telusur.co.id -Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) menyelenggarakan Konferensi Nasional Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada Selasa (25/11/2025) di Gedung A.G. Pringgodigdo, Kampus Dharmawangsa-B UNAIR. Kegiatan ini mengangkat tema “Keadilan Gender dalam Politik Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak: Kritik, Praktik, dan Harapan.” Peserta dari kalangan civitas academica serta pusat studi di lingkungan FH UNAIR hadir dengan antusias.
Konferensi ini melibatkan Center for Anti-Corruption and Criminal Law Policy (CACCP), Pusat Studi Kejaksaan dan Keadilan Restoratif (PUSKADIRA), serta Pusat Studi Hukum Kesehatan, Etik, dan HAM FH UNAIR (PSHK). Selain itu, konferensi juga menghadirkan pembicara tingkat nasional seperti Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Keterlibatan lembaga-lembaga tersebut menunjukkan semakin kuatnya komitmen nasional untuk menyelaraskan agenda penghapusan kekerasan terhadap perempuan dengan visi pembangunan berkelanjutan SDGs, khususnya SDG 5 tentang Kesetaraan Gender, SDG 16 tentang Perdamaian dan Keadilan, serta SDG 3 mengenai Kesehatan dan Kesejahteraan.
Ketua panitia, Amira Paripurna, S.H., LL.M., Ph.D., menegaskan bahwa peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan bukan sekadar simbol, melainkan tindakan intelektual dan politik.
“Kami ingin memastikan bahwa hukum tidak berhenti sebagai teks, tetapi bekerja untuk melindungi tubuh dan kehidupan perempuan serta anak. Konferensi ini adalah ruang untuk membangun keberanian kolektif dan mendorong transformasi struktural agar keadilan benar-benar dirasakan di tingkat akar rumput,” tuturnya.
Isu reformasi hukum berperspektif gender menjadi salah satu fokus utama. Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya terjadi di ruang publik, tetapi juga dalam lingkaran terdekat seperti keluarga dan relasi personal. Fenomena ini menunjukkan bahwa kekerasan bersifat sistemik, dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Karena itu, dibutuhkan sistem hukum yang kuat, responsif, dan berpihak pada korban.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Dr. Arfan Faiz Muhlizi, S.H., M.H., yang membawakan materi “Reformasi Hukum Berperspektif Gender: Dari Instrumen Perlindungan Menuju Sistem Keadilan Substantif” menjelaskan bahwa reformasi hukum tidak boleh dipahami sebatas pembentukan regulasi baru.
“Hukum tidak hanya soal norma tertulis, tetapi juga bagaimana regulasi bekerja dalam realitas sosial,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya memastikan suara masyarakat masuk secara bermakna dalam proses legislasi. Menurutnya, prinsip vox populi vox dei harus dijaga agar tidak berubah menjadi alat legitimasi kepentingan sempit.
Arfan kemudian menjelaskan perbedaan antara keadilan prosedural dan keadilan substantif dalam konteks perlindungan perempuan dan anak. Keadilan prosedural menekankan pada kepatuhan terhadap formalitas hukum, sedangkan keadilan substantif berorientasi pada dampak nyata bagi korban.
Menurutnya, hukum harus bergerak dari equality before the law menuju equality of outcome. Ia juga merujuk pada teori keadilan John Rawls yang menyatakan bahwa ketidaksamaan hanya dapat dibenarkan jika memberi manfaat bagi kelompok yang paling dirugikan. Dalam konteks gender, kebijakan hukum harus memperkuat posisi kelompok rentan, termasuk perempuan korban kekerasan.
Pada bagian lain, Arfan menyoroti pentingnya evidence-based regulation dalam pembentukan dan evaluasi peraturan perundang-undangan. Menurutnya, banyaknya regulasi tidak selalu berkorelasi dengan efektivitas perlindungan hukum. Karena itu, evaluasi terhadap aturan yang telah berlaku menjadi sangat penting. Ia menjelaskan bahwa ex-post review merupakan tahapan penting dalam siklus regulasi modern.
“Evaluasi ini berbasis pada data empiris, temuan ilmiah, serta masukan para ahli. Hal ini sejalan dengan pandangan OECD dan teori legislasi Ann & Robert Seidman tentang perlunya evaluasi sebelum perubahan regulasi dilakukan,” jelasnya.
Arfan menegaskan bahwa keadilan substantif tidak boleh mengabaikan prosedur yang adil. Menurutnya, kedua aspek tersebut harus berjalan seimbang dan saling menguatkan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Ia menilai tantangan terbesar reformasi hukum saat ini adalah membangun sistem dan institusi yang adil secara struktural. Tanpa reformasi kelembagaan yang konsisten, keadilan substantif hanya akan menjadi jargon. Karena itu, perlu adanya konsistensi antara desain regulasi, implementasi, dan evaluasi kebijakan.



