telusur.co.id - Bangsa ini tidak butuh polisi yang sekadar taat pada perintah, tapi aparat yang tunduk pada nurani hukum. Reformasi tanpa ruh hanyalah kosmetik kekuasaan. Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan BADKO HMI Jawa Timur melihat, lahirnya Komisi Percepatan Reformasi Polri adalah momentum yang genting: apakah bangsa ini akan melahirkan kepolisian yang berjiwa profetik, atau sekadar birokrasi berseragam yang kehilangan arah moral.
Ketua Bidang Hukum, Pertahanan, dan Keamanan Regional BADKO HMI Jatim, Dzulkarnain Jamil menyatakan bahwa, keberadaan komisi di bawah payung Perpres No. 81 Tahun 2025 adalah langkah positif, namun belum cukup bila tidak menyentuh akar persoalan: krisis budaya hukum dan degradasi moral aparat penegak hukum.
“Reformasi Polri tidak cukup berhenti pada perubahan struktur dan peraturan. Yang paling krusial adalah reformasi kesadaran, etika, dan paradigma. Sebab, penyakit Polri hari ini bukan hanya kelembagaan, tetapi kultural. yakni ketika hukum tidak lagi menegakkan keadilan, melainkan melayani kekuasaan,” ujar Dzulkarnain di Surabaya. Jumat, (08/11/2025).
Reformasi Hukum: Dari Rasional ke Profetik
Mengutip pandangan Busyro Muqoddas dalam Hegemoni Rezim Intelijen, Dzulkarnain menyebut bahwa, hukum di Indonesia sering kali kehilangan transcendental moral reason, akal budi yang berakar pada nurani dan nilai ketuhanan.
Reformasi hukum, kata Dzulkarnain, harus meninggalkan paradigma positivistik yang hanya menekankan hukum sebagai “aturan tertulis”, menuju paradigma profetik yang menempatkan hukum sebagai jalan pembebasan (liberasi), kemanusiaan (humanisasi), dan ketuhanan (transendensi).
“Polri bukan hanya institusi keamanan, melainkan simbol keadilan yang hidup. Maka membenahi Polri berarti menata ulang hubungan antara negara dan nurani hukum. Jika reformasi hanya administratif, maka yang berubah hanyalah seragam, bukan kesadaran,” lanjutnya.
Catatan atas Komisi Reformasi Polri
BADKO HMI Jawa Timur mencatat sejumlah poin penting dari pembentukan Komisi Percepatan Reformasi Polri :
1. Komisi ini dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2025, dipimpin oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, dengan anggota lintas profesi, dari mantan Kapolri, mantan Ketua MK, hingga akademisi hukum.
2. Presiden Prabowo menugaskan tim untuk memperbaiki sistem SDM, doktrin, serta kesejahteraan aparat, dengan tenggat waktu kerja tiga hingga enam bulan.
3. Aspek kultural dan perilaku aparat menjadi fokus utama sebagaimana ditekankan Mahfud MD, bahwa sumber ketidakpercayaan publik terhadap Polri bukan pada seragam, melainkan perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai keadilan.
4. Terdapat dorongan agar Kompolnas diperkuat secara fungsional, dan pengawasan eksternal terhadap Polri tidak bersifat seremonial.
Namun, Dzulkarnain menegaskan, langkah reformasi harus tetap berpijak pada prinsip dasar rule of law dan keadilan substantif, bukan sekadar kosmetik politik.
“Reformasi Polri tidak boleh hanya menjadi proyek moral di atas kertas. Ia harus menjadi gerakan moral yang menegakkan kembali marwah hukum sebagai pelindung rakyat, bukan pelindung modal. Karena yang rusak hari ini bukan hanya sistem, tapi orientasi keadilan itu sendiri,” ujarnya.
Filsafat Hukum sebagai Basis Reformasi Institusional
BADKO HMI Jawa Timur menilai, persoalan Polri tidak bisa dilepaskan dari krisis filsafat hukum nasional. Dalam pandangan hukum profetik, reformasi Polri harus mencakup tiga lapisan :
• Struktural, yakni pembenahan sistem rekrutmen dan promosi yang bebas intervensi politik;
• Kultural, yakni perubahan paradigma kekuasaan menjadi paradigma pelayanan publik;
• Transendental, yakni mengembalikan hukum pada nilai ketuhanan, sebagaimana amanat Pancasila dan konstitusi.
“Negara hukum yang sehat bukan hanya menegakkan peraturan, tapi juga menegakkan nurani. Polri yang profesional tidak bisa lahir dari rasa takut, tetapi dari rasa tanggung jawab moral terhadap rakyat,” tambahnya
Dari Reformasi Polisi ke Reformasi Kesadaran Bangsa
Bagi BADKO HMI Jawa Timur, reformasi Polri adalah bagian dari reformasi kesadaran nasional. Polri yang berkeadilan hanya mungkin lahir di tengah masyarakat yang sadar hukum dan pemimpin yang menegakkan etika publik.
“Reformasi Polri adalah ujian moral bangsa. Ia menuntut keberanian untuk membongkar mental feodal, mengakhiri relasi patronase, dan mengembalikan hukum pada rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi,” tuturnya.
“Reformasi Polri bukan proyek teknis, tapi ziarah moral bangsa. Sebab tanpa kepolisian yang beretika, hukum hanyalah topeng kekuasaan dan republik kehilangan jiwanya,” tutup Dzulkarnain. (ari)



