Telusur.co.id -Penulis: Kirayna Indri Syafitri, Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah perokok aktif yang sangat besar. Berdasarkan Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) pada tahun 2023, jumlah perokok aktif atau pengguna tembakau di Indonesia mencapai 70 juta orang. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan prevalensi perokok tertinggi di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pada September 2022, rata-rata pengeluaran per kapita untuk rokok dan tembakau mencapai Rp85.630 per bulan. Angka ini terus meningkat, hingga pada Maret 2023 nilainya mencapai Rp91.003 per bulan. Yang lebih mengejutkan, jumlah tersebut bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran per kapita untuk bahan makanan seperti padi-padian Rp80.146 per bulan, sayur-sayuran Rp57.104 per bulan, dan bahan makanan lainnya.
Salah satu penyumbang utama pengeluaran untuk rokok adalah rumah tangga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Hal ini sejalan dengan data yang dilaporkan oleh Susenas bahwa enam dari sepuluh keluarga di Indonesia mengonsumsi tembakau, dan rasio ini tidak berubah signifikan antara tahun 2018 dan 2021. Pada tahun 2021, sebanyak 47,7 juta dari 75,6 juta rumah tangga (63,1%) mengalokasikan sejumlah anggaran bulanan untuk belanja tembakau, terutama untuk belanja rokok. Lebih lanjut, pada Maret 2021 sekitar 65-66% keluarga berpendapatan menengah ke bawah diketahui mengonsumsi produk tembakau.
Fakta bahwa pengeluaran untuk rokok lebih besar dibandingkan bahan makanan, terutama di kalangan masyarakat menengah ke bawah, menunjukkan adanya ketimpangan prioritas dalam pengelolaan ekonomi rumah tangga. Kebiasaan ini mencerminkan pola konsumsi yang kurang ideal, di mana kebutuhan mendasar seperti pangan sering kali tergeser oleh kebutuhan konsumtif yang tidak memiliki manfaat sama sekali. Hal ini menandakan urgensi penerapan kebijakan cukai rokok yang tidak hanya bertujuan untuk menekan prevalensi merokok, tetapi juga memberikan ruang bernapas bagi masyarakar dangan kondisi ekonomi menengah ke bawah.
Cukai rokok di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2007, yang mencakup barang kena cukai berupa hasil tembakau seperti sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya. Cukai ini bertujuan untuk mengurangi eksternalitas negatif yang dihasilkan oleh barang-barang tertentu, termasuk tembakau. Dengan demikian, tujuan utama dari penerapan cukai rokok adalah untuk menekan konsumsi tembakau, yang telah terbukti membawa dampak buruk baik dari segi kesehatan maupun ekonomi. Dasar pengenaan cukai rokok adalah Harga Jual Eceran (HJE) sebagaimana diatur dalam peraturan turunan yaitu PMK No.146/2017. Tarifnya berbentuk rupiah yang ditentukan setiap satuan batang atau gram hasil tembakau secara spesifik, serta tarif berbentuk persentase dari harga pasar (ad valorem). Dalam praktiknya, tarif ini ditujukan untuk meningkatkan harga rokok, sehingga daya beli masyarakat terhadap produk tembakau menurun.
Penerimaan cukai rokok di Indonesia pada paruh pertama tahun 2023 mengalami penurunan sebesar 12,2 persen, dengan total penerimaan mencapai Rp105,9 triliun. Menurut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, target penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) diprediksi tidak akan tercapai pada akhir tahun 2023. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya tarif cukai, yang memengaruhi volume penjualan produk tembakau. Penelitian menunjukkan bahwa tarif cukai memiliki pengaruh signifikan terhadap penerimaan cukai, di mana peningkatan tarif dapat menyebabkan penurunan konsumsi sekaligus pengalihan konsumsi ke rokok ilegal. Keberadaan rokok ilegal menjadi salah satu tantangan besar dalam penerapan kebijakan cukai. Rokok ilegal, yang dijual dengan harga jauh lebih murah, sering kali menjadi alternatif bagi perokok yang tidak mampu membeli produk legal. Fenomena ini tidak hanya merugikan negara dari sisi penerimaan cukai, tetapi juga melemahkan efektivitas kebijakan pengendalian tembakau.
Dengan mempertimbangkan dampak-dampak tersebut, pemerintah perlu konsisten dalam menerapkan kebijakan cukai rokok sebagai instrumen pengendalian tembakau. Kenaikan tarif cukai harus diiringi dengan pengawasan yang ketat terhadap peredaran rokok ilegal agar efektivitas kebijakan tidak terganggu. Selain itu, alokasi penerimaan cukai untuk program-program yang mendukung kesejahteraan masyarakat, seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi, menjadi kunci untuk mengoptimalkan manfaat dari kebijakan ini. Cukai rokok tidak hanya berfungsi sebagai instrumen fiskal untuk meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga sebagai alat untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi. Dengan pengelolaan dan pengawasan yang baik tentunya cukai rokok dapat memberikan ruang bernapas bagi perekonomian masyarakat menengah ke bawah, sekaligus menekan prevalensi merokok yang telah merugikan banyak aspek kehidupan.