Rugikan Petani Sawit, Pungutan Ekspor CPO Harus Dicabut - Telusur

Rugikan Petani Sawit, Pungutan Ekspor CPO Harus Dicabut

Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Arief Poyuono (Foto: Telusur.co.id)

telusur.co.id - Berdasarkan Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 940 Tahun 2023 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) untuk periode 1 – 15 Mei 2023 berada di US$955,53/MT.

Harga tersebut diketahui menguat sebesar US$22,84/MT atau 2,45 persen dari harga referensi CPO periode 16 – 30 April 2023 lalu yang berada di US$932,69/MT.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Budi Santoso mengatakan, harga referensi CPO saat ini meningkat menjauhi ambang batas US$680/MT.

“Saat ini, harga referensi CPO mengalami peningkatan yang menjauhi ambang batas sebesar US$680/MT. Untuk itu, merujuk pada PMK yang berlaku saat ini, pemerintah mengenakan Bea Keluar CPO sebesar US$124/MT dan Pungutan Ekspor CPO sebesar US$100/MT untuk periode 1 – 15 Mei 2023," ujar Budi.

Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI), Arief Poyuono mengatakan, sebenarnya dengan sudah dikenakannya Bea Keluar CPO yang cukup tinggi tidak perlu dilakukan pungutan ekspor CPO. PE CPO ini akhirnya oleh Perusahaan pemilik PKS dan para trader CPO dibebankan pada harga TBS Petani Sawit dan juga Harga TBS Perusahaan Kebun Sawit . 

Berikut dampak Pungutan Ekspor CPO terhadap harga TBS Petani 
di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) minggu pertama April 2023 lalu masih di harga rata-rata sekitar Rp 2.400-2.700/kg.
Kemudian harga TBS petani sawit bermitra anjlok menjadi rata-rata Rp 2.100-2.200, dari sebelumnya rata-rata Rp 2.600-2.950/kg.

"Dan untuk harga TBS Petani Swadaya (mandiri), di beberapa Provinsi sawit seperti Sulawesi Selatan, Riau  Kaltara Kalbar , Sulbar, Sultra, Papua dan beberapa provinsi lainnya, harga TBS sawit Petani Swadaya di PKS sudah anjlok diharga Rp 1.650-Rp1.800/kg. Penurunannnya sangat jauh bila dibandingkan awal April lalu yang masih bertengger di harga Rp 2.200-2.350/kg,” kata Arief Poyuono dalam keterangan tertulis, Kamis (4/5/23).

Arief menyebutkan, hal ini merugikan petani sawit mandiri maupun petani Plasma dan bisa berdampak buruk bagi macetnya pembayaran kredit ke perbankan oleh para petani sawit. Apalagi Industri perkebunan sawit telah sangat terpengaruh oleh beberapa tahun La Nina sehingga produksi berkurang secara besar-besaran.

"Sementara di sisi biaya produksi rata-rata telah meningkat bersamaan dengan peningkatan lainnya dalam biaya pupuk, biaya perawatan tanaman, biaya tenaga kerja, kekurangan pupuk dari curah hujan yang tinggi, kerugian akibat banjir, perbaikan batu dan jalan, dan penanaman kembali," ucapnya.

Menurut Arief, dampak pungutan ekspor CPO menyebabkan perusahaan kelapa sawit besar tidak dapat menghasilkan keuntungan yang berkelanjutan,dan mungkin keluar dari industri. Hal ini akan menyebabkan dampak buruk yang parah, seperti hilangnya pekerjaan bagi masyarakat, dan pemasukan jumlah pajak.

"Karena itu Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia meminta kepada Presiden Jokowi untuk mencabut pungutan Ekspor CPO yang membuat kerugian bagi masyarakat sawit diluar pulau Jawa yang mana hidupnya banyak bergantung pada industri sawit Indonesia," ujarnya.

Jutaan petani sawit, kata Arief, saat ini merugi akibat jatuhnya harga TBS Petani yang disebabkan oleh Bea Keluar dan Pungutan Ekspor CPO yang begitu tinggi. Domestic Market Obligation yang harus dipenuhi Ratio DMO diturunkan  dari 1:6 ke 1:4, ini akan membuat harga futures di luar negeri naik dan harga dalam negeri turun, selain itu Pungutan Ekspor juga akan naik karena dasar perhitungannya menggunakan  harga internasional.

"Jadi seperti nya nasib petani sawit dan pelaku usaha Perkebunan sawit sudah didorong jatuh dan ditimpa tangganya sekalian," ucapnya 

Selain itu, Pengamat Ekonomi dan Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah mengatakan dikenakannya Bea Keluar CPO yang cukup tinggi tidak perlu dilakukan pungutan ekspor CPO. Seharusnya yang jadi pertanyaan adalah kenapa pengusana membebankan pungutan ekspor tersebut ke petani. 

"Tambahan bea keluar dan pungutan ekspor dikenakan karena harga cpo sudah jauh di atas harga referensi. Artinya sudah sangat menguntungkan bagi eksportir dan pengusaha CPO. Sewajarnya kalau ada tambahan bea keluar dan pungutan ekspor yang disetorkan ke negara," kata dia.

Sementara itu, ditempat terpisah, Pengamat Ekonomi yang juga dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman Samarinda (Kaltim) Aji Sofyan Effendi mengaku prihatin kepada nasib petani Sawit. Jatuhnya harga TBS Petani yang disebabkan oleh Bea Keluar dan Pungutan Ekspor CPO sangat berdampak kepada para petani.

"Kita prihatin kepada nasib petani sawit yang mendapatkan dampak besar akibat Bea Keluar dan Pungutan Ekspor CPO ," kata Aji.

Aji Sofyan menjelaskan, adanya bea keluar  tentunya sudah memberatkan perusahaan kelapa sawit, sehingga akan merugikan para petani sawit atau petani plasma untuk mendapatkan harga yang cukup baik bagi mereka.

"Pungutan CPO jangan dijadikan kepentingan pihak pemerintah maupun pengusaha sawit , karena ini menyangkut kehidupan orang banyak seperti petani sawit , maka ini harus menjadi perhatian pemerintah seutuhnya," ucapnya.


Tinggalkan Komentar