Mahasiswa dalam Kemelut Idealisme dan Pragmatisme - Telusur

Mahasiswa dalam Kemelut Idealisme dan Pragmatisme

Menteri Aksi dan Propaganda BEM UNESA, Lira Rifani Yuniar

telusur.co.idOleh : Lira Rifani Yuniar

Sering kali saya merenung, mempertanyakan “apakah benar organisasi seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Himpunan Mahasiswa Prodi (HMP), dan lain sebagainya dipenuhi oleh individu-individu yang benar-benar kompeten dan memiliki semangat pengabdian? Ataukah, jangan-jangan, organisasi ini hanya menjadi ladang kuasa dan ruang latihan politik yang pragmatis dalam lingkup akademik?”.

Selama ini kita sering mendengar bahwa, kampus adalah miniatur dari negara. Maka, tak berlebihan jika muncul pertanyaan lanjutan bahwa jika di tingkat kampus saja praktik politik sudah dipenuhi manuver-manuver tak sehat, apakah mungkin kerusakan sistemik di panggung politik nasional berakar dari sini? 

Apakah sebagian tokoh politik hari ini pernah melalui proses kaderisasi yang sarat kepura-puraan, transaksionalisme, dan kompromi nilai di organisasi kemahasiswaan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu tidak mudah dijawab, terlebih karena isu ini sangat sensitif. Sebagai mahasiswa biasa yang mencoba memahami dinamika politik kampus, saya sadar bahwa pendapat semacam ini berpotensi menimbulkan resistensi, bahkan cibiran. 

“Seberapa tinggi ilmumu dan seberapa lama pengalamanmu sampai berani menulis ini?” mungkin itu yang akan dilontarkan oleh beberapa senior yang sudah terlalu lama berada di lingkar kekuasaan kampus. Tapi bukankah justru mahasiswa seharusnya memiliki ruang aman untuk bertanya dan berpikir secara kritis?.

Saya tidak sedang menghakimi, namun realita yang saya lihat cukup memprihatinkan. Tidak sedikit mahasiswa yang dulu begitu lantang menyuarakan idealisme, kini justru berlomba- lomba menjilat demi kekuasaan. Posisi dalam organisasi kampus kerap diperebutkan bukan karena visi besar untuk perubahan, melainkan demi pencitraan, akses relasi, atau sekadar demi "prestise" di CV. Apakah ini yang disebut politik kampus? Ataukah hanya praktik kekuasaan yang dibungkus idealisme semu?. 

Mungkin saya terlalu terpengaruh oleh buku-buku pemikir seperti Tan Malaka yang mengangkat tinggi peran intelektual dalam perjuangan. Mungkin saya terjebak dalam romantisme idealisme, sementara zaman sudah berubah ke arah yang lebih pragmatis. Tapi tetap saja, ada hal yang terasa hilang. Semangat untuk bertumbuh secara intelektual, berpikir kritis dan terbuka, serta menjadikan organisasi sebagai alat perubahan sosial sering kali tenggelam di balik agenda-agenda yang sifatnya sangat praktis dan jangka pendek.

Saya masuk ke dunia kampus dengan harapan besar bahwasanya menjadi mahasiswa berarti menjadi agen perubahan, pemilik idealisme, dan penjaga akal sehat publik. Namun semakin saya terlibat, semakin saya bertanya-tanya “benarkah masih ada ruang untuk nilai-nilai itu tetap hidup?”. 

Bukan berarti semua organisasi kampus bobrok. Tidak. Masih ada beberapa yang bekerja secara sungguh-sungguh, memperjuangkan aspirasi mahasiswa dan menciptakan ruang intelektual yang sehat. Hanya saja sistem yang ada, budaya senioritas, dan obsesi terhadap kekuasaan sering kali menjadi penghalang bagi suara-suara kritis untuk berkembang.

Saya tidak sedang pesimis, saya hanya sedang jujur. Dan dalam kejujuran itu, saya merasa muak. Saya muak, muak pada kenyataan bahwa idealisme yang dulu diagung agungkan kini telah mati, dikubur hidup hidup dibawah tumpukan seremonial dan formalitas palsu. 

Apa yang dulu dijanjiikan sebagai ruang perjuangan, kini menjelma menjadi panggung pertunjukan sandiwara, di mana aktor aktornya pandai menyembunyikan dosa dan membungkus kebusukan dengan jargon jargon perjuangan yang tak tau lagi arahnya kemana. Berkali-kali saya menyaksikan sendiri, bagaimana sebagian dari mereka menutup nutupi kesalahan, seolah olah semua baik-baik saja. Hanya demi melindungi bangku kekuasaan yang mereka duduki. 

Lalu, mereka berbicara tentang integritas dan transparansi, padahal mereka sendiri tak lebih dari topeng yang rapuh. Yang mengabdi dengan sungguh sungguh bisa dihitung jari, satu dua orang yang memanggul beban. Selebihnya? Hanya mengisi kolom jabatan di grup WhatsApp, sibuk dengan pencitraan pribadi dan sibuk membangun citra demi masa depan langkah politiknya. Ya, apalagi jika tidak untuk batu loncatan? Haha, lucunya, apa gunya mereka ada dalam kabinet kerja jika kerjanya pun tidak ada atau nihil?.

Saya kira saya bodoh dan terlalu naif ketika pertama kali bergabung dalam lingkaran organisasi yang lekat dengan politik. Saya kira, ini adalah ruang belajar dan bertumbuh saya. Ruang kritis saya. Saya kira ini adalah rumah bagi mereka yang ingin mengubah keadaan atau sekadar bagi mereka yang memiliki harapan besar untuk negara. 

Tapi nyatanya, saya seperti hanya melangkah masuk ke dalam kandang kerbau. Dimana Hewan hewan harus dicambuk agar mau berjalan, tanpa kehendak atau prinsip sendiri, tanpa arah, tanpa adanya idealisme dan semangat perjuangan. 

Apakah ini organisasi mahasiswa atau birokrasi mini yang mecontek sistem busuk negara? Apakah para mahasiswa sekalian yang hadir untuk menyuarakan kebenaran atau sekadar meniru suara senior agar kelak mendapatkan warisan kekuasaan?

Jangan berbicara perihal keberpihakan pada rakyat jika untuk bersuara jujur dan lantang saja kalian tidak berani. Jangan bermulut besar perihal perlawanan jika yang kalian lawan hanyalah waktu kosong di Google Calendar. 

Jangan bawa-bawa nama perubahan jika nyatanya kalian takut untuk menjadi berbeda, takut menantang status quo, dan lebih suka tunduk pada kepentingan yang entah milik siapa.

Saya menulis hal ini bukan untuk meruntuhkan jembatan namun untuk menyadarkan kembali bahwasanya sebagai mahasiswa, kalian ada bukan hanya untuk menunggu giliran menjadi ketua, kepala, atau jabatan jabatan kosong organisasi, tanpa aksi yang nyata, tanpa nyali, tanpa hati. 

Jika memang demikian dan kenyataannya demikian, lebih baik minggirlah saja. Masih banyak mahasiswa di luaran sana yang lebih layak untuk menempati posisi posisi tersebut. Mahasiswa dengan idealismenya dan mereka yang belum terkikis nurani perlawanannya. Mereka yang tidak takut berdiri sendiri untuk hal hal yang benar.

Kalian-kalian mahasiswa yang saat ini duduk di bangku kuasa, yang raganya hadir hanya sebagai formalitas, titipan, atau bahkan boneka dari skenario lama yang membosankan. Izinkan saya menyampaikan keprihatinan yang sebesar besarnya, dan, satu pertanyaan saya; "Tak malu kah kalian berkoar-koar mengkritik pemerintahan negara jika kalian saja hidup dalam boneka kekuasaan?".

*Penulis adalah Menteri Aksi dan Propaganda Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (BEM UNESA)


Tinggalkan Komentar