telusur.co.id - Ketua MPR RI, Ahmad Muzani menegaskan pentingnya peran perempuan dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan dan memperkuat kualitas sumber daya manusia sebagai bekal menuju Indonesia Emas 2045.
Hal itu disampaikannya saat membuka seminar bertajuk “Kepemimpinan Perempuan untuk Indonesia Maju dan Sejahtera” yang diselenggarakan oleh Korps HMI Wati (KOHATI) melalui Forum Alumni HMI-Wati (Forhati), di Gedung Nusantara V, Kompleks Senayan, Jakarta, Jumat (23/5/2025).
Ahmad Muzani menyampaikan apresiasinya atas dedikasi para anggota Forhati yang dinilai aktif berkontribusi bagi masa depan bangsa melalui berbagai bidang, termasuk pendidikan, sosial, hingga politik.
“Pengorbanan ibu-ibu yang tergabung dalam FORHATI adalah nyata. Meninggalkan rumah, keluarga, bahkan suami untuk berkumpul di sini, demi memberi perhatian pada bangsa,” ujarnya.
Ia menuturkan emansipasi perempuan begitu kontras sejak awal kemerdekaan. Tidak sedikit perempuan kala itu yang menjadi anggota DPR, menteri, bahkan hakim pertama di Indonesia yang diangkat Presiden Soekarno pada 1954 juga merupakan perempuan, yaitu Siti Soendari.
“Itu menunjukkan bahwa Indonesia cukup terdepan dalam memberi ruang partisipasi perempuan.
Di sisi lain, Ahmad Muzani mengingatkan bahwa tantangan di masa depan cukup berat, yaitu kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih rendah. Bahkan rata-rata pendidikan masih ada yang berhenti di tingkat SMP, bahkan yang melanjutkan ke tingkat sarjana hanya 10 persen.
“Ini sangat rendah jika kita ingin jadi negara maju. Karena itu, partisipasi semua pihak sangat penting untuk memperkuat SDM. Perjuangan HMI dan KOHATI harus terus memberi kontribusi bagi bangsa dan negara, baik yang sudah senior maupun generasi sekarang,” tegasnya.
Saat ini kata dia, banyak juga yang terjebak dalam pragmatisme, dalam arti yaitu ingin hasil cepat tanpa usaha, ingin kaya tapi malas bekerja, dan ingin gelar tapi tidak belajar. Termasuk di politik, ada yang tiba-tiba populer tanpa sosialisasi.
“Itu adalah tantangan nilai. Maka HMI dan KOHATI harus memegang teguh nilai perjuangan. Saya percaya, KOHATI akan terus menjaga nilai-nilai itu, dan saya yakin dalam setiap usaha InsyaAllah akan sampai,” tuturnya.
Jawab dengan Prestasi
Sebagai narasumber seminar, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hj.Himmatul Aliyah,S.Sos.,M.Si, menyampaikan bahwa pentingnya perempuan untuk terus meningkatkan kapasitas dan tidak membiarkan diri dilemahkan oleh stigma maupun anggapan yang merendahkan.
“Jangan mau dilemahkan oleh orang lain. Jangan mau mendengar kata-kata yang mematahkan semangat kita. Jawab dengan prestasi,” tegas Himmatul.
Ia juga menegaskan bahwa perempuan harus dinilai dari kapasitas dan kemampuan, bukan semata-mata dari penampilan. Ia menolak anggapan yang merendahkan peran perempuan dalam politik. Ia menegaskan bahwa setiap perempuan memiliki kemampuan diplomasi dan kepemimpinan yang layak untuk diperhitungkan.
Baginya, keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia memang menunjukkan kemajuan, tetapi masih belum berbanding lurus dengan keberdayaan politik perempuan secara keseluruhan. Saat ini, dari 580 kursi DPR RI, sebanyak 127 di antaranya diisi oleh perempuan.
“Nomor urut itu tidak otomatis membawa kemenangan. Pemilu kita masih belum sepenuhnya berpihak pada afirmasi keterwakilan perempuan 30 persen. Karena itu, kita harus punya daya saing baik dalam ilmu pengetahuan maupun wawasan,” ujarnya.
Himmatul juga menekankan pentingnya peran regulasi dalam mendukung perempuan, antara lain dengan keberadaan pasal 28H UUD 1945, serta afirmasi keterwakilan 30 persen dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, UU Nomor 7 Tahun 2017, dan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 yang telah direvisi menjadi PKPU Nomor 4 Tahun 2024.
Mengakhiri paparannya, Himmatul mendorong perempuan Indonesia untuk terus belajar dan meningkatkan kapasitas melalui berbagai peluang pendidikan, termasuk beasiswa. Menurutnya, ruang pengabdian bagi perempuan terbuka luas, tidak hanya di parlemen, tetapi juga di berbagai bidang strategis lainnya.
Menjadi Kunci Perdamaian
Sementara itu Duta Besar Indonesia Untuk Kuwait Dra. Hj. Lena Maryana Mukti, S.Pd. I, menyoroti bahwa perempuan kerap terpinggirkan dalam konflik dan proses perdamaian, meskipun memainkan peran strategis sebagai pembawa damai.
Menurutnya, keterlibatan perempuan dalam proses perdamaian adalah kebutuhan strategis, bukan sekadar moral. Ia mengacu pada agenda global Women, Peace, and Security (WPS), yang menempatkan perempuan sebagai aktor penting dalam pencegahan konflik, perlindungan hak, dan pemulihan pasca konflik.
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa proses perdamaian harus inklusif dan memperhatikan kebutuhan perempuan dan anak-anak yang justru menjadi korban terbanyak dalam konflik.
“Perumusan perdamaian harus menyertakan perempuan karena perempuan lebih memahami kebutuhan perempuan dan anak,” tegasnya.
Pendidikan yang Utama
Selain itu Ketua Komisi X DPR RI, Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian, M.P.P., mengaku masih merasakan kuatnya ketimpangan gender di dunia pendidikan dan ketenagakerjaan, khususnya di bidang STEM dan pendidikan anak usia dini.
Selain itu menurutnya meskipun perempuan mendominasi di sektor-sektor tertentu, tetap ada stereotip yang membatasi ruang gerak mereka di ranah politik, teknologi, dan ekonomi. Salah satu tantangan besar yang dihadapi perempuan Indonesia, yaitu tingginya angka perkawinan anak. Data menunjukkan 12,7 persen anak perempuan putus sekolah karena menikah dini, sementara hanya 0,37 persen pada anak laki-laki.
“Dampaknya jelas tidak setara. Laki-laki masih bisa melanjutkan sekolah meskipun menikah dini, tapi perempuan seringkali harus berhenti,” katanya.
Dalam konteks ekonomi, Hetifah juga menyoroti peran penting perempuan kepala keluarga yang masih menghadapi berbagai hambatan, seperti keterbatasan dokumen, partisipasi pendidikan anak, hingga akses layanan dasar.
Peneliti Utama Politik BRIN Prof.Dr. R. Siti Zuhro.MA menyampakan bahwa untuk seluruh perempuan, khususnya yang tergabung dalam organisasi KOHATI, untuk segera mengambil peran lebih besar dalam pembangunan bangsa. Ia menekankan pentingnya kontribusi nyata yang tidak berhenti hanya pada tataran akademis.
"Ke depan, kontribusi perempuan khususnya yang ada di KOHATI harus lebih dari sekadar sebagai mahasiswa. Ini saatnya menunjukkan aksi konkret," tegasnya.
Menurutnya, KOHATI perlu menggalang kekuatan dan turun langsung ke masyarakat untuk membangun Indonesia dari desa. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah, termasuk Presiden terpilih Prabowo Subianto, dalam membangun dari pinggiran.
"Kita perlu memutus mata rantai kesengsaraan ekonomi dan kemiskinan yang masih terjadi di banyak wilayah Indonesia," ujarnya.
Ia menuturkan, saatnya KOHATI tidak hanya berkutat di Jakarta, dan harus segera menyentuh langsung kebutuhan dasar masyarakat. Membangun Indonesia dimulai dari desa, menuju sumber daya manusia yang kuat.
Seminar ini tidak hanya menjadi ruang refleksi, namun juga ajakan nyata bagi seluruh perempuan Indonesia untuk meningkatkan kapasitas, memperluas peran, dan mengambil bagian aktif dalam pembangunan bangsa.[]