Perang India-Pakistan, MITI: Indonesia Harus Perkuat Pertahanan Udara - Telusur

Perang India-Pakistan, MITI: Indonesia Harus Perkuat Pertahanan Udara

Ilustrasi

telusur.co.id - Meletusnya perang India-Pakistan mensyiratkan pesan bahwa Pemerintah Indonesia harus segera merealisasikan sistem penguatan pertahanan udara nasional dengan fokus pada kemandirian teknologi dan integrasi sistem pertahanan yang bersifat hibrida. 

“Pertempuran udara pada 7 Mei 2025 dalam "Operasi Sindoor" menunjukkan dinamika kompleks antara teknologi dan strategi," kata Peneliti Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Larasmoyo Nugroho di Jakarta, Rabu (14/5/2025). 

Dia menilai, menyeb keberhasilan Pakistan menjatuhkan Rafale milik India, serta keberhasilan India menembak balik F-16 Pakistan pada Mei 2025 menunjukan bahwa pertempuran modern sangat bergantung pada keandalan dan kemampuan peralatan tempur udara.

"Pakistan mengklaim menembak jatuh lima pesawat India, termasuk tiga Rafale, satu Sukhoi Su-30, dan satu MiG-29, menggunakan jet J-10C dan rudal PL-15. Sebaliknya, India melaporkan sistem S-400 berhasil menembak jatuh satu F-16, dua JF-17, dan satu AWACS Pakistan, menunjukkan kekuatan pertahanan udara berbasis rudal. Konflik ini menggarisbawahi beberapa faktor kunci yang relevan bagi Indonesia,” kata Larasmoyo.

Peneliti BRIN tersebut menyebutkan, Pakistan berhasil mengintegrasikan jet J-10C Tiongkok dengan strategi lokal, sementara India memanfaatkan S-400 Rusia untuk menembak jatuh F-16.

Indonesia, yang mengoperasikan Rafale dan berencana mengakuisisi lebih banyak aset impor, harus memastikan integrasi dengan sistem lokal untuk mengurangi kerentanan.

Sementara Pakistan menggunakan sistem AWACS ZDK-03 dan Saab 2000 AEW&C untuk deteksi dini, didukung jamming elektronik untuk mengacau komunikasi musuh. Sedangkan India memanfaatkan S-400 untuk intersepsi jarak jauh. 

"Indonesia masih kekurangan sistem deteksi canggih dan teknologi jamming untuk menghadapi ancaman modern," ucapnya. 

Pakistan mengandalkan jet JF-17 karya bersama Tiongkok, sementara India menggunakan teknologi Rusia dan Prancis. Indonesia harus mempercepat pengembangan KFX/IFX versi lokal dan rudal lokal untuk mengurangi ketergantungan impor.

Dia menyampaikan, untuk menghadapi ancaman udara yang semakin kompleks, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah strategis lintas sektoral, mengintegrasikan teknologi kunci yang terbukti efektif dalam konflik India-Pakistan. Pengembangan radar AESA untuk jet tempur seperti KFX/IFX melalui kolaborasi dengan Korea Selatan, memungkinkan deteksi jarak jauh dengan low probability of intercept. BRIN dapat memimpin riset untuk mengintegrasikan radar ini dengan data eksternal dari satelit atau AWACS, mendukung serangan diam-diam seperti J-10C Pakistan.

Selain itu, meningkatkan anggaran riset klaster rudal di bawah Kementerian Pertahanan, dengan BRIN sebagai ujung tombak pengembangan rudal serupa PL-15, memiliki panduan radar aktif, data-link mid-course guidance, dan kemampuan anti-jamming untuk keunggulan BVR. Kerja sama dengan DEFEND.ID dan keahlian eks-LAPAN Pustekroket dalam teknologi roket dapat mempercepat produksi.

"Kembangkan avionik terintegrasi untuk armada hibrida Rafale, Sukhoi, dan drone tempur lokal, memungkinkan pengelolaan rudal jarak jauh dan operasi dalam kondisi visibilitas rendah dengan teknik silence run. PTDI dapat memimpin integrasi data dari radar, rudal, dan AWACS,” saran Larasmoyo.

Larasmoyo juga mengusulkan agar Pemerintah lakukan akselerasi proyek KFX/IFX dengan Korea Selatan, memastikan imbal dagang substansial untuk produksi komponen lokal oleh PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Secara paralel, kembangkan pesawat generasi kelima bersama Turki melalui program KAAN untuk memperluas penguasaan teknologi kunci.

Kemudian, percepat pemulihan status LAPAN sebagai lembaga mandiri pelaksana UU Keantariksaan untuk operasional yang lebih lincah dan responsif dalam pengembangan teknologi dirgantara juga sangat diperlukan. 

Selanjutnya, perlu percepatan pengadaan minimal dua unit AWACS (kandidat: Boeing E-7A Wedgetail, Saab 2000 Erieye) dan kembangkan AWACS lokal bersama Havelsan Turki melalui PTDI. AWACS harus mendukung deteksi ancaman udara hingga 450 km dan koordinasi jet tempur seperti yang dilakukan Pakistan dengan ZDK-03 dan Saab 2000. 

"Implementasikan teknologi jamming dan decoy untuk mengacaukomunikasi musuh, serupa dengan taktik Pakistan yang melemahkan sistem SPECTRA Rafale. BRIN dapat memimpin riset, berkolaborasi dengan TNI AU untuk mengembangkan drone EW seperti EA-03,” jelas Larasmoyo.

Berikutnya, kembangkan satelit pertahanan untuk memperkuat sistem peringatan dini berbasis satelit dan radar jarak jauh, memanfaatkan keahlian BRIN dalam teknologi satelit. Juga termasuk pengembangan sistem rudal permukaan-ke-udara jarak jauh serupa HQ-9B untuk melengkapi pertahanan udara, memanfaatkan keahlian Pustekroket dalam teknologi roket. Sistem ini harus terintegrasi dengan radar AESA dan AWACS untuk intersepsi ancaman seperti yang dilakukan India dengan S-400.

"Secara bertahap pastikan Rafale mengintegrasikan sistem pertahanan lokal, seperti radar AESA dan rudal produksi dalam negeri, untuk meningkatkan kompatibilitas dengan armada TNI AU. Kembangkan sistem pertahanan udara hibrida yang menggabungkan teknologi blok Barat, blok Timur, dan lokal untuk konfigurasi teknologi responsif ancaman, memastikan fleksibilitas melawan berbagai jenis ancaman udara,” ujarnya.[Nug] 

 

 


Tinggalkan Komentar