Siapa Menguasai Energi, Menguasai Peradaban: Politik Energi Abad 21 - Telusur

Siapa Menguasai Energi, Menguasai Peradaban: Politik Energi Abad 21

Flyer Denny JA 2025; “Siapa Menguasai Energi, Menguasai Peradaban - Politik Energi Abad 21”

telusur.co.idOleh : Denny JA

Di suatu pagi yang hening di Sahara Barat. Pancaran cahaya matahari memantul dari jutaan panel surya yang tersusun rapi seperti cermin ilahi. 

Proyek energi surya raksasa ini dibangun oleh konsorsium Tiongkok dan Uni Eropa, berambisi menyuplai listrik hingga ke Jerman dan Prancis melalui kabel bawah laut.

Kontras dramatis terjadi 8.000 kilometer ke arah barat daya, di jantung Venezuela. Di kota Maracaibo, yang dulu kaya karena minyak, kini hanya tersisa pompa-pompa tua berkarat.

Jalanan bolong, dan bayangan kejayaan yang runtuh. Tak jauh dari sana, seorang gadis bernama Anabella menangis karena ibunya pingsan kelelahan, setelah berjalan empat jam demi mendapatkan air bersih. 

Di negeri yang dulu menguasai OPEC, krisis listrik  menjadi rutinitas.

Apakah energi akan tetap menjadi alat dominasi segelintir elite, atau justru bisa menjadi pintu menuju keadilan global?

Pertanyaan ini tak bisa dielakkan: apa yang bisa Indonesia pelajari dari perbandingan dua dunia ini; Sahara dan Maracaibo?

Apakah kita akan menjadi seperti Venezuela: kaya sumber daya tapi bangkrut karena korupsi dan kegagalan manajemen? 

Atau kita bisa meniru Sahara: membangun infrastruktur masa depan bahkan di tanah yang gersang?

Energi, hari ini, bukan lagi soal sekadar bahan bakar. Ia adalah logika utama dari geopolitik. Di balik invasi Rusia ke Ukraina, pipa gas Nord Stream dijadikan alat tawar-menawar. 

Ketika negara-negara BRICS meluncurkan sistem pembayaran lintas mata uang untuk membeli minyak dan gas, tak hanya US Dolar, mereka sebenarnya sedang membangun tatanan dunia baru. 

Sementara itu, di Laut Cina Selatan dan Kutub Utara, konflik berbasis cadangan energi kian memanas.

Semua kekuatan baru selalu dimulai dengan kontrol atas sumber daya. Di abad 21, itu bukan lagi emas atau tanah, tapi energi dalam bentuk yang semakin kompleks: litium, kabel laut, AI, dan cloud energi.

Bayangkan dunia seperti catur 4 dimensi. Masa depan energi bisa mengikuti empat skenario:

Skenario 1: Dominasi Teknologi Barat.

Paten, platform, dan standar teknologi dikuasai AS dan Eropa. Negara berkembang seperti Indonesia hanya jadi pasar, bukan pemain.

Skenario 2: Dunia Bipolar Energi.

Tiongkok kuasai rantai pasok baterai dan panel surya. Dunia terbelah: Eropa–AS vs. BRICS. Perang bukan lagi senjata, tapi standar teknologi dan sistem pembayaran.

Skenario 3: Fragmentasi Regional.

Tidak ada satu penguasa. ASEAN, Afrika, dan Amerika Latin bangun sistem sendiri, sesuai kebutuhan dan budaya energi lokalnya.

Skenario 4: Dunia Desentralistik.

Energi diproduksi di rumah masing-masing. Atap rumah juga menjadi pembangkit listrik, bukan hanya peneduh. Negara kehilangan monopoli energi.

Di tengah semua itu, muncul pertanyaan mendalam: apakah dunia ingin efisiensi atau keadilan?

Indonesia, Bolivia, dan Kongo kini menghadapi dilema modern. Memang mereka kaya bahan mentah energi hijau, nikel, litium, dan kobalt. Tapi apakah itu membuat mereka berdaulat?

Sebaliknya, ada risiko kita justru menjadi “koloni hijau”: penghasil bahan mentah tanpa penguasaan teknologi atau nilai tambah.

Di Morowali, Indonesia, tambang nikel menggeliat, tapi polusi meningkat dan tenaga kerja lokal kalah dari tenaga kerja asing. 

Di Kongo, anak-anak menggali kobalt dengan tangan kosong demi industri mobil listrik di Eropa. 

Di Bolivia, pemerintah mencoba menasionalisasi litium, tapi terjebak ketegangan politik dan intervensi asing.

Kemerdekaan politik ternyata tidak menjamin kedaulatan energi.

Di masa lalu, negara memimpin industri. Di masa kini, perusahaan-perusahaan energi seperti ExxonMobil, Aramco, BYD, dan Tesla mulai menyaingi kekuatan negara.

Mereka mengatur arah transisi energi, bahkan membentuk opini publik: dari iklan “net zero” hingga kampanye sosial di media. 

Koalisi antara negara dan korporasi tak lagi jelas siapa tuan dan siapa pelayan.

Seperti dikatakan Naomi Oreskes dalam “Merchants of Doubt”, narasi publik tentang energi kini lebih ditentukan oleh PR perusahaan dibanding riset akademik.

Apakah demokrasi bisa bertahan jika energi, fondasi kehidupan modern, dikendalikan oleh entitas yang tidak dipilih rakyat?

Bayangkan: sebuah kota padat seperti Jakarta, jika nanti bergantung pada jaringan listrik pintar (smart grid) yang diatur oleh kecerdasan buatan. 

AI bisa mematikan listrik ke kawasan tertentu dengan alasan “efisiensi konsumsi”, tapi apakah itu netral?

Di tangan rezim otoriter, kontrol energi adalah alat senyap untuk membungkam oposisi. Tak perlu lagi menangkap aktivis. Cukup matikan rumahnya dari jarak jauh. 

Di masa depan, revolusi bisa dibungkam bukan dengan peluru, tapi dengan mematikan akses data dan listrik.

Apakah kita siap menghadapi “otoritarianisme digital” yang bersembunyi di balik infrastruktur energi?

Pandemi Covid-19, perang Rusia-Ukraina, dan bencana iklim menunjukkan satu hal: ketahanan energi bukan soal harga murah, tapi adaptasi cepat.

Negara yang hanya mengandalkan satu sumber atau satu wilayah akan goyah. Tapi negara yang diversifikasi dan siap dengan skenario darurat akan bertahan. 

Jepang, misalnya, kembali ke energi nuklir setelah krisis gas. Eropa menggencarkan energi angin pasca tergantung pada Rusia.

Indonesia? Kita masih di persimpangan jalan. Terlalu banyak “perencanaan”, terlalu sedikit eksekusi.

Akhirnya, politik energi bukan soal teknologi, tapi nilai-nilai.

Kita bisa memilih jalur cepat: membangun PLTU baru demi listrik murah, mengekspor nikel tanpa henti. 

Atau kita bisa memilih jalur adil: memperlambat demi inklusi, memperhatikan buruh, dan menjaga bumi.

Di Sahara, sinar matahari dijinakkan jadi listrik bagi dunia. Di Maracaibo, minyak yang dulu menjadi emas kini berubah jadi racun. 

Dua dunia, dua jalan, satu pelajaran: energi adalah refleksi moral kita sebagai peradaban.

Yang Menguasai Energi, Menguasai Sejarah

Jika suatu hari nanti anak-anak di Jakarta, Kinshasa, atau La Paz bertanya: “Siapa yang menulis ulang sejarah abad ke-21?” Maka jawabannya bukan presiden atau jenderal.

Jawabannya adalah: siapa yang menguasai energi dan memilih kepada siapa, untuk apa, dan dengan nilai apa ia mengalir.

“Di masa lalu, kekuasaan milik mereka yang menguasai tanah. Lalu mereka yang menguasai uang. Kini, kekuasaan ada pada mereka yang menguasai energi dan menentukan bagaimana ia mengalir, kepada siapa, dan dengan nilai apa.”

*Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, Penggagas Puisi Esai, Sastrawan, Ketua Umum Satupena, Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi (PHE), dan Penulis Buku.


Tinggalkan Komentar