Pelarangan Thrifting oleh Jokowi Dianggap Cuma Pepesan Kosong - Telusur

Pelarangan Thrifting oleh Jokowi Dianggap Cuma Pepesan Kosong

Pakaian bekas impor di Pasar Senen. Foto: Merdekacom

telusur.co.id - Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto, menanggapi kebijakan larangan bisnis pakaian bekas impor (thrifting) oleh Presiden Joko Widodo. Pelarangan ini ditindaklajuti oleh Kementerian Perdagangan dan kepolisian dengan melakukan aksi penyitaan serta pemusnahan barang dari para pedagang.

Menurut Suroto, dalam aturan sebelumnya, aktivitas impor barang bekas yang dilarang menurut Permendag Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 hanya pakaian bekas saja. Namun dalam Permendag terbaru Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Impor menyangkut pakaian dan barang bekas lainya yang berarti meliputi seluruh barang bekas.

"Membaca regulasi yang ada, memang sangat lemah. Regulasinya walaupun judulnya berbunyi larangan namun tidak imperatif. Sanksi yang diterapkan juga hanya sanksi administratif," kata Suroto dalam keterangannya, Sabtu (25/3/23).

Akibat sanksi administratif yang diterapkan, lanjut Suroto, menyebabkan aktifitas import barang bekas ini, walaupun masuk jalur resmi pun, tidak akan pernah membuat jera para importirnya. 

Bahkan, lemahnya regulasi ini berpotensi terjadinya kongkalikong antara importir dengan pihak kepabeanan di lapangan dari barang-barang yang diselundupkan melalui "jalur tikus". 

Selain itu, karena beredarnya barang bekas impor ini tidak jelas laranganya, Suroto menilai, hal itu membuat penindakan yang dilakukan menjado sangat lemah. Ini juga terlihat dari ketidakseriusan penanganan di lapangan untuk menemukan dan menangkap bandar besarnya dari para aparat kepabeanan dan aparat penegak hukum seperti kepolisian.

"Melihat regulasi yang lemah, maka dapat dikatakan penegasan pelarangan yang dilakukan presiden adalah hanya drama semata mata. Penegasan Presiden tentang pelarangan juga hanya akan jadi pepesan kosong," kritik Suroto. 

Ditambah lagi dengan adanya gejala pengerusan pangsa pasar trifting barang bekas, terutama pakaian impor diduga berasal dari para importir terutama pakaian atau tekstil dari Cina yang selama ini bersifat oligopolistik pelakunya. 

Sebab, dengan semakin meningkatnya kegemaran aktifitas perdagangan trifting maka akan menggerus pangsa pasar mereka. 

"Membanjirnya produk barang bekas tentu menjadi ancaman bagi industri terutama tekstil di tanah air. Namun pelarangan yang sifatnya represif dan penuh drama dan tidak jelasnya insentif kebijakan dukungan bagi industri tekstil nasional terutama perajin skala industri rumah tangga (home industri) maka lagi-lagi hanya membuat masyarakat kecil sebagai korbannya," ujarnya. 

Menurut Suroto, semestinya jika pemerintah benar-benar serius maka regulasi pelaranganya dibuat imperatif, para pedagang kecilnya diberikan jeda waktu yang jelas dan diarahkan untuk mengalihkan usahanya dari berjualan barang bekas lokal dan atau usaha lainya. Sebab, mereka selama ini telah banyak yang andalkan kegiatan penjualan sebagai gantungan hidup keluarganya.

Selain itu, masalah-masalah ekosistem industri tekstil nasional seperti aspek pembiayaan, kelembagaan, akses pasar dan pemasaran, dukungan lainya seperti riset dan rekayasa desain diberikan insentif kebijakan yang jelas. 

"Bahkan, kalau perlu diberikan subsidi atau berupa insentif kebijakan 'trade off' untuk misalnya memotong biaya distribusi dan lain lain," ungkapnya. 

CEO INKUR Federation (Induk Koperasi Usaha Rakyat) ini mengingatkan bahwa pakaian adalah produk penting dan menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Dampak multi efeknya juga sangat baik jika digairahkan sebagai semangat kemandiraan ekonomi nasional. 

"Jadi, perlindungan, dan juga daya dukung kebijakan dari sektor hulu hingga hilir dari pemerintah sangat vital perananya. Kecuali kita memang hanya ingin mengulang terus drama yang sama dan jadikan rakyat kecil sebagai korban, baik pedagang ataupun pelaku industrinya," tukasnya.[Fhr


Tinggalkan Komentar