telusur.co.id - Indonesia kembali dikejutkan oleh rentetan tindakan intoleransi yang mencederai nilai kebhinekaan dan merusak sendi-sendi persatuan dalam keberagaman. Dalam waktu berdekatan, tiga insiden yang menyasar kebebasan beragama umat Kristen terjadi di tiga wilayah: Sukabumi, Depok, dan terakhir Padang. Insiden ini menimbulkan luka kolektif dan menandakan bahwa intoleransi masih menjadi ancaman nyata.
Insiden pertama terjadi di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat pada Jumat, 27 Juni 2025. Sebuah rumah milik Maria Veronica Nina (70) dijadikan tempat retret dan ibadah yang diikuti oleh 36 anak dan para pendamping. Warga yang merasa terganggu melapor ke kepala desa dan meminta klarifikasi kepada pemilik rumah.
Namun, karena dianggap tidak merespons, warga dari Desa Tangkil dan Cidahu kemudian mendatangi rumah tersebut dan melakukan perusakan fasilitas, termasuk jendela, kursi, sepeda motor, dan mobil, dengan kerugian ditaksir mencapai Rp 50 juta. Anak-anak peserta retret turut menjadi korban intimidasi dan kekerasan verbal, menyaksikan kekerasan tersebut secara langsung dan mengalami trauma mendalam.
Beberapa hari berselang, penolakan pembangunan rumah ibadah kembali terjadi di RW 03, Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat. Warga menolak pembangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) dengan alasan kurangnya sosialisasi.
Namun perwakilan gereja, Zetsplayrs Tarigan, membantah klaim tersebut. Ia menyatakan bahwa pihak gereja telah berulang kali menjalin komunikasi dengan pengurus lingkungan, termasuk RT dan RW. Bahkan, pembangunan tersebut telah mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang terbit pada 4 Maret 2025.
Meskipun semua prosedur telah ditempuh secara sah, penolakan tetap terjadi. Hal ini mencerminkan bahwa hambatan terhadap kebebasan beragama tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga bersumber dari intoleransi sosial.
Puncaknya, insiden paling baru terjadi pada Minggu sore, 27 Juli 2025 di Kelurahan Padang Sarai, RT 002 RW 009, Kota Padang, Sumatera Barat. Rumah doa milik Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah Padang diserbu sekelompok warga saat ibadah tengah berlangsung. Dalam kejadian ini, kaca rumah doa dipecahkan, dan anak-anak yang mengikuti kegiatan mengalami intimidasi dan kekerasan.
Situasi ini kembali mempertegas bahwa kebebasan beragama masih belum dijamin secara merata, bahkan di tempat ibadah sederhana yang dilakukan secara tertutup dan damai.
Melihat tren meningkatnya kasus intoleransi, Badan Eksekutif Mahasiswa Kristiani Seluruh Indonesia (BEM KSI) menyatakan keprihatinan mendalam dan kecaman keras terhadap tindakan-tindakan tersebut.
“Peristiwa ini menampar kesadaran kita sebagai bangsa yang berdiri atas dasar keberagaman. Realitasnya, diskriminasi, ujaran kebencian, dan penolakan terhadap hak dasar sesama warga karena perbedaan keyakinan masih terus terjadi,” ujar Koordinator Pusat BEM KSI, Charles Gilbert. Rabu, (30/7/2025).
BEM KSI menilai bahwa, negara telah gagal hadir dalam melindungi kelompok minoritas. Oleh karena itu, mereka mendesak Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk segera mencopot Menteri Agama, yang dinilai abai dan tidak menjalankan tanggung jawab konstitusional.
“Kami meminta Presiden Prabowo untuk mencopot Menteri Agama yang terbukti gagal memberikan perlindungan terhadap hak-hak beragama seluruh warga negara. Negara tidak boleh absen ketika warga minoritas mengalami persekusi hanya karena perbedaan keyakinan,” lugasnya.
Tak hanya menyoroti pemerintah, BEM KSI juga mendesak aparat penegak hukum untuk segera menindak tegas pelaku intoleransi di ketiga daerah tersebut tanpa tebang pilih.
“Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Kepolisian harus bertindak tegas terhadap pelaku intoleransi karena ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar konstitusi,” bebernya.
Lebih dari itu, BEM KSI menegaskan bahwa, insiden Padang harus menjadi yang terakhir. Tidak boleh lagi ada pembiaran terhadap pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia.
“Kita harus menjadikan tragedi di Padang sebagai titik balik, sebagai peringatan terakhir. Indonesia tidak boleh lagi mentoleransi intoleransi. Tidak ada tempat bagi kekerasan berbasis agama di negeri ini,” lugasnya.
BEM KSI menyerukan kepada seluruh masyarakat sipil, tokoh agama, organisasi mahasiswa, dan komunitas lintas iman untuk terus mengawal nilai-nilai toleransi, menegakkan kemanusiaan, serta memperjuangkan hak hidup damai dan setara dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. (ari)