POTENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN SEBELUM DAN SESUDAH UU CIPTA KERJA (Part 10) - Telusur

POTENSI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN SEBELUM DAN SESUDAH UU CIPTA KERJA (Part 10)


Telusur.co.idOleh: Dr. H. Joni,SH.MH***

Perubahan Lain Tentang Pengelolaan Potensi Perikanan

UU CIPTA KERJA juga mengubah ketentuan pengenaan sanksi dengan mengutamakan sanksi admin­istratif daripada sanksi pidana dengan alasan bahwa sanksi pidana merupakan ultimum remedium. Beberapa tindakan pelanggaran yang sanksinya diubah dari sanksi pidana menjadi sanksi adminis­tratif, antara lain, yaitu: 1. melakukan pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-Pulau kecil yang tidak memenuhi izin (Pasal 18 angka 28); 2.  melakukan pemanfaatan ruang laut secara menetap tanpa izin (Pasal 19 Angka 9); 3. membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan yang tidak mendapatkan persetujuan terlebih dahulu (Pasal 27 angka 14); 4. tidak mendaftarkan kapal perikanannya sebagai kapal perikanan (Pasal 27 angka 26); dan 5. tindakan dilakukan oleh nelayan kecil (Pasal 27 angka 35).

Akan tetapi, pengaturan dalam UU Cipta Kerja tidak bisa disa­makan dengan konsep ultimum remedium pada umumnya karena ketentuan UU Cipta Kerja mengatur bahwa sanksi pidana diber­lakukan saat sanksi denda administratif tidak dibayarkan, bukan berdasarkan pertimbangan apakah sanksi administratif sudah me­nimbulkan efek jera Artinya, penjatuhan sanksi pidana tidak memperhatikan faktor apakah sanksi denda administratif sudah secara efektif mencapai tujuan penjatuhan hukuman atau belum. Contohnya tujuan untuk menghindari perbuatan yang sama, tidak dibedakan antara pelaku yang sama atau berbeda. Dengan begitu, penempatan sanksi pidana sebagai obat terakhir bisa tidak efektif.

Harus diakui sanksi administratif memang diperlukan, akan tetapi sanksi ini baru lebih optimal daripada sanksi pidana bila dampak kerusakan yang terjadi tidak terlalu luas. Sementara sanksi pidana masih tetap dibutuhkan untuk tindakan-tindakan yang dampaknya lebih luas, seperti perusakan dan pencemaran lingkun­gan hidup berskala besar. Sebabnya karena ada kondisi yang hanya melalui sanksi pidana pelaku bisa diberi efek jera melalui biaya yang harus dibayar pelaku. Beban pemerintah untuk menanggung kon­sekuensi bisa lebih besar dibanding kerugian yang terjadi akibat tindakan pelaku.

Dampak efek jera tentu tidak akan tercapai selama pemberiann­ya hanya jika pelaku tidak sanggup membayar sanksi administratif yang dijatuhkan, bukan dari tingkat kerusakan yang diakibatkan. Selain penerapan sanksi pidana dan sanksi administratif terse­but, UU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan terkait strict liability (pertanggungjawaban mutlak). Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UUPLH mengatur bahwa ketentuan strict liability berlaku pada setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup. Kepadanya dilekatkan tanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pem­buktian unsur kesalahan.

 

Strict Liability

Strict Liability atau asas pertanggungjawa­ban mutlak sendiri menurut Mas Achmad Santosa adalah salah satu jenis pertanggungjawaban perdata. Pertanggungjawaban perdata dalam penegakan hukum lingkungan merupakan instrumen hukum perdata untuk mendapatkan ganti kerugian dan biaya pemulihan lingkungan akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.

Namun, di dalam UU Cipta Kerja, strict liability yang diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang UU PPLH tersebut dipindahkan ke ranah pidana. Memasukkan konsep strict liability ke ranah pidana tentu menjadi hal yang tidak tepat. Terlebih lagi, Pasal 22 angka 33 UU Cipta Kerja juga mengubah redaksional Pasal 88 yang sebelum­nya menyatakan “….. bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” diubah menjadi “….. bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya”.

Perlu diketahui bahwa konsep dalam perubahan tersebut belum dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal itu tentu berakibat pada misinterpretasi konsep strict liability dalam hukum perdata. Oleh karena itu, penting ada penegasan dalam pasal tersebut dengan frasa “tanpa pembuktian unsur kesala­han” pada UU PPLH agar tidak terjadi misinterpretasi.

Tatanan hukum tertinggi dalam pandangan Kelsen adalah berpuncak pada basic norm atau grundnorm (norma dasar), yaitu berupa konstitusi tetapi konstitusi dimaksud adalah dalam pengertian materiil, bukan konstitusi formil. Menurut Nawiasky, yang dimaksud dengan basic norm dalam gagasan Kelsen tidak lain adalah harus diartikan sebagai staatsfundamentalnorm, bukan staatgrundnorm.

Lapisan tertinggi yang menjadi sumber dan dasar dalam sistem hierarki norma hukum baik pandangan Kelsen ataupun Nawiasky berakhir pada norma yang tidak dibentuk oleh norma hukum yang lebih tinggi lagi tetapi bersumber pada cita hukum yang bersifat pre-supposed, yang telah ditetapkan sebelumnya oleh masyarakat dalam suatu negara, untuk kemudian menjadikannya sebagai tempat bergantung setiap norma hukum yang akan dibentuk. Apa yang dibuat masyarakat dan disebut sebagai grundnorm tersebut dapat berupa pernyataan tertulis ataupun tidak tertulis, yang berfungsi serupa bensin menggerakan seluruh mekanisme mesin, yang menjadi dasar kepatuhan masyarakat kepada hukum, dan memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum harus dilaksanakan. Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga otoritas-otoritasnya yang berwenang membentuknya, berdasarkan norma yang lebih tinggi, sehingga norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk berdasarkan norma yang lebih tinggi (superior), pada akhirnya hukum menjadi berjenjang dan berlapis membentuk suatu hierarki. Dalam implementasinya di Indonesia, hal tersebut tertuang dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia maka grundnorm (basic norm) adalah tercermin dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD Tahun 1945) sebagai norma tertinggi yang di dalamnya terdapat cita hukum (rechtridee) yang menjadikan negara Indonesia didirikan, karena cita-cita henda mewujudkan Indonesia sebagai negara yang menganut paham konstitusional, yaitu tercermin dalam nilai-nilai Pancasila adalah kehendak yang ingin diwujudkan bagi seluruh rakyat Indonesia, sekaligus menjadi tolak ukur vaiditas bagi materi muatas (materiil) peraturan perundang-undangan apabila dilakukan yudisial review melalui lembaga yang berwenang untuk itu. Satu tingkat di bawah basic norm (staatsfundamentalnorm) dalam teori Kelsen, terdapat norma umum yang bersumber pada konstitusi,   yaitu yang   oleh   Hans Nawiasky sebutsebagai  (aturan dasar/pokok negara), yang  dalam  hierarki Undang-Undang   Nomor   12   Tahun 2011  adalah  mencakup  batang  tubuh UUD   Tahun   1945   dan   Ketetapan MPR. Pada    tingkatan    berikutnya terdapat Formelgesetz yang   dapat diterjemahkan dalam Undang-Undang    Nomor    12    Tahun    2011 adalah mencakup: a) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; b) Peraturan Pemerintah; c) Peraturan Presiden;     d) Peratura Daerah Provinsi; dan e) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

 

Asas Pembentukan, Asas Materi Muatan, dan Asas Lain

Asas Pembentukan, meliputi Kejelasan tujuan: berdasarkan Pasal 3 UU Cipta Kerja, tujuan UU Cipta Kerja ini adalah untuk menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja, menjamin setiap warga negara memeroleh pekerjaan, melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan, dan melakukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan peningkatan ekosistem investasi.

Berikutnya, Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat: lembaga negara atau pejabat yang membentuk UU Cipta Kerja ini sudah tepat. Namun yang bermasalah ada orang-orang di dalamnya yang didominasi oleh pengusaha—Satgas contohnya, di sana terdapat enam belas orang pengusaha.  Asas Kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan: terdapat beberapa pasal yang dinilai bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Asas dapat dilaksanakan: banyak pasal yang memerlukan Peraturan Pemerintah untuk dapat dilaksanakan. Asas Kedayagunaan dan kehasilhgunaan: diduga pembentukan UU ini hanya untuk mempermudah kapitalisme global berkuasa. Seperti halnya yang dikatakan Sol Picciotto (Profesor Hukum Universitas Lancaster), “saat ini di dunia ada perlombaan membuat UU, yang tujuannya untuk memudahkan kapitaslime global menanamkan modalnya. Asas Kejelasan rumusan: banyak pasal yang membutuhkan Peraturan Pemerintah untuk melakukannya. Asas keterbukaan: pembahasan RUU terkesan ‘kebut-kebutan’ dan dilangsungkan tanpa sepengatuan publik. Setelah UU disahkan, draf UU juga tidak langsung disebarluaskan ke publik.

Berikutnya Asas Materi Muatan, yang meiputi Pengayoman: ada beberapa pasal yang diduga tidak ramah terhadap pihak-pihak rentan, seperti buruh. kemanusiaan: banyak pihak yang menilai dalam pelaksanaan UU Cipta Kerja ini akan banyak melanggar Hak-Hak Asasi Manusia. kebangsaan: UU Cipta Kerja ini dinilai tidak ramah terhadap seluruh elemen masyarakat. UU Cipta Kerja ini hanya menguntungkan pihak-pihak yang selama ini sudah berkuasa. kekeluargaan: terdapat pasal tentang lingkungan yang justru tidak melibatkan atau mengurangi peran masyarakat adat dalam proses persetujuan izin lingkungan. kenusantaraan: ada beberapa pasal yang bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan pancasila. Sehingga tidak aneh ketika banyak pihak yang mengajukan judicial review ke MK saat ini. Bhineka tunggal ika: banyak elemen masyarakat yang merasa terancam jika UU Cipta Kerja ini diberlakukan. keadilan: tidak ada perlindungan bagi UMKM dan koperasi. UMKM dan koperasi justru dibiarkan bertarung dengan korporasi besar karena terdapat pasal yang mengatakan, “iklim investasi dan kemudahan akan berlaku kepada semua pelaku usaha.” Juga mengurangi hak buruh dan menyerahkan hanya pada perjanjian. Akibatnya posisi buruh akan semakin terancam. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan: melemahkan peran masyarakat lokal dalam perlindungan lingkungan. ketertiban dan kepastian hukum: keseimbangan, keserasian, dan keselarasan:

Asas Lain, yaitu Asas partisipatif: dalam salah satu pasal di UU Cipta Kerja terkait Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL)—masyarakat tidak lagi terlibat dalam proses persetujuan AMDAL. Yang sebelumnya masyarakat bisa berpartisipasi dalam proses penyusunan AMDAL, mengajukan keberatan atas dokumen AMDAL, dan menjadi anggota penilai AMDAL. Pada saat ini, AMDAL diurus oleh tim persetujuan/uji kelayakan. Yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat (sentralisasi), terdiri dr pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan ahli.

Berikutnya adalah asas pencemar membayar: pembuangan limbah selain B3 diberi sanksi pidana sedangkan B3 tidak. Padahal hampir di semua negara, pembuangan limbah B3 yang merupakan tindak pidana. Di dalam UU Cipta Kerja ini hanya mengandalkan sanksi administratif.*** (BERSAMBUNG)

 


*** Notaris, Doktor Kehutanan Unmul Samarinda, Pengurus Pusat INI (Ikatan Notaris Indonesia) Universitas Diponegoro,  Dosen Sekolah Tinggi Ilmu  Hukum Habaring Hurung Sampit Kalimantan Tengah.


Tinggalkan Komentar