Kepastian Hukum Problem Tanah Bersertifikat Ganda Di Indonesia - Telusur

Kepastian Hukum Problem Tanah Bersertifikat Ganda Di Indonesia


Telusur.co.idOleh : Farah Fahmi Namakule, SH. Direktur Riset Dan Pengkajian Hukum LKPHI (Lembaga Konsultasi dan Pemerhati Hukum Indonesia).

Tanah merupakan aset yang dimiliki oleh setiap orang, tentunya memiliki nilai yang sangat berarti dan berharga bagi kehidupan masyarakat. Dengan memiliki tanah setiap orang dapat melakukan segalah macam aktivitas diatasnya bahkan tanah juga memiliki nilai ekonomis yang kemudian dapat di perjual belikan.

Tanah atau wilayah merupakan unsur utama yang paling terpenting dari suatu negara. Bagi Bangsa Indonesia yang merupakan suatu bangsa yang disebut sebagai bangsa agraris atau pun kepulauan, tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam rangka penyelenggaraan hidup dan kehidupan manusia. Disisi lain, bagi negara dan pembangunan, tanah juga menjadi modal dasar bagi penyelenggaraan kehidupan bernegara dalam rangka integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan untuk mewujudkan sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena kedudukannya yang demikian itulah penguasaan, pemilikan, penggunaan maupun pemanfaatan tanah memperoleh jaminan perlindungan hukum dari pemerintah.

Indonesia sebagai negara agraris menjadikan tanah sebagai objek yang utama dalam faktor-faktor produksi baik semua bidang dapat di fungsikan untuk  membangun kesehjateraan masyarakat. Tanah sebagai medium yang utama bagi perekonomian bangsa indonesia. Dengan tanah segalah macam rempah dan hasil-hasil alam yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat indonesia bisa diproduksi.

Maka dari itu perlu adanya aturan secara tertulis yang mengatur dan mengakomodir secara terperinci tentang sumber daya alam Republik Indoenesia. Hal inipun kemudian diatur dalam sistem hukum nasional yang termuat dalam Konsitusi UUD 1945 pasal 33 ayat (3) yang menegaskan bahwa ““bumi, air dan kekayaa alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Para founding father kita tentunya mempunyai perhatian khusus terhadap tanah air untuk mempertahankan kehidupan, sehingga dalam merancang UUD 1945 memberikan perhatian khusus pada tanah. Dalam konteks hukum agraria tanah merupakan modal utama yang dapat dipergunakan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat, maka dari itulah harus dipergunakan sebesar-besar bagi kesehjateraan dan kemakmuran rakyat. 

Kesadaran akan pentingnya tanah maka tepatnya pada tahun 1948 menindak lanjuti pasal 33 UUD 1945 para pendiri negara ini, bertempat di ibukota negara yang pada waktu itu masih bertempat di Yogyakarta langsung membentuk panitia yang bertugas khusus untuk merancang serta mengundangkan tentang hukum pertanahan di Indonesia dan harapan mereka agar payung hukum tersebut cepat rampung dan cepat dipergunakan. Namun kenyataannya terbalik karena payung hukum yang dikenal dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria atau yang dikenal dengan UUPA mulai berlaku pada bulan September 1960.

UUPA merupakan hukum tanah positif yang berlaku di Indonesia hingga saat ini. Dalam hukum positif Indonesia, adapun tujuan dari UUPA itu sendiri sebagaimana yang dicantumkan dalam penjelasan umumnya adalah, Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur, Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Tujuan dari pada pokok UUPA tersebut di atas diatur macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh setiap orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain ataupun badan hukum. Menurut Pasal 16 UUPA, hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai dan diberikan kepada setiap orang dan atau badan hukum adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lain sebagainya. Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan kewenangan menguasai yang luas bagi pemilik tersebut untuk menguasai, mengolah dan memilikinya dengan batasan ketentuan fungsi sosial dari kepemilikan tanah tersebut.

Menurut Pasal 20 UUPA, hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Sedangkan dalam Pasal 28 UUPA hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu (paling lama enam puluh tahun), guna perusahaan pertanian (perkebunan), perikanan atau peternakan dan Pasal 35 UUPA hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

Jika dilihat secara komprehensif maka hak milik atas tanah memberikan keweangan penuh digunakanya bagi selaga jenis keperluan dengan jangka waktu yang tidak terbatas, sepanjang tidak ada larangan khusu untuk itu. Sedangkan hak guna usaha hanya dapat digunakan untuk tanah yang dikuasai oleh negara dan dapat di pergunakan untuk keperluan pertanian atau perkebunan, perikanan dan peternakan. Adapun juga dengan hak guna bangunan hanya dapat digunakan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah milik orang lain ataupun tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

UUPA memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah sesuai dengan Pasal 19 UUPA bertujuan untuk  menjamin kepastian hukum yang meliputi: Kepastian mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak atas tanah yang disebut pula kepastian subjek hak atas tanah dan Kepastian letak, batas-batasnya, panjang dan lebar yang di sebut dengan kepastian obyek atas tanah.

Pendaftaran tanah tentu akan membawa akibat hukum yakni diberikan surat tanda bukti kepemilikan hak atas tanah oleh pemerintah yang disebut dengan istilah setifikat. Sebagai alat bukti yang sah dan kuat sertifikat juga didalamnya memuat data fisik maupun data yuridis hak atas tanah yang sesuai dengan bukti ukur dan buku tanah yang bersangkutan dan tidak ada gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah tersebut dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat tersebut sebagaimana tercantum dalam pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Pada saat proses penerbitan sertifikat pemohon perlu melibatkan para pihak dalam hal ini pemilik tanah yang berseblahan mulai dari seblah barat, timur, utara, maupun selatan, dan juga melibatkan pemerintah desa, instansi yang terkait. Hal ini dilakukan untuk memperoleh informasi maupun surat-surat yang dapat digunakan sebagai alas atau dasar hak yang berhubungan dengan permohonan sertifikat tersebut. Langka seperti ini tentunya sangat penting karena, pada umumnya kebanyakan pengajuan permohonan sertifikat tanah tanpa mempertimbangkan atau milibatkan para pihak-pihak yang lain cendrung menimbulkan sertifikat yang cacat hukum atau sertifikat ganda.

Berbagai macam persoalan tentang kepemilikan hak atas tanah salah satunya tentang sertifikat ganda yang sampai saat ini belum ada proses penyelesainnya pada tingkat ART/BPN ataupun Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam menjamin kepastian hukum di bidang penguasaan dan kepemilikan tanah, letak dan batas setiap bidang tanah menjadi faktor dan prioritas utama yang tentu harus diperhatikan.

Dalam praktek di lapangan sering kita temui adanya sertifikat palsu atau sertifikat ganda, sehingga pemilik sertifikat harus mencari kebenaran data fisik maupun data yuridis tanah tersebut pada kantor Pertanahan setempat. Ketika pemegang sertifikat akan melakukan perbuatan hukum terhadap tanah yang bersangkutan ternyata adanya sertifikat ganda untuk sebidang tanah diterbitkan lebih dari satu setifikat. Satu bidang tanah dicatatkan dalam dua sertifikat atau lebih yang datanya saling berlainan satu dengan yang lainya. Dengan demikian terjadi tumpang tindih baik untuk seluruh bidang atapun sebagian tanah tersebut.

Permasalahan sertifikat ganda tentunya merupakan masalah yang sering kita jumpai di masyarakat, tingginya masalah pertanahan tentunya tidak hanya meresahkan masyarakat, tetapi hal ini juga sangat mempengaruhi kinerja Kementrian ART/BPN  sebagai institusi yang mempunyai peran utama serta tugas pokok dalam melaksanakan administasi pertanahan.

Peranan dari kementrian ART/BPN sebagai instansi yang berwenang melakukan pendaftaran tanah tentu sangat dibutuhkan mulai dari tahap permohonan pendaftaran tanah oleh pihak yang mengusai atau yang berhak atas tanah tersebut, diperlukan ketelitian dan peran yang aktif dari pihak kementrian ART/BPN sebagai penyelenggara pendaftaran tanah dalam hal ini kantor pertanaan di seluruh indonesia.

Berbagai macam polemik pertanahan yang muncul seperti adanya sertifikat ganda, penyeroboan lahan yang kemudian diikuti dengan langka penerbitan sertifikat oleh pihak yang tidak berhak merupakan masalah yang sering terjadi di masyarakat, hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang suatu objek tanah tertentu yang diketahui ternyata sudah memiliki sertifikat, kemudian kembali dimohonkan untuk diterbitkan sertifkatnya lagi. Perasalahan seperti ini terjadi utamanya diakibatkan keterbatasan akses informasi kepada masyarakat terkait penerbitan sertifikat.


Tinggalkan Komentar