telusur.co.id -Bencana banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara memunculkan persoalan baru berupa aksi warga mengambil bahan pokok dari sejumlah minimarket yang terendam. Fenomena tersebut kemudian menjadi sorotan publik dan memunculkan perdebatan mengenai istilah yang tepat untuk menggambarkannya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Dr. Suko Widodo, Drs. M.Si, menilai bahwa situasi itu tidak seharusnya terjadi apabila pemerintah mampu melakukan antisipasi yang baik.
“Mereka mengambil hanya untuk makan karena situasi darurat, untuk bertahan hidup,” ujar Dr. Suko.
Suko menekankan bahwa tindakan tersebut kurang tepat apabila disebut sebagai penjarahan. Menurutnya, aksi itu merupakan respons manusiawi ketika warga tidak memiliki akses terhadap bantuan.
“Banyak wartawan yang kurang memahami jurnalisme kebencanaan, sehingga penulisannya perlu diperhatikan,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa dalam peliputan bencana, jurnalis wajib memiliki simpati dan empati terhadap korban, termasuk dalam pemilihan istilah.
“Saya rasa penyebutan penjarahan pada berbagai media menunjukkan framing yang buruk bagi korban, padahal terdapat alasan rasional di belakangnya,” tuturnya.
Selain itu, Suko menyoroti pernyataan sejumlah pejabat yang muncul di media selama bencana berlangsung. Ia menilai masih banyak pejabat yang justru mengeluarkan komentar yang tidak tepat.
“Dalam situasi bencana dan kategori darurat, seharusnya pejabat membuat pernyataan yang informatif dan direktif. Sementara lupakan pernyataan yang sifatnya analisis,” ujarnya.
Pejabat publik, lanjutnya, idealnya menyampaikan perkembangan penanganan bencana dengan gaya komunikasi yang berdasar pada fakta lapangan.
“Seharusnya sebelum membuat pernyataan, pejabat perlu data-data valid. Perlunya memperhitungkan risiko pada setiap pernyataan yang ada, jangan sampai ke depannya akan menimbulkan kericuhan,” tambahnya.
Lebih jauh, Suko menilai bahwa fenomena pengambilan barang oleh warga tidak lepas dari manajemen bencana yang lemah.
“Fenomena itu menunjukkan bahwa negara kurang bisa menjamin kehidupan warganya sehingga dalam bencana yang terjadi muncul berbagai side effect buruk,” jelasnya.
Ia menyebut pentingnya peningkatan pemahaman manajemen bencana serta penguatan mitigasi di masyarakat.
“Ini pelajaran ke depan, agar pemerintah dan semua pihak belajar tentang manajemen risiko bencana,” katanya.
Suko juga menyinggung pelanggaran terhadap kebijakan lingkungan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mementingkan keuntungan pribadi.
“Pemerintah perlu menegakkan regulasi yang ada secara ketat agar ke depannya hal serupa tidak terjadi,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Suko mengajak seluruh pihak untuk bekerja sama dalam membantu korban bencana dan mempercepat pemulihan.
“Selain itu, dalam keadaan ini pemerintah dan warga harus bersinergi dalam membantu saudara kita yang terdampak,” pungkasnya.



