telusur.co.id - Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, dinilai belum maksimal untuk melindungi anggota koperasi terhadap pengembalian simpanannya. Hal ini sejalan dengan semakin maraknya koperasi yang menyandang status penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) di Pengadilan Niaga.
Pernyataan itu disampaikan Menkop Teten Masduki, saat bertukar pandangan dengan Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil, dan Ketua MA Muhammad Syarifuddin terkait tentang substansi UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU pada Senin (21/3/22).
Menurut Teten, tahapan homologasi atau pengesahan oleh hakim atas persetujuan antara debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan juga lama prosesnya.
"Proses pembayaran tahapan homologasi oleh 8 Koperasi Simpan Pinjam yang ditangani Satgas cenderung sangat lambat, belum bisa mencapai target tahap 1 walaupun proses pembayaran sudah masuk tahap berikutnya,” kata Teten.
Teten menganggap, kenyataan ini memprihatinkan Kemenkop sekaligus menjadi pertanyaan besar bagaimana itikad baik dari pengurus koperasi untuk mengupayakan proses pembayaran tahapan homologasi tersebut.
Teten mengaku sudah berkoordinasi dengan Menteri ATR Sofyan Djalil untuk dapat mendukung proses Asset Based Resolution sebagai mekanisme pembayaran homologasi. "Khususnya terkait koordinasi dalam upaya pencabutan blokir terhadap aset-aset berupa lahan atau gedung yang bukan merupakan barang bukti terkait dugaan tindak pidana,” ujarnya.
Teten juga meminta perlindungan hukum kepada Mahkamah Agung agar hakim di Pengadilan Niaga berhati-hati dan tidak mudah mengabulkan permohonan PKPU/Kepailitan yang diajukan.
"Persyaratan untuk memohonkan PKPU berdasarkan Undang-Undang cukup dilakukan oleh 2 atau lebih pemohon, padahal Anggota KSP yang besar anggotanya mencapai ratusan ribu orang,” ungkapnya.
Teten juga menyebut UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian telah obsolete dan tidak memberikan kewenangan yang cukup kepada Kemenkop dan UKM untuk mengawasi jenis Koperasi Simpan Pinjam yang volumenya besar dan kantor cabangnya menyebar di banyak kota.
"Wewenang Kemenkop dan UKM tidak memadai untuk bisa mengawasi KSP dengan volume usahanya sudah sangat besar. Jadi tadi kami sampaikan perlunya untuk menyusun UU Perkoperasian yang baru sebagai ganti UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian agar sistem perkoperasian dapat ditata ulang,” tuturnya.
Merespon harapan Teten terkait UU Kepailitan dan UU Perkoperasian, Menko Polhukam Mahfud MD menegaskan pihaknya mendukung perlunya perhatian khusus terkait substansi pengaturan dalam UU Kepailitan dan PKPU yang saat ini posisinya sedang dalam proses pembahasan untuk penyempurnaan.
Selain itu, kata Mahfud, Kemenko Polhukam juga berpandangan perlunya UU Perkoperasian yang baru. "Kami sangat memahami kebutuhan perlunya pengaturan tentang Koperasi di dalam UU Kepailitan atau PKPU ataukah tentang Koperasi ini diatur secara tersendiri di dalam UU Pekoperasian yang baru. Hal ini akan kami koordinasikan, karena menurut saya ini urgent,” kata Mahfud.[Fhr]