telusur.co.id - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan bahwa Indonesia memiliki dasar ilmiah dan historis yang kuat untuk menyatakan diri sebagai salah satu peradaban tertua di dunia. Hal ini disampaikannya saat meninjau fasilitas penyimpanan koleksi ilmiah arkeologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) di Cibinong, Kabupaten Bogor, Senin (30/6).
“Kalau 60 persen fosil Homo erectus ditemukan di Indonesia, itu berarti kita punya mayoritas bukti sejarah. Jadi kita harus berani mengklaim bahwa kita adalah peradaban tua yang membentuk wajah dunia,” ujar Fadli.
Ia menyebut kawasan Sangiran, Jawa Tengah, sebagai salah satu situs arkeologi terpenting, yang menyumbang sebagian besar temuan Homo erectus — manusia purba yang menjadi kunci dalam studi evolusi manusia.
Tak tanggung-tanggung, Fadli bahkan mengusulkan agar Indonesia mulai menempatkan diri sebagai “ibu kota peradaban dunia”, dengan menjadikan temuan-temuan arkeologis dan warisan budaya sebagai landasan klaim tersebut. “Kita tidak hanya punya data, tapi juga narasi. Kini saatnya menjadikan Indonesia pusat kebudayaan global,” katanya.
Menbud juga menyoroti pentingnya kolaborasi antara kementeriannya dan BRIN dalam menjaga warisan budaya berbasis kajian ilmiah yang kuat. Ia menegaskan bahwa pelestarian warisan tidak cukup berhenti di dokumentasi dan penyimpanan, tetapi harus menghadirkan warisan sebagai “living heritage” yang hidup dan relevan dalam kehidupan masyarakat.
Fadli juga menyinggung pentingnya repatriasi artefak dan fosil sejarah dari luar negeri, termasuk koleksi yang pernah dibawa ke Belanda oleh Eugène Dubois, penemu Pithecanthropus erectus (Homo erectus) di Trinil. “Kami sedang bernegosiasi untuk mengembalikan puluhan ribu fosil yang dibawa ke luar negeri. Kita ingin artefak kita kembali ke tanah air sebagai identitas budaya bangsa,” katanya.
Fadli menekankan bahwa warisan budaya bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi merupakan fondasi masa depan, dan tugas pelestariannya adalah kerja peradaban, bukan kerja sektoral. “Ini bukan hanya tentang melindungi artefak, tapi tentang membangun jati diri bangsa di tengah peradaban global. Kita punya hak untuk bicara di panggung sejarah dunia,” tutupnya.[]