Petisi APHA INDONESIA Menuntut Penghentian Permanen Aktivitas Pertambangan Nikel di Raja Ampat - Telusur

Petisi APHA INDONESIA Menuntut Penghentian Permanen Aktivitas Pertambangan Nikel di Raja Ampat

Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia (Foto : ist)

telusur.co.id -  Para akademisi dan pengajar hukum adat yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, menyatakan keprihatinan mendalam sekaligus pernyataan sikap tegas atas gejolak dan pelanggaran hukum yang timbul akibat aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat.

APHA Indonesia memaparkan, Raja Ampat merupakan wilayah yang memiliki nilai ekologis, kultural, dan spiritual yang sangat tinggi bagi masyarakat adat setempat. Wilayah ini tidak hanya penting dalam konteks pelestarian lingkungan global, tetapi juga merupakan bagian integral dari wilayah adat yang dijaga secara turun-temurun oleh komunitas-komunitas adat.

Raja Ampat merupakan bagian dari UNESCO Global Geopark (UGGp) yang berada di Indonesia. Kondisi ini menandakan bahwa Raja Ampat merupakan kawasan geografis tunggal yang memiliki warisan geologi luar biasa, dikelola dengan prinsip perlindungan, pendidikan, serta pembangunan berkelanjutan.

Pengakuan ini diberikan oleh UNESCO sebagai bentuk apresiasi terhadap upaya menjaga kekayaan bumi, budaya, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam mengelola sumber daya secara lestari.

Raja Ampat juga merupakan salah satu destinasi wisata yang memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut data Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat pada tahun 2024.

Disebutkannya, sektor pariwisata Raja Ampat 2024 memberikan kontribusi Rp150 miliar per tahun bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Daerah Raja Ampat telah menghasilkan kunjungan wisatawan mencapai 30.000 orang per tahun, di mana 70 persen merupakan wisatawan mancanegara. Kalau kerusakan lingkungan akibat tambang terus berlanjut, pendapatan pariwisata bisa anjlok hingga 60 persen.

Aktivitas tambang nikel akan mengancam mata pencaharian masyarakat adat di Papua Barat Daya. Karena, masyarakat kawasan Raja Ampat sangat menggantungkan hidup pada pariwisata dan perikanan.

Berdasarkan investigasi berbagai pihak, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) ditemukan pelanggaran serius mencakup:

• Operasi tanpa izin penggunaan kawasan hutan (PPKH);

• Pembukaan lahan di luar izin lingkungan;

• Penambangan di pulau kecil dilarang dalam Pasal 35 huruf k UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dikuatkan dengan Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023 yang menegaskan larangan aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil karena bersifat merusak secara serious and irreversible threat yaitu adanya ancaman yang berarti atau ancaman kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan.

• Tidak adanya persetujuan dari masyarakat adat melanggar prinsip free and prior informed consent (FPIC) dan implementasi precautionary principle bahwa pengelolaan sumber daya alam perlu dilakukan secara hati-hati karena dipandang sebagai satu sistem kehidupan sebagaimana diakui dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023.

Selain itu, hal yang dilanggar seperti dalam Konstitusi UUD 1945 Pasal 18B ayat (2), Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Selain itu, UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, prinsip pencegahan kerusakan lingkungan dan pemulihan lingkungan hidup dilanggar oleh aktivitas tambang terbuka.

Juga UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014, melarang aktivitas tambang di pulau kecil dan wilayah pesisir.

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, kerusakan ruang hidup masyarakat adat termasuk pelanggaran HAM berat.

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, mengabaikan kedudukan kampung adat yang memiliki hak ulayat.

UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim)

Dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023, menegaskan perlindungan hukum atas wilayah adat dan ekosistem pulau kecil.

Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), Pasal 26 menyatakan, Masyarakat adat memiliki hak atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau sebaliknya tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang telah digunakan atau yang telah didapatkan. Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengontrol tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang mereka miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan secara tradisional lainnya, juga tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya yang dimiliki dengan cara lain.

Negara-negara akan memberikan pengakuan hukum dan pelindungan atas tanah-tanah, wilayah-wilayah dan sumber daya-sumber daya tersebut. Pengakuan itu harus dilakukan sejalan dengan penghormatan atas kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi dan sistem penguasaan tanah pada masyarakat adat yang bersangkutan.

Dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), Pasal 32 menyatakan, Masyarakat adat memiliki hak untuk menentukan dan mengembangkan prioritas-prioritas dan strategi-strategi untuk pembangunan atau penggunaan tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber daya lainnya.

Negara-negara akan berunding dan bekerjasama dalam cara-cara yang tulus dengan masyarakat adat melalui institusi-institusi perwakilan mereka sendiri supaya mereka dapat mencapai persetujuan yang bebas tanpa paksaan sebelum menyetujui proyek apapun yang berpengaruh atas tanah-tanah atau wilayah mereka dan sumber daya yang lainnya, terutama yang berhubungan dengan pembangunan, pemanfaatan atau eksploitasi atas mineral, air, dan sumber daya mereka yang lainnya.

Negara-negara akan menyediakan mekanisme yang efektif untuk ganti rugi yang adil dan pantas untuk aktifitas apapun, dan langkah-langkah yang tepat akan diambil untuk mengurangi pengaruh kerusakan lingkungan hidup, ekonomi, social dan budaya atau spiritual.

Konvensi ILO No. 169.

Konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) No. 169 adalah satu-satunya instrumen hukum internasional yang mengikat yang secara khusus membahas hak-hak masyarakat adat dan suku. Hingga saat ini, telah diratifikasi oleh 24 negara dan tetap terbuka untuk ratifikasi. Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi tunduk pada pemantauan implementasi.

Konvensi ILO No. 169 memiliki dua prinsip dasar, Hak masyarakat adat untuk mempertahankan dan memperkuat budaya, cara hidup, dan institusi mereka sendiri. Hak untuk berpartisipasi secara efektif dalam keputusan yang mempengaruhi mereka.

Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD)

PERNYATAAN SIKAP

Dengan ini APHA Indonesia Menuntut penghentian permanen, seluruh aktivitas Pertambangan Nikel di Raja Ampat, karena terbukti bertentangan dengan hukum positif Indonesia. Serta merusak tatanan kehidupan masyarakat hujan adat.

Selain itu mendesak, pwncabutan semua Izin usaha pertambangan yang diterbitkan tanpa konsultasi publik dan FPIC Masyarakat Adat

Tak hanya itu, menyerukan proses hukum pidana perdata dan administrasi kepada perusahaan dan pejabat yang terlibat penerbitan izin yang melanggar hukum dan etika pemerintahan.

APHA juga mendorong audit dan evaluasi seluruh kebijakan investasi di wilayah pulau kecil dan wilayah konservasi, khusus yang bertentangan dengan Geopark Dunia.

APHA menegaskan, pentingnya penghormatan terhadap kearifan lokal masyarakat adat, sebagai Benteng terakhir kelestarian ekosistem san kehidupan berkelanjutan di Nusantara.

Dalam kesimpulan APHA menilai, Kerusakan lingkungan di Raja Ampat bukan hanya masalah lokal, melainkan merupakan ancaman global terhadap warisan ekologis dunia. Pelanggaran terhadap hak masyarakat adat, kelestarian lingkungan, dan prinsip keadilan lintas generasi harus dihentikan sekarang juga.

Asosiasi Pengajar Hukum Adat Indonesia, mendukung langkah hukum tegas dan mendesak pemerintah untuk menghentikan selamanya aktivitas tambang di Raja Ampat, serta mengembalikan hak masyarakat adat dan ekosistemnya secara utuh.

Petisi ini adalah suara nurani hukum, budaya, dan lingkungan. Demi masa depan anak cucu kita, demi kedaulatan masyarakat adat, demi kelestarian warisan dunia, APHA menyerukan hentikan selamanya tambang di Raja Ampat.

Tandatangani petisi ini dan suarakan keberpihakan kita pada keadilan ekologis, hukum, dan hak masyarakat adat.

Bersama kita bisa hentikan kerusakan, sebelum semuanya.

Kami mendukung sepenuhnya penghentian permanen aktivitas pertambangan di Raja Ampat, kembalikan hak masyarakat adat dan ekosistemnya secara utuh:

Kami mendukung sepenuhnya penghentian permanen aktivitas pertambangan di Raja Ampat, kembalikan hak masyarakat adat dan ekosistemnya secara utuh:

1. Prof Dr. St. Laksanto Utomo, S.H.,M.H. (Ketua APHA Indonesia)

2. Dr. Rina Yulianti (Sekjend APHA Indonesia)

3. Dr. Amri P Sihotang ( Dekan FH Univ Semarang (USM)

4. Dr.Ruliah, SH., MH.( Wabendum APHA)

5. Dr.Hj.Erleni.SH.,MH

6. Sulistyowati Irianto (FHUI)

7. Abdul Rahman Nur [Univ Andi Djemma]

8. Prof Dr asulityowati Irianto ( UI )

9.Prof Dr Dominicus Rato SH MH Univ Jember

10.Prof Dr Chatarina Dewi SH MH, Ketua Pembina APHA Universitas Parahiyangan Bandung. (fie)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Tinggalkan Komentar