telusur.co.id - Setiap harinya, jutaan pengguna internet di Indonesia berisiko terkena pencurian data, peretasan akun, hingga penipuan online. Namun, di tengah ancaman yang semakin nyata ini, Indonesia justru masih tertinggal dalam kesadaran dan perlindungan terhadap keamanan digital.
Dosen Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin (FTMM) Universitas Airlangga, Dr. Maryamah, S.Kom. mengungkap lemahnya regulasi perlindungan data, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap keamanan digital, serta lambatnya adopsi teknologi keamanan terbaru menjadi kombinasi yang membuat kejahatan siber terus berkembang.
“Justru individu biasa yang sering menjadi target karena minimnya kesadaran akan keamanan digital. Semakin mudah seseorang memberikan informasi pribadinya di internet, semakin besar pula peluang mereka menjadi korban,” paparnya pada Unair News. Rabu, (19/3/2025).
Kesadaran Digital yang Masih Rendah
Maryamah mengutip hasil survei Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Katadata Insight Center (KIC) pada 2022, yang menunjukkan bahwa, hanya 24,1% pengguna internet di Indonesia yang mampu membedakan email berisi malware atau phising. Lebih mengkhawatirkan lagi, 32,3% tidak mengetahui cara menggunakan aplikasi antivirus, dan hanya 34,3% yang memahami bagaimana melaporkan penyalahgunaan di media sosial.
Angka ini menunjukkan bahwa, masyarakat belum sepenuhnya memahami bagaimana melindungi diri mereka dari serangan digital. Phishing, misalnya, menjadi salah satu metode yang paling sering digunakan oleh peretas untuk mencuri data korban. Dalam skema ini, pelaku berpura-pura menjadi lembaga resmi seperti bank atau marketplace untuk mengelabui korban agar memberikan informasi sensitif mereka.
"Masyarakat perlu lebih berhati-hati dalam berbagi informasi pribadi di internet, menggunakan kata sandi yang lebih kuat, serta selalu memeriksa sumber sebelum mengklik tautan atau mengunduh file. Ini hal-hal kecil, tapi sangat berpengaruh dalam mencegah serangan siber," tuturnya.
Regulasi yang Belum Maksimal, Peretas Makin Berani
Selain itu, lemahnya regulasi juga menjadi faktor yang memperparah situasi. Indonesia memang telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), namun implementasi dan pengawasannya masih belum optimal.
"Di banyak negara lain, kebocoran data ditanggapi dengan sangat serius dan bisa berujung pada sanksi besar bagi oknum yang lalai dalam melindungi informasi pelanggan mereka," jelas Maryamah.
Kasus kebocoran data yang melibatkan jutaan informasi pribadi pengguna di Indonesia mulai dari data pelanggan e-commerce, aplikasi pinjaman online, hingga informasi pengguna layanan telekomunikasi, semuanya pernah bocor dan diperjualbelikan di dark web.
"Saat ini, kita butuh aturan yang lebih tegas dan hukuman yang benar-benar bisa memberikan efek jera," tutup Maryamah. (ari)