Memaknai Nilai-Nilai Keadilan Dalam Penerapan Pidana Protokol Kesehatan Covid – 19 - Telusur

Memaknai Nilai-Nilai Keadilan Dalam Penerapan Pidana Protokol Kesehatan Covid – 19


Telusur.co.id - Oleh Rd. Yudi Anton Rikmadani (Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Jambi)

Kita semua tahu apa itu Covid-19 yang telah menyebar di seluruh dunia tidak terkecuali Indonesia. Virus ini telah membawa perubahan yang sangat besar terhadap tatanan kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan di berbagai bidang kehidupan. Berbagai upaya dalam rangka pencegahan, pengobatan, dan sebagainya telah dilakukan untuk mencegah penyebaran virus Corona. Mulai dari lockdown atau karantina wilayah, jaga jarak sosial, imbauan untuk mematuhi protokol kesehatan, PSBB, hingga ditetapkannya kebijakan normal baru sudah dilakukan untuk memutus rantai penyebaran virus Corona.

Memaknai Sila Kedua Pancasila

Memaknai kemanusiaan yang adil dan beradab, yaitu sebagai warga kita harus saling tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, kita hidup harus peduli kepada sesama. Sikap saling peduli dan tolong-menolong menjadi salah satu ciri khas budaya masyarakat Indonesia. Di masa pandemi Covid-19 ini banyak peristiwa atau kejadian yang menyentuh hati kita untuk saling membantu satu sama lain.

Menurut Nurdiaman dan Setijo, kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya selaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, yang sama derajatnya, sama hak dan kewajibannya, tanpa membeda-bedakan agama, suku, ras, dan keturunan.

Negara Indonesia merupakan negara yang menjungjung tinggi hak asasi manusia (HAM), negara yang memiliki hukum yang adil dan negara berbudaya yang beradab. Negara ingin menerapkan hukum secara adil berdasarkan supremasi hukum serta ingin mengusahakan pemerintah yang bersih dan berwibawa, di samping mengembangkan budaya IPTEK berdasarkan adab cipta, karsa, dan rasa serta karya yang berguna bagi nusa dan bangsa, tanpa melahirkan primordial dalam budaya.

Peran serta masyarakat dan pemerintah harus seiring sejalan dengan nilai-nilai keadilan tersebut, tanpa membeda-bedakan dalan penegakkan hukum yang melanggar protokol kesehatan covid-19.

Penerapan Pidana Protokol Kesehatan Covid-19

Payung Hukum

Penegakan hukum Pelanggar Kesehatan tercantum sebagaimana Surat Telegram Rahasia (TR) Nomor : ST/3220/XI/KES,7/2020, tertanggal 16 November 2020, yang isinya sebagai berikut:

  1. Kepolisian menjaga Harkamtibmas, memberi perlindungan, pengayoman dan pelayanan pada masyarakat serta menjunjung tinggi asas Salus Populi Suprema Lex Ekto atau Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi;
  2. Polri menyatakan dalam penegakan Perda/Peraturan daerah tentang penerapan protokol kesehatan covid-19, akan dilakukan upaya penegakan hukum secara tegas terhadap siapapun;
  3. Tindakan tegas sesuai Pasal 65, Pasal 212, Pasal 214 ayat (1) dan (2), Pasal 216 dan pasal 218 KUHP Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, Pasal 84 dan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan.

 

Pembahasan

Pasal 65 KUHP berbunyi sebagai berikut:

  1. Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
  2. Maksimum pidana yang dijatuhkan ialah jumlah maksimum pidana yang diancam terhadap perbuatan itu, tetapi boleh lebih dari maksimum pidana yang terberat ditambah sepertiga.

Pasal 65 KUHP adalah mengenai pengakumulasian/penggabungan tindak pidana yang dikenal dengan nama concursus realis. Gabungan tindak pidana ini diartikan sebagai beberapa tindak pidana yang dilakukan dalam waktu yang berbeda dan dilakukan oleh hanya satu orang. Concursus bisa dianggap sebagai kebalikan dari penyertaan tindak pidana, yaitu keadaan ketika satu tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang.

Pasal 212 KUHP berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.

Pasal 214 KUHP berbunyi sebagai berikut:

  1. Paksaan dan perlawanan berdasarkan pasal 211 dan 212 jika dilakukan oleh dua orang atau lehih dengan bersekutu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
  2. Yang bersalah dikenakan:
  1. pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan, jika kejahatan atau perbuatan lainnya ketika itu mengakibatkan luka-luka;
  2. pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika mengakibatkan luka berat;
  3. pidana penjara paling lama lima helas tahun, jika mengakibatkan orang mati.

Pasal 216 KUHP berbunyi sebagai berikut:

  1. Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang- undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda puling banyak sembilan ribu rupiah.
  2. Disamakan dengan pejahat tersebut di atas, setiap orang yang menurut ketentuan undang-undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi tugas menjalankan jabatan umum.
  3. Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat dua tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, maka pidananya dapat ditambah sepertiga.

Pasal 218 KUHP berbunyi sebagai berikut:

Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompokan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak Rp 9.000.

Penerapan pasal-pasal yang dibahas dalam tulisan ini berada di dalam Bab VIII buku II KUHP yang berjudul “Kejahatan terhadap Kekuasaan Umum” yang diatur dalam 207-241. Pasal-pasal di dalam bab ini tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kekuasaan umum. Namun R. Soesilo memberikan tafsir kekuasaaan umum sebagai badan kekuasaan yang dikendalikan oleh pemerintah seperti gubernur, polisi, bupati, camat atau pegawai negeri atau pegawai-pegawai lainnya diberikan tugas oleh kekuasaan yang syah menjalankan tugas.

Sementara Pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan kesehatan berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi Penyelenggaraan kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,-.

Pemaknaan Pasal 93 dimaksud dapat dirumuskan menjadi 3 (tiga) unsur, yaitu:

  1. Setiap orang;
  2. Tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan;
  3. Menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Penjelasan:

  • Setiap orang artinya siapa saja, orang persorangan maupun badan hukum, yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
  • Tidak mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan Kesehatan artinya melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan perbuatan yang diperintahkan, yang menjadi kewajibannya maupun melakukan perbuatan menghalang-halangi dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.

Kekarantinaan kesehatan adalah upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor resiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat sebagaimana Pasal 1 ayat (1).

Adapun yang dimaksud penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu:

  1. Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di pintu masuk, terdiri dari pengawasan di Pelabuhan, pengawasan di bandar udara, pengawasan di pos Lintas Batas Darat Negara, Pengawasan Awak, Personel, dan Penumpang dan Pengawasan Barang.
  2. Penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di wilayah, terdiri dari Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
  • Menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat artinya adanya kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara sebagaimana Pasal 1 ayat (2).

Dalam unsur pasal ini harus dibuktikan adanya suatu akibat yaitu kedaruratan kesehatan masyarakat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilarang dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan. Jika suatu kerumunan masa, tidak menjaga jarak, tidak memakai masker, dan tidak mencuci tangan adalah suatu perbuatan pidana, maka perbuatan tsb harus dibuktikan telah menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Jika kedaruratan kesehatan masyarakat tidak dapat dibuktikan maka acara kerumunan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

Dengan demikian pasal-pasal yang diterapkan sebagaimana uraian tersebut diatas menurut penulis sebagaimana dalam hukum pidana terdapat istilah delik formil dan delik materil. Delik formil merupakan tindak tindak pidana yang dilarang dan dianggap telah selesai dengan dilakukannya suatu perbuatan dan diancam hukuman menurut undang-undang. Sedangkan delik materil adalah tindak pidana yang dilarang dan dianggap telah selesai dengan adanya suatu akibat dan diancam dengan hukuman menurut undang-undang.

Berdasarkan penjelasan uraian tersebut penulis berpendapat Pasal 93 tersebut tidak disebutkan secara tegas dan jelas mengenai apa saja perbuatan yang dilarang yang termasuk dalam perbuatan pidana. Misalnya dalam Protokol Kesehatan Covid-19 apakah larangan tidak memakai Masker, larangan tidak Berkerumun atau Berkumpul,  larangan tidak menjaga jarak, dan larangan tidak mencuci tangan. Sehingga ketentuan Pasal 93 menimbulkan multitafsir. Ketentuan yang multitafsir akan menimbulkan nilai-nilai keadilan, ketidakpastian hukum dan penyalahgunaan hukum.

Kesimpulan

  1. Nilai-nilai keadilan harus dimaknai sebagai falsafah bangsa Indonesia yang memberikan makna bahwa setiap manusia adalah makhluk yang beradab yang perlu diakui dan diperlakukan sesuai harkat dan martabatnya selaku makhluk ciptaan Tuhan YME, memiliki derajat, hak dan kewajiban yang sama. Setiap manusia dilengkapi dengan olah pikir, rasa, karsa, dan cipta. Melalui hal itu, manusia membangun budaya, nilai-nilai dan norma-norma yang dijadikan landasan untuk bersikap dan bertingkah laku di masyarakat.
  2. Dalam situasi pandemi Covid-19 ini tentu aspek kemanusiaan pada sisi kesehatan, ekonomi, sosial, agama, hukum, budaya dan lain sebagainya sangatlah perlu menjadi perhatian dan menjadi dasar bagi penyelenggaraan negara dan relasi sesama manusia yang berujung pada rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
  3. Penegakan hukum harus sama tanpa pandang bulu dan harus ditegakan dikarenakan semua masyarakat mendapatkan hak perlindungan dan bantuan yang adil dari pemerintah. Namun disisi lain masyarakat juga memiliki kewajiban untuk patuh dan taat terhadap ketentuan hukum dan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam menanggulangi pandemi Covid-19 ini. Agar nilai-nila keadilan dan kepastian hukum menjadi tujuan yang bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tinggalkan Komentar