Telusur.co.id -Penulis: Chikal Arhinzani Rahma, mahasiswi Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia.
Perkiraan angka kematian pada 2030 dengan jumlah 23,3 juta akibat rokok menjadi salah satu isu yang diperhatikan oleh World Health Organization (WHO). Ulasan tersebut didukung oleh data yang dipaparkan WHO tentang angka kematian di Indonesia akibat rokok sekitar 225.700 orang tiap tahunnya. Dampak dari konsumsi rokok yang meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular menjadi salah satu pemicunya mengingat kardiovaskular merupakan salah satu penyakit mematikan dengan persentase 80% pengidapnya di Indonesia.
Pemberlakuan cukai hasil tembakau (CHT) menjadi salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam merespon masifnya konsumsi rokok di Indonesia. Pasalnya, menurut Survei Kesehatan Indonesia pada 2023 yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai lebih dari 70 juta orang atau sekitar 29% dari jumlah penduduk Indonesia dengan 7,4% diantaranya merupakan perokok aktif yang berusia 10 - 18 tahun. Hal ini diperkuat dengan temuan laporan Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia Report 2021 yang dilakukan WHO yang menunjukkan bahwa 70,2 juta orang dewasa atau sekitar 34,5% mengonsumsi produk tembakau tersebut dengan persentase 65,5% diantaranya merupakan laki-laki dan 3,3% merupakan perempuan. Tidak hanya konsumsi rokok konvensional, kenaikan persentase penggunaan rokok elektrik dalam 10 tahun terakhir sejak 2011 juga mengalami peningkatan 10 kali lipat. Berangkat dari fenomena tersebut, pemerintah akhirnya memberlakukan kebijakan CHT dalam mengurangi eksternalitas negatif dari konsumsi rokok.
Pada tahun 2023, penerimaan negara di sektor cukai mencapai angka Rp221,8 triliun yang menjadikannya peringkat nomor 1 sebagai sektor penerimaan terbesar Bea Cukai diikuti oleh bea masuk dan bea keluar. Angka tersebut mengalami penurunan dari penerimaan di tahun sebelumnya akibat dampak kebijakan CHT sebagai upaya pengendali konsumsi rokok. Penurunan penerimaan atas cukai tersebut juga memengaruhi penurunan produksi rokok di angka 1,8% (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, 2024).
Indonesia merupakan negara penghasil tembakau terbesar di urutan peringkat ke-6 dari total produksi tembakau di dunia dengan jumlah produksi mencapai 136 ribu ton. Terdapat tiga provinsi penghasil tembakau terbesar, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, serta Nusa Tenggara Barat. Besarnya industri tembakau tentunya juga dapat menjaring banyak tenaga kerja sehingga membuka kesempatan yang lebih luas. Namun, perlu disadari, sebagai sebuah kebijakan yang ideal tentunya tujuan utama dari kebijakan CHT adalah untuk mengurangi eksternalitas negatif, yaitu atas konsumsi produk hasil tembakau dimana artinya jika perlahan masyarakat mulai mengurangi konsumsinya, tentu hal tersebut akan berdampak pada demand atau permintaan terhadap produk. Jika permintaan atas produk hasil tembakau mengalami penurunan, maka akhirnya akan menekan angka produksi yang berimbas pada penurunan penghasilan. Dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan, mungkin akan tercipta sebuah keadaan dimana produk hasil tembakau sudah kurang diminati oleh masyarakat mengingat harganya yang akan semakin naik sehingga bisa berpotensi mematikan industri tembakau. Salah satu pihak yang akan merasakan dampaknya adalah petani dan buruh tani tembakau yang bekerja dalam sektor tersebut. Penurunan produksi akan berimbas pada penurunan pendapatan bahkan mereka bisa kehilangan lapangan pekerjaan yang tentunya akan menimbulkan domino effect pada kesejahteraan hidup, bahkan berpotensi pada peningkatan angka kriminalitas akibat tingginya tingkat pengangguran. Oleh karena itu, pemerintah sudah seharusnya memiliki langkah preventif untuk menghadapi keadaan tersebut.
Menanggapi hal tersebut, pada Pasal 66A ayat (4) UU Cukai telah diatur atas penerimaan dari CHT yang selanjutnya akan menjadi dana bagi hasil (DBH) yang dialokasikan dengan komposisi 30% untuk provinsi penghasil tembakau, 40% untuk kabupaten/kota daerah penghasil tembakau, serta 30% untuk kabupaten/kota lainnya. Kebijakan ini merupakan salah satu langkah pemerintah dalam mengupayakan kesejahteraan para pekerja yang terlibat dalam sektor industri tembakau. Lebih lanjut pemerintah mengatur penggunaan dan pengelolaan DBH CHT bagi petani dan buruh tani tembakau tahun anggaran 2022 dengan alokasi 25% untuk kesehatan, 50% kesejahteraan masyarakat yang dibagi lagi untuk pemberian bantuan sebesar 30% dan peningkatan keterampilan kerja serta pembinaan industri sebesar 20%, dan 25% dialihkan untuk penegakan hukum.
Atas persentase tersebut, 25% dianggarkan pemerintah sebagai upaya preventif atau rehabilitatif para pekerja tembakau mengingat mereka kemungkinan juga mengonsumsi produk hasil tembakau. Selain itu, anggaran tersebut juga ditujukan untuk menyediakan sarana dan prasarana fasilitas kesehatan serta pembayaran iuran jaminan kesehatan untuk masa depan. Alokasi di bidang kesejahteraan masyarakat difokuskan pada kegiatan industri tembakau sebesar 20% dan pemberian bantuan berupa bantuan langsung atau subsidi tembakau. Hal ini juga bukan semata-mata hanya untuk mendukung industri tembakau saja, tetapi pemerintah menyediakan dana untuk masyarakat berlatih keterampilan kerja lain sebagai upaya preventif apabila para pekerja tersebut ingin beralih pekerjaan. Dalam persentase 30% sisanya, pemerintah juga mempertimbangkan untuk mengalokasikan modal usaha serta bantuan dalam rangka diversifikasi tanaman. Sementara itu, alokasi 25% untuk penegakan hukum dilakukan dalam rangka mengelola kawasan industri hasil tembakau yang membutuhkan pengawasan serta upaya-upaya lain seperti sosialisasi, pengumpulan informasi, serta operasi pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Melalui kebijakan tersebut, pemerintah sudah berupaya untuk juga memikirkan kesejahteraan para petani dan buruh tani tembakau. Apabila langkah-langkah tersebut sudah dilakukan dengan tepat, kebijakan CHT tidak hanya dapat mengurangi eksternalitas negatif dari konsumsi tembakau, tetapi juga menciptakan keseimbangan serta menstabilisasi ekonomi.