Persatuan ASEAN Sedang Diuji di Era Perang Ekonomi - Telusur

Persatuan ASEAN Sedang Diuji di Era Perang Ekonomi

Vijay Eswaran adalah Pendiri dan Ketua Eksekutif QI Group. Foto: Istimewa.

telusur.co.id -Oleh: Vijay Eswaran adalah Pendiri dan Ketua Eksekutif QI Group.

Guncangan tarif tahun 2025 menjadi ujian paling krusial bagi persatuan ASEAN sejak krisis keuangan 1997. Namun, di balik kehadirannya terdapat peluang besar yang tersimpan.

Dalam menghadapi kebijakan tarif “Liberation Day” dan kebijakan ekonomi global yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump, terdapat perpecahan besar yang muncul dalam solidaritas regional ASEAN.

Kendati blok ini secara resmi berpegang pada prinsip konsensus, masing-masing negara anggotanya justru berlomba-lomba menjalin kesepakatan bilateral. Hal ini seolah memberikan tanda bahaya bagi kohesi kolektif ASEAN.

Persatuan ASEAN kini harus segera dipulihkan dari “individual survival instinct” yang membuat negara-negara anggotanya berjalan sendiri-sendiri.

Posisi strategis Malaysia sebagai tuan rumah pada ASEAN tahun 2025 memikul mandat untuk memimpin blok ini menuju integrasi yang lebih nyata demi menjaga otonomi strategis dan daya tawar ekonominya.

Bagaimana ASEAN merespons situasi ini akan sangat menentukan masa depan keutuhan dan persatuan kawasan tersebut.

Anatomi Perpecahan

Berbeda dengan otoritas supranasional Uni Eropa, prinsip konsensus dan non-intervensi ASEAN sering kali menghambat pengambilan keputusan bersama.

Penundaan bertahap akan pemberlakuan tarif oleh Trump justru memperburuk keadaan ketika negara-negara ASEAN yang berorientasi ekspor berebut menegosiasikan kesepakatan bilateral dengan Washington demi melindungi akses pasar mereka.

Dinamika “setiap negara untuk dirinya sendiri” ini memperlihatkan kelemahan institusional ASEAN yang mendasar: aksi kolektif yang mudah goyah.

Tantangan ini melampaui isu perdagangan. Hal yang penting untuk ditanyakan kini adalah apakah ASEAN mampu bertransformasi menjadi blok ekonomi yang solid dan mampu memanfaatkan kekuatan kolektifnya

Menyusun Langkah Tepat untuk ASEAN

Meskipun isu dedolarisasi ramai dibicarakan, sebagian besar masih sebatas “eksperimen praktis.”

Bahkan kesepakatan bilateral yang berhasil menggunakan mata uang non-dolar, seperti antara India dan Rusia misalnya, lebih didorong oleh kebutuhan krisis ketimbang upaya membangun arsitektur moneter baru.

Dolar AS masih menyumbang sekitar 58% dari total cadangan devisa global yang dilaporkan.

Bentuk instrumen kekuatan lain yang dimiliki AS, seperti ancaman dikeluarkan dari sistem SWIFT, akan terus memperpanjang dominasi dolar terhadap mata uang alternatif seperti renminbi dalam waktu yang lama.

Dengan kondisi terhimpit antara proteksionisme AS yang meningkat dan ambisi BRICS untuk melepaskan diri dari dolar, ASEAN harus menempuh jalan pragmatis dengan memperkuat kerangka keuangan regional yang lebih mandiri agar daya tawar ekonominya tetap terjaga.

Dalam menghadapi guncangan tarif terbaru ini, ASEAN tidak bisa membuang waktu untuk merancang skema pengganti mata uang yang megah namun tidak realistis. Sebaliknya, yang perlu dilakukan ASEAN adalah melanjutkan penguatan inisiatif Regional Payment Connectivity (RPC).

Melalui peningkatan konektivitas lintas batas dalam mata uang lokal, Malaysia baru-baru ini memperluas kerja sama pembayaran QR dengan Kamboja.

Kini, wisatawan Malaysia dapat melakukan pembayaran instan melalui aplikasi MAE dengan konversi mata uang otomatis, tanpa perlu melalui perantara dolar. Sistem serupa juga telah menghubungkan PromptPay (Thailand), PayNow (Singapura), dan QRIS (Indonesia).

Upaya-upaya ini secara strategis memperkuat ekosistem keuangan yang lebih saling terhubung, menjaga momentum konektivitas mata uang lokal dan integrasi sistemik di dalam ASEAN.

Otonomi Strategis melalui Kemitraan dan Dialog Multilateral

Di tengah perbedaan geopolitik yang kian melebar, ASEAN harus mengamankan otonomi regionalnya dengan memperkuat dialog multilateral.

Lima Belas Priority Economic Deliverables Malaysia menjadi cetak biru bagi ASEAN untuk secara strategis mendiversifikasi kemitraan dagang dengan Tiongkok, India, dan negara-negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).

Untuk melampaui pendekatan negosiasi bilateral tradisional dan memperdalam integrasi ekonomi kawasan, ASEAN perlu mempercepat negosiasi ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA) dan Digital Economy Framework Agreement (DEFA) guna memperkuat ketahanan rantai pasok dan ekonomi digital.

Dengan mengedepankan dialog yang terbuka dan konstruktif, Malaysia telah memanfaatkan keketuaannya untuk menjadi tuan rumah ASEAN-GCC Summit pertama, sekaligus memastikan partisipasi AS menjelang ASEAN Summits pada Oktober mendatang.

Langkah-langkah ini membawa janji besar bagi otonomi strategis ASEAN di panggung global, terlebih ketika blok ini terus menjalin hubungan dengan kekuatan dunia secara seimbang tanpa terjebak dalam aliansi bilateral di tengah ketegangan geopolitik.

Kendati demikian, tantangan terbesar tetaplah bagaimana merancang mekanisme institusional yang mampu menopang persatuan jangka panjang.

Keketuaan Malaysia harus melampaui retorika semata, dengan mengokohkan integrasi regional yang mendukung dialog multilateral dalam konteks multipolaritas dan non-blok global.

Jalan Ke Depan: Integrasi melalui Krisis

Kepemimpinan Malaysia harus mengakui bahwa pendekatan tradisional ASEAN dalam membangun konsensus telah mencapai ambang batas.

Blok ini tidak dapat meraih otonomi strategis hanya dengan deklarasi diplomatik. Untuk itu, diperlukan integrasi operasional yang mampu mengubah pola pikir regional, mulai dari fragmentasi yang mahal menuju persatuan yang menguntungkan.

Artinya, percepatan terhadap berbagai inisiatif konkret yang sudah berjalan menjadi hal penting, seperti menyelesaikan negosiasi ATIGA, mengoperasionalkan kerangka ekonomi digital senilai USD 1 triliun, serta memperluas konektivitas pembayaran hingga mencakup seluruh pembiayaan perdagangan.

Yang paling krusial, ASEAN harus menciptakan mekanisme institusional yang memberi insentif bagi aksi kolektif dan memberi sanksi terhadap tindakan sepihak.

Krisis sebagai Katalis

Krisis tarif tahun 2025 mengungkap kerentanan serta potensi ASEAN.

Keketuaan Malaysia hadir ketika diplomasi tradisional terbukti tidak lagi memadai. Integrasi transformatif pun menjadi kunci untuk menavigasi perbedaan global dan ketidakpastian geopolitik.

Pilihannya jelas: tetap menjadi asosiasi longgar yang rentan terhadap tekanan eksternal, atau berevolusi menjadi blok ekonomi terpadu dengan kekuatan tawar kolektif.

Malaysia memiliki sarana untuk mewujudkan transformasi ini, yakni melalui konektivitas pembayaran hingga integrasi digital.

Pertanyaannya bukan lagi apakah ASEAN dapat bertahan dari krisis saat ini, melainkan apakah ASEAN mampu memanfaatkan krisis ini untuk akhirnya menjadi seperti yang dicita-citakan para pendirinya: kekuatan regional yang bersatu dan mampu membentuk arah perkembangan global, bukan sekadar bereaksi terhadapnya.

Jendela waktu untuk transformasi ini tidak banyak, dan taruhannya tidak pernah sebesar ini.

Namun, untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade, ASEAN memiliki fondasi ekonomi dan tekanan eksternal yang cukup untuk menempa persatuan sejati. Kepemimpinan Malaysia akan menentukan apakah momen ini menjadi katalis integrasi, atau sekadar kesempatan berharga yang akan kembali terlewatkan.


Tinggalkan Komentar