telusur.co.id -Oleh: Lanny Ilyas Wijayanti, Anggota Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia.
Indonesia sedang berada di persimpangan penting dalam reformasi pendidikan. Sejak lama, kualitas pendidikan di tanah air kerap dipertanyakan bukan karena semangat belajar yang kurang, tetapi karena belum meratanya standar pengukuran capaian akademik. Di tengah tantangan tersebut, Tes Kemampuan Akademik (TKA) hadir sebagai upaya pemerintah memperkuat objektivitas, kesetaraan, dan mutu pendidikan.
TKA, yang akan digelar pertama kali pada November 2025, bukan sekadar tes biasa. Ia dirancang berdasarkan Permendikdasmen No. 9 Tahun 2025 untuk mengukur kemampuan akademik siswa SMA/MA/SMK secara terstandar di seluruh Indonesia. Mata pelajaran yang diujikan pun strategis: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan dua mata pelajaran pilihan sesuai jurusan. Pendekatan ini membuat TKA lebih fleksibel, relevan, dan tidak sekaku ujian nasional di masa lalu.
Yang menarik, TKA bersifat opsional, tetapi manfaatnya sangat besar. Data hasil TKA dapat menjadi bahan evaluasi bagi sekolah, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat, untuk melihat di mana titik lemah pembelajaran dan bagaimana memperbaikinya. Lebih dari itu, hasilnya bisa membantu proses seleksi akademik yang adil tanpa bergantung pada faktor geografis atau kualitas sekolah yang tidak merata.
Tentu, kebijakan ini tidak datang tanpa tantangan. Sosialisasi menjadi kunci. Masyarakat harus memahami bahwa TKA bukan momok baru, apalagi reinkarnasi Ujian Nasional, tetapi instrumen pembantu untuk memastikan setiap anak punya kesempatan yang sama. Komunikasi publik yang jelas akan mengurangi kekhawatiran, terutama dari orang tua dan siswa yang khawatir akan “beban ujian” tambahan.
Dari perspektif filosofis, TKA adalah wujud nyata semangat pemerataan pendidikan. Ia mencerminkan nilai keadilan memberi semua anak, dari Sabang sampai Merauke, peluang diukur dengan parameter yang sama. Secara sosiologis, TKA dapat menjadi perekat antarwilayah, karena hasilnya memotret kemampuan nasional, bukan hanya sekolah atau daerah tertentu.
Partisipasi lintas pemangku kepentingan juga penting. Pemerintah daerah, guru, orang tua, bahkan komunitas pendidikan informal perlu terlibat. Dukungan sistemik mulai dari pelatihan guru, penyediaan infrastruktur, hingga bantuan bagi sekolah di daerah tertinggal akan memastikan TKA berjalan adil dan efektif.
Dengan perencanaan yang matang, TKA bisa menjadi pendorong perubahan besar. Ia bukan hanya mengukur, tetapi juga memacu peningkatan mutu pembelajaran. Ketika hasilnya dijadikan bahan refleksi bersama, Indonesia punya peluang besar mempersempit kesenjangan kualitas pendidikan yang selama ini menjadi pekerjaan rumah.
TKA adalah langkah maju. Ia bukan ujian yang mengikat, melainkan jembatan menuju pendidikan yang lebih setara, objektif, dan berkualitas. Jika dijalankan konsisten dan disertai partisipasi semesta, TKA bisa menjadi warisan berharga bagi generasi masa depan bukan sekadar tes, melainkan tanda bahwa kita serius mewujudkan pendidikan bermutu untuk semua.