Haidar Alwi: Kenapa Sejumlah Pensiunan TNI Bersemangat Desak Reformasi Polri? - Telusur

Haidar Alwi: Kenapa Sejumlah Pensiunan TNI Bersemangat Desak Reformasi Polri?


telusur.co.id - Munculnya nama mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo semakin memperpanjang daftar purnawirawan TNI yang mendesak reformasi Polri. Fenomena tersebut membuat Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi bertanya-tanya kenapa sejumlah purnawirawan TNI begitu bersemangat mendesak reformasi Polri?

"Sebelum Gatot, ada nama mantan Kepala BAIS TNI Soleman Ponto, mantan Danjen Kopassus Soenarko dan orang dekatnya Sri Radjasa. Ada juga mantan Pati TNI AD Saurip Kadi. Terus terang saya heran kenapa mereka begitu bersemangat bahkan sangat bernafsu mendesak reformasi Polri atau mengganti Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo?" Kata Haidar Alwi, Sabtu (18/10/2025).

Menurutnya, desakan Gatot Nurmantyo agar Presiden Prabowo Subianto segera merealisasikan Reformasi Polri, dengan menjadikan kasus Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa sebagai alasan, tampak lebih menyerupai tekanan politik ketimbang dorongan moral untuk memperbaiki institusi kepolisian. 

"Sebab, jika niat reformasi yang dimaksud benar-benar berangkat dari kepentingan bangsa, maka argumen Gatot dan para purnawirawan TNI lain yang mendukungnya akan berfokus pada substansi reformasi. Bukan pada tuntutan personal seperti pergantian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo," tutur Haidar Alwi.

Oleh karena itu, dalam konteks ini, publik justru berhak bertanya. Apakah yang sedang diusung adalah reformasi kelembagaan Polri, atau perebutan pengaruh antara dua institusi bersenjata yang sejak lama memiliki sejarah kompetisi terselubung?

Kedua kasus yang dijadikan pijakan kritik, Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa, memang pernah mengguncang kepercayaan publik. Namun, menjadikan dua kasus tersebut sebagai legitimasi untuk menuntut reformasi total Polri adalah bentuk penyederhanaan yang berlebihan dan menyesatkan. Polri justru menunjukkan kemampuan adaptif dan kapasitas internalnya dalam menangani dua kasus itu secara terbuka dan proses hukum berjalan hingga ke meja hijau.

"Dalam sistem birokrasi mana pun, yang penting bukan ada atau tidaknya pelanggaran, melainkan bagaimana institusi menegakkan mekanisme koreksi atas penyimpangan yang terjadi. Dan di titik inilah, Polri terbukti tidak menutupi kesalahan, melainkan menindak tegas hingga ke jajaran tertinggi," ungkap Haidar Alwi.

Mereka yang kini berteriak "Reformasi Polri" seolah lupa bahwa reformasi bukan sekadar mengganti pimpinan atau membentuk komite baru, tetapi menata ulang kultur, struktur, dan sistem agar sesuai dengan kebutuhan zaman. Presiden Prabowo tentu memahami hal itu.

Sebagai mantan prajurit yang lahir dari kultur disiplin militer, ia tahu bahwa perubahan dalam tubuh aparat penegak hukum tidak boleh dilakukan dengan tekanan politik atau intervensi kelompok mana pun. Apalagi oleh pihak yang punya sejarah rivalitas institusional.

"Reformasi yang lahir dari tekanan eksternal berisiko menggerus kemandirian Polri dan justru menimbulkan ketegangan horizontal antara Polri dan TNI, dua pilar utama pertahanan dan keamanan negara," ujar Haidar Alwi.

Munculnya sederet nama purnawirawan TNI seperti Gator Nurmantyo, Soenarko, Soleman Ponto, Sri Radjasa, dan Saurip Kadi dalam barisan pendesak reformasi mempertegas aroma politik di balik wacana tersebut.

Dari luar, terlihat seperti kepedulian terhadap penegakan hukum. Namun dari dalam, sulit menafikan adanya motif pengaruh dan kepentingan atas tubuh Polri yang selama dua dekade terakhir semakin kuat secara politik, ekonomi, dan sosial.

Polri kini bukan lagi bayangan subordinat militer seperti di masa lalu. Ia telah menjadi institusi sipil dengan kekuatan otonom yang diakui konstitusi. Dan di sinilah akar ketegangan itu sering muncul. Sebagian kalangan di tubuh TNI kesannya seperti belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa Polri kini berdiri sejajar, bukan di bawah.

"Presiden Prabowo tampaknya menyadari sepenuhnya bahwa yang dibutuhkan bukanlah reformasi yang lahir dari tekanan politik luar, melainkan pembenahan yang tumbuh dari kesadaran internal Polri sendiri. Ia paham bahwa mengguncang keseimbangan antar-institusi keamanan tanpa perhitungan matang hanya akan membuka ruang konflik laten antara dua korps bersenjata," jelas Haidar Alwi.

Langkah kehati-hatian inilah yang membuat Prabowo memilih jalan evolusi, bukan revolusi. Ia membiarkan Polri berbenah dengan tempo sendiri, sembari memastikan bahwa arah reformasi berjalan di bawah kendali negara, bukan oleh kelompok yang ingin memulihkan pengaruh lamanya di sektor keamanan.

Reformasi Polri bukan proyek balas dendam, bukan pula panggung adu pengaruh antara purnawirawan. Reformasi Polri adalah proses rasional yang harus dikawal dengan ketenangan, bukan dengan emosional dan ketergesa-gesaan. Jika Gatot Nurmantyo dan rekan-rekan sejawatnya sungguh mencintai bangsa ini, seharusnya mereka membantu menjaga keseimbangan antarlembaga, bukan menebar narasi yang dapat memecah kepercayaan publik terhadap pemerintah. 

"Dalam konteks pemerintahan Prabowo, ketegasan bukan berarti terburu-buru, dan perubahan sejati justru dimulai ketika negara berdiri tegak di atas kepentingannya sendiri. Bukan tunduk pada tekanan siapa pun," pungkas Haidar Alwi.[Nug] 


Tinggalkan Komentar