Hari Guru, Komisi X: Kesejahteraan Pendidik Masih Memprihatinkan - Telusur

Hari Guru, Komisi X: Kesejahteraan Pendidik Masih Memprihatinkan

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Habib Syarief

telusur.co.id - Anggota Komisi X DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Habib Syarief menegaskan bahwa pemerintah harus memperjuangkan kesejahteraan guru secara serius dan berkeadilan. Ia menyoroti fakta bahwa hingga hari ini masih banyak guru, terutama guru honorer, yang kesejahteraannya jauh dari kata layak, padahal peran mereka menjadi fondasi utama kemajuan bangsa.

“Kami sangat prihatin karena kenyataannya masih banyak guru yang belum hidup layak. Mereka tidak sejahtera, bahkan harus bekerja sampingan hanya untuk bertahan hidup. Padahal tanpa guru, tidak ada generasi yang berkualitas dan tidak mungkin bangsa ini maju. Negara harus hadir untuk memastikan para guru hidup sejahtera dan layak,” ujar Habib Syarief di Jakarta, Selasa (25/11/2025).

Habib mengungkapkan, masih terdapat guru yang menerima penghasilan sangat rendah, bahkan hanya sekitar Rp 300 ribu per bulan. Kondisi ini, katanya, merupakan ironi pendidikan nasional. “Mereka memberikan ilmu dan membentuk masa depan anak-anak kita, tetapi nasib mereka justru dikesampingkan. Ini tidak boleh dianggap wajar. Guru harus mendapatkan kesejahteraan yang manusiawi dan layak,” tegasnya.

Legislator asal Jawa Barat itu menyampaikan bahwa perjuangan untuk menghadirkan kesejahteraan layak bagi guru harus diwujudkan melalui pembahasan RUU Sisdiknas. Ia memberi sorotan tajam pada ketentuan mengenai hak guru memperoleh penghasilan yang dalam draf RUU hanya menyebut frasa “di atas kebutuhan hidup minimum.”

Menurut Habib, frasa tersebut problematik. “Konsep ‘minimum’ itu sendiri berpotensi menetapkan standar kesejahteraan yang rendah. Seolah negara hanya memastikan guru tidak jatuh ke bawah garis kemiskinan, tetapi tidak memberi jaminan bahwa mereka bisa hidup layak,” jelasnya.

Karena itu, ia mendorong penambahan frasa “layak” sehingga rumusan tersebut menjadi “memperoleh penghasilan yang layak di atas kebutuhan hidup minimum”. Habib menilai penambahan kata tersebut bukan sekadar persoalan diksi, tetapi merupakan penegasan filosofis dan yuridis bahwa profesi guru harus dihargai secara bermartabat.

“Pertanyaannya, apakah pantas seorang guru yang menjadi ujung tombak pembentuk karakter dan intelektualitas bangsa berpenghasilan seadanya? Penambahan frasa ‘layak’ memberikan landasan hukum yang kuat agar kesejahteraan guru tidak lagi dipinggirkan, tetapi menjadi prioritas fundamental dalam pembangunan pendidikan,” pungkasnya. [ham]


Tinggalkan Komentar