Relawan JoMan Sarankan Presiden Tunda Terbitkan Keppres Anggota BPK - Telusur

Relawan JoMan Sarankan Presiden Tunda Terbitkan Keppres Anggota BPK

BPK (Ist)

telusur.co.id - Relawan Jokowi Mania bersama Solidaritas Selamatkan BPK meminta Presiden Joko Widodo menunda menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Anggota BPK terpilih periode 2019-2024. Pasalnya, proses pemilihan 5 anggota BPK melanggar undang-undang.

"Kami pendukung Presiden Jokowi meminta agar beliau menunda menerbitkan Keppres terhadap 5 Anggota BPK dikarenakan proses seleksinya bermasalah. Kami tidak ingin Presiden terlibat dalam masalah di kemudian hari, karena seleksi Anggota BPK tersebut mengalami banyak kejanggalan," kata Sekjend Jokowi Mania Laode Kamaludin di Jakarta, Sabtu (12/10/19).

Menurut Kamaludin, pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) tahun ini merupakan pemilihan dengan proses terburuk sepanjang sejarah BPK. Terhitung sembilan kali sejak 2007, pemilihan anggota BPK berjalan normal dan wajar. Tetapi di tahun ini, bertepatan dengan akhir masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019, muncul berbagai fenomena yang memantik kritik dari publik.

Pertama, banyaknya politisi atau kader partai yang turut meramaikan bursa pemilihan. Dari 64 pendaftar, setidaknya terdapat 15 kader partai yang terdaftar dan sebagian besar merupakan calon legislatif (Caleg) DPR yang gagal menuju Senayan. Sebagai informasi, dari 9 anggota BPK saat ini terdapat 5 anggota yang memiliki kedekatan dengan partai.

"BPK sebagai lembaga tinggi negara memiliki peran dan kewenangan strategis. Sangat disayangkan apabila didominasi pimpinan dengan latar belakang partai politik. Apakah hal ini tidak berbenturan dengan prinsip BPK itu sendiri yaitu integritas, independensi, profesionalisme?" ukar Kamaludin.

Kedua, lanjut dia, aroma dugaan suap atau politik uang. Dugaan ini diperkuat dengan mekanisme pemilihan berupa voting, di mana konon 1 anggota Komisi XI dapat memilih 5 calon sekaligus. Melalui mekanisme ini, sangat berat bagi figur profesional maupun dari internal BPK untuk lolos.

"Sumber daya calon akan terfokus melakukan berbagai pendekatan (lobi) terhadap 10 fraksi di Komisi XI. Apalagi jika itu dilakukan dengan sistem paket. Mekanisme ini jelas menguntungkan calon dari partai apalagi si calon masih duduk sebagai anggota DPR," ungkapnya.

Ketiga, kata dia lagi, Komisi XI membuat aturan sendiri yang tidak lazim berupa penilaian makalah. Singkatnya, dari hasil uji makalah dinyatakan hanya 32 calon dari 62 pendaftar yang berhak mengikuti uji kepatutan dan kelayakan. 30 orang lainnya dinyatakan gugur alias didiskualifikasi.

"Poin ketiga ini pada gilirannya menjadi pemicu masalah. Selain tidak ada payung hukumnya, baik di UU BPK, UU MD3 maupun di Peraturan DPR tentang Tata Tertib, penilaian makalah juga tidak ada sejarahnya dalam setiap pemilihan anggota BPK," katanya.

BPK adalah lembaga tinggi negara yang dibentuk oleh UUD 1945. Karena itu, proses seleksi pejabatnya harus dilakukan secara profesional agar mendapatkan anggota BPK yang memiliki integritas, independensi dan profesionalisme. Namun, DPR yang ditugaskan oleh UU untuk memilih anggota BPK justru memperlihatkan sikap sebaliknya yang justru kontraproduktif.

"Dengan kalimat lain, DPR telah sedemikian rupa mempermainkan seleksi pejabat tinggi negara melalui berbagai manuver sehingga berpotensi merugikan rakyat secara luas," terang Kamaludin.

Dijelaskannya, ketidakprofesionalan DPR dalam pemilihan anggota BPK ditunjukkan dengan pelanggaran terhadap prosedur dan mekanisme yang telah ditetapkan oleh UU dan Peraturan DPR. Misalnya, inisiatif melakukan penilaian makalah yang tidak memiliki payung hukum. Meski pada akhirnya Komisi XI melakukan uji kepatutan terhadap semua peserta, tetapi mereka telah meninggalkan legacy yang buruk, terlebih telah menabrak peraturan perundang-undangan. Satu lagi, upaya melakukan uji kepatutan dan kelayakan dengan mendahului uji kelayakan dan kepatutan oleh DPD merupakan tindakan yang illegal.

Dia menilai, Komisi XI telah melakukan pelanggaran terhadap UU BPK Pasal 14 ayat (4) karena telah melewati batas waktu pemilihan anggota BPK yang baru. Di dalam pasal itu dijelaskan, DPR harus menyelesaikan pemilihan anggota BPK yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Anggota BPK yang lama. Tanggal 16 September 2019 adalah tenggat batas waktu akhir pemilihan anggota BPK mengingat peresmian pengangkatan anggota BPK periode 2014-2019 adalah tanggal 16 Oktober 2014.

"Itu artinya, produk yang dihasilkan DPR dalam pemilihan anggota BPK periode 2019-2024 telah kadaluarsa (expired) karena itu berpotensi cacat hukum. Dalam kondisi demikian, publik dapat menggugat keabsahan anggota BPK terpilih, karena dihasilkan dari proses yang menyalahi UU," terangnya.

"Di sisi lain, publik perlu mengingatkan Presiden Jokowi mengenai fenomena ini. Jangan sampai Presiden terkena 'jebakan batman' yang dilakukan oleh politisi Senayan. Terlalu berisiko jika Presiden menerbitkan Keppres sementara produk yang dihasilkan DPR dinilai cacat hukum," pungkasnya. [Fhr]


Tinggalkan Komentar