Jangan Lagi Interpelasi, DPR Harus Berani Impeachment Jokowi  - Telusur

Jangan Lagi Interpelasi, DPR Harus Berani Impeachment Jokowi 


telusur.co.id - Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani mendesak DPR melakukan impeachment atau pemakzulan terhadap Presiden Joko Widodo. Karena, patut diduga, Presiden Jokowi terang-terangan melakukan obstruction of justice atau menghalangi penyidikan dalam kasus korupsi megaproyek E-KTP yang melibatkan mantan ketua DPR Setya Novanto. 

"Kami menyarankan (Jokowi) di-impeachment, bukan hanya interpelasi. Kami menyarankan DPR RI melakukan impeachment,” tegas Julius saat dikonfirmasi telusur.co.id, Senin (4/12/23).

Menurut Julius, tidak ada dasar hukum Jokowi bisa memanggil Agus Raharjo untuk bertanya terkait dengan kasus yang sedang ditangani oleh KPK. 

"Artinya setiap bentuk pertanyaan terhadap perkara, setiap bentuk intip-intipan terhadap perkara itu harus dianggap sebagai bukan hanya intervensi, tetapi perbuatan menghalang-halangi proses hukum,” ujarnya.

Julius menilai, setelah berhasil menghancurkan KPK, tidak menutup kemungkinan lembaga DPR menjadi target berikutnya oleh Jokowi. Apalagi jika di lihat track record Jokowi yang terang-terangan berani menghianati partai dia sendiri, yaitu PDIP.

"Bukan berarti Jokowi selanjutnya bisa menghancurkan DPR RI lewat UU MD3 dan lain-lain. Sedangkan partai besar yang membesarkan dia saja bisa dia khianati. Apa jaminan ke depan partai yang memenangkan dia atau anaknya tidak dia khianati,” ujar Julius. 

Oleh karena itu, Julius meminta agar preseden buruk seperti ini harus segera dihentikan dengan pemakzulan, bukan hanya pada level interpelasi. 

"Perlu ada ruang untuk impeachment. Apakah impeachment itu terbukti atau tidak di MK, itu urusan belakangan,” ujarnya, 

Bagi Julius, masyarakat perlu mendapat informasi yang penting seperti ini. "Sehingga anggaran negara bobrok hancur karena korupsi tapi tidak bisa ditangani oleh KPK karena sengaja didesain untuk dibunuh,” ujar Julius. 

Karena, Jokowi secara sistematis telah membunuh KPK. Hal itu terlihat dari revisi UU KPK yang membuat KPK menjadi di bawah presiden. Intervensi terhadap perkara yang ditangani KPK seperti kasus E-KTP juga memperkuat hal tersebut. 

Bahkan, Julius membeberkan Jokowi pernah memanggil tiga ahli hukum, yang salah satunya kini sudah menjadi hakim MK guna bertanya bahwa Setnov tidak bersalah.

"Teman-teman perlu tahu juga ada tiga ahli hukum yang dipanggil ketika itu. Tiga ahli hukum yang dipanggil ini pertanyaanya juga sama tanpa ada pengantar terlebih dahulu dari Presiden Joko Widodo. Jadi langsung di tembak ‘Setya Novanto tidak bersalah kan?’, ujar Julius. 

“Ketiganya kompak menjawab jelas bersalah dengan berbagai penjelasan,” tukasnya.

Baru-baru ini, mantan Ketua KPK Agus Rahardjo mengaku pernah dipanggil dan diminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan kasus korupsi e-KTP yang menjerat Setya Novanto (Setnov). 

Setnov saat itu menjabat sebagai Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, salah satu parpol pendukung Jokowi. Ia diumumkan menjadi tersangka oleh KPK pada 17 Juli 2017.

Sebelum mengungkapkan peristiwa itu, Agus menyampaikan permintaan maaf dan merasa semua hal harus jelas.

 “Saya pikir baru sekali ini saya mengungkapkannya di media yang kemudian ditonton orang banyak,” kata Agus dalam acara ROSI Kompas TV, Kamis (30/12/23) malam.

“Saya terus terang, waktu kasus e-KTP saya dipanggil sendirian oleh presiden. Presiden pada waktu itu ditemani oleh Pak Pratikno (Menteri Sekretaris Negara),” ucap Agus.

Saat itu, Agus merasa heran karena biasanya presiden memanggil lima pimpinan KPK sekaligus.

Namun, kala itu dipanggil seorang diri. Ia juga diminta masuk ke Istana tidak melalui ruang wartawan melainkan jalur masjid. 

Ketika memasuki ruang pertemuan, Agus mendapati Jokowi sudah marah. Ia pun heran dan tidak mengerti maksud Jokowi. Setelah duduk ia baru memahami bahwa Jokowi meminta kasus yang menjerat Setnov disetop KPK.

“Presiden sudah marah menginginkan, karena baru masuk itu beliau sudah ngomong, ‘hentikan!’,” tutur Agus.

"Kan saya heran, yang dihentikan apanya? Setelah saya duduk ternyata saya baru tahu kalau yang (Jokowi) suruh hentikan itu adalah kasusnya Pak Setnov,” ujar Agus

Agus kemudian menyampaikan dirinya sudah kadung menandatangani surat perintah penyidikan (sprindik) perkara e-KTP sehingga tidak mungkin dibatalkan.

"Sprindik itu kan sudah saya keluarkan tiga minggu lalu dari presiden bicara itu. Sprindik itu karena KPK tidak punya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Tidak mungkin saya berhentikan, saya batalkan," ujarnya.

Agus lantas menyebut kejadian tersebut memicu revisi Undang-Undang KPK. Ia mengatakan KPK lantas diserang buzzer dengan istilah KPK sarang taliban.

"Sebelum revisi UU KPK, anda juga perlu dipahami buzzer bukan main kan?" kata Agus.

Pengakuan Agus itu langsung dibantah oleh Presiden Joko Widodo. Jokowi mempertanyakan motif Agus yang mengaku pada 2017 lalu, pernah diminta dirinya menghentikan kasus hukum mantan ketua DPR Setya Novanto (Setnov) terkait korupsi KTP elektronik (KTP-el).

 “Terus untuk apa diramaikan itu? kepentingan apa diramaikan itu? untuk kepentingan apa?” tanya Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (4/12/23).

Jokowi pun meminta publik mengecek pemberitaan di tahun 2017 itu, kala kasus Setya Novanto sedang bergulir. Jokowi menekankan bahwa saat itu dia menyampaikan agar Setya Novanto mengikuti proses hukum yang ada.

"Coba dilihat di berita-berita tahun 2017. Di bulan November, saya sampaikan saat itu Pak Novanto, Pak Setya Novanto ikuti proses hukum yang ada. Jelas berita itu ada semuanya," tegas Jokowi.

Lagi pula, lanjut Jokowi, proses hukum terhadap Setnov saat itu berjalan. Dan, Setnov sudah divonis hukum berat 15 tahun.

Saat ditanya soal adanya motif politik atas pernyataan Agus Rahardjo itu, Jokowi kembali menekankan media dan masyarakat untuk memeriksa sendiri.

"Saya suruh cek. Saya sehari kan berapa puluh pertemuan. Saya suruh cek di Setneg, nggak ada. Agenda yang di Setneg, nggak ada. Tolong dicek, dicek lagi aja," tegasnya.[Fhr]
 


Tinggalkan Komentar