12 Negara Ini Kecam Militer Myanmar yang Bunuh Ratusan Demonstran dalam Sehari - Telusur

12 Negara Ini Kecam Militer Myanmar yang Bunuh Ratusan Demonstran dalam Sehari


telusur.co.id - Kepala pertahanan dari 12 negara mengecam militer Myanmar yang melakukan tindakan mematikan terhadap para pengunjuk rasa. Pada Sabtu (27/3/21), aksi diwarnai dengan bentrokan pasukan keamanan yang dilaporkan membuat setidaknya 114 orang meninggal, termasuk di antaranya anak-anak.

Amerika Serikat (AS), Inggris, Jepang, dan Korea Selatan (Korsel) secara resmi menandatangani pernyataan bersama berisi kecaman terhadap militer Myanmar pada Minggu (28/3/21).

Negara lain ikut menandatangani adalah Australia, Kanada, Jerman, Yunani, Italia, Denmark, Belanda, dan Selandia Baru.

"Militer profesional mengikuti standar internasional untuk perilaku dan bertanggung jawab untuk melindungi - bukan merugikan - orang-orang yang dilayaninya. Kami mendesak angkatan bersenjata Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan bekerja untuk memulihkan rasa hormat dan kredibilitas dengan rakyat Myanmar yang telah hilang melalui tindakannya,” demikian para kepala pertahanan 12 negara itu dalam pernyatan bersama, dilansir dari Aljazirah.

Kecaman bersama sebelumnya hampir belum pernah dibuat oleh kepala pertahanan negara-negara dunia. Sejak 1 Februari, tentara Myanmar melakukan kudeta dan menangkap para pemimpin pemerintahan sipil, membuat banyak orang yang mendukung demokrasi turun ke jalan menyuarakan protes.

Selama aksi protes terjadi, bentrokan dengan pasukan keamanan kerap terjadi. Namun, pada Sabtu (27/3/21), terdapat perlawanan dari kelompok etnis bersenjata yang menguasai sebagai wilayah Myanmar dengan militer

Militer mengerahkan jet untuk meluncurkan serangan udara di sebuah desa yang dikendalikan oleh etnis minoritas Karen. Sebanyak tiga orang dilaporkan tewas, sementara dalam serangan di sebuah pos militer dekat perbatasan Thailand menewaskan 10 orang.

Kekerasan terjadi bersamaan saat militer menggelar peringatan Hari Angkatan Bersenjata. Jenderal Min Aung Hlain selaku panglima pimpinan militer mengatakan bahwa akan melindungi rakyat dan berjuang untuk demokrasi.

Asosiasi Bantuan Tahanan Politik, sebuah kelompok pemantau, mengatakan telah memverifikasi 328 kematian dalam tindakan keras sejak kudeta militer Myanmar terjadi pada 1 Februari lalu. Lebih dari 2.400 orang juga ditahan.

Phil Robertson, wakil direktur Asia untuk Human Rights Watch yang berbasis di New York, mengatakan peristiwa yang terjadi menunjukkan bahwa militer, yang dikenal di Myanmar sebagai Tatmadaw, harus dituntut di pengadilan hukum internasional. Ia mengatakan jika tidak demikian, maka warga Burma harus selalu siap kehilangan nyawa mereka.

Pelapor Khusus PBB Tom Andrews mengatakan sudah waktunya bagi dunia untuk mengambil tindakan. Ia menyebut selain melalui Dewan Keamanan PBB dan pertemuan puncak darurat internasional, Pemerintah Myanmar yang kini dipimpin militer harus dipotong dari pendanaan, seperti pendapatan minyak dan gas, dan akses senjata.

"Kata-kata kecaman atau keprihatinan terus terang terdengar hampa bagi rakyat Myanmar sementara junta militer melakukan pembunuhan massal terhadap mereka. Orang Myanmar membutuhkan dukungan dunia. Kata-kata saja tidak cukup, sudah lewat waktu untuk tindakan yang kuat dan terkoordinasi," kata Andrews.[Fhr]
 


Tinggalkan Komentar