-hal fundamental, bukan teknis, karena hal teknis adalah kewenangan legislator. Menjadikan MK sebagai “kamar ketiga” pembuat undang-undang justru melemahkan posisi DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang yang sah.

Sebagai penutup, Atang menegaskan pentingnya menjaga kepastian hukum dan prinsip lima tahunan dalam pemilu agar demokrasi di Indonesia tetap berjalan stabil dan sesuai konstitusi. Jika perubahan makna konstitusi diperlukan, sebaiknya dilakukan melalui amandemen formal, bukan putusan MK yang berpotensi memicu ketidakpastian hukum dan konflik kelembagaan. [ham]


Tinggalkan Komentar