Senator Agita Dorong Penguatan Perlindungan dan Mekanisme Pemulangan PMI Non-Prosedural - Telusur

Senator Agita Dorong Penguatan Perlindungan dan Mekanisme Pemulangan PMI Non-Prosedural

Anggota Komite III DPD RI, Agita Nurfianti . Foto: istimewa

telusur.co.id - Anggota Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI) Daerah Pemilihan Jawa Barat (Jabar) Agita Nurfianti menyoroti persoalan perlindungan dan proses pemulangan Pekerja Migran Indonesia (PMI) non-prosedural dalam Rapat Kerja DPD RI dengan Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) / Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Selasa (4/11), di Kantor DPD RI, Senayan, Jakarta.

Jawa Barat sebagai salah satu daerah dengan jumlah pekerja migran yang besar turut menghadapi tantangan serius terkait maraknya PMI non-prosedural yang mengalami kendala hukum, penahanan, hingga kesulitan untuk dipulangkan.

Dalam kesempatan tersebut, Agita menyampaikan banyaknya aspirasi masyarakat Jawa Barat, khususnya terkait kewajiban pembayaran denda untuk pemulangan PMI non-prosedural.

“Jawa Barat ini salah satu daerah dengan jumlah Pekerja Migran yang besar. Banyak aspirasi masuk kepada saya terkait pemulangan PMI non-prosedural yang harus membayar denda. Yang ingin saya tanyakan, apakah ada mekanisme lain untuk membantu mereka kembali tanpa beban denda yang berat? Apa yang bisa kami lakukan bersama pemerintah untuk memastikan perlindungan bagi mereka, meskipun kita akui bahwa proses keberangkatan non-prosedural tidak benar dan harus dicegah,” tegasnya.

“Selain itu, sosialisasi perlu diperkuat lagi. Walau sudah dilakukan, kenyataannya praktik pengiriman non-prosedural masih terjadi. Kami harap edukasi dapat lebih masif dan menyasar titik-titik rawan keberangkatan,” lanjut Agita.

Wakil Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Dzulfikar Ahmad Tawalla menyampaikan, penanganan PMI non-prosedural merupakan tantangan lintas-instansi yang juga melibatkan imigrasi, kepolisian, hingga perwakilan RI di luar negeri.

Ia menegaskan, kasus PMI non-prosedural kerap sangat kompleks, termasuk risiko terpapar tindak pidana perdagangan orang maupun kelompok kejahatan internasional.

Sebagai ilustrasi, Wamen mencontohkan kasus seorang nelayan yang berulang kali berangkat melalui jalur ilegal dan bahkan diculik oleh kelompok Abu Sayyaf.

“Di kampungnya Ibu Wa Ode (Sulawesi Tenggara) ada satu kasus nelayan ikut kapal illegal. Itu sangat terkenal kisahnya itu, dia ikut kapal yang ke Malaysia tangkap ikan. Ternyata di perairan dia bertemu dengan komplotan terorisme Abu Sayaf, diculik. Lalu lewat kabar intelejen diketahui oleh pemerintah kita, lalu kita lakukan negosiasi dengan komplotan tersebut Alhamdulillah dibebaskan. Baliklah ke kampung halamannya. Mungkin sebulan, dua bulan, tiga bulan menanti mungkin tidak ada pemasukan tambahan akhirnya berangkat lagi lewat kapal ilegal. Sampai di perairan Malaysia ditangkap lagi sama komplotan Abu Sayaf. Beruntungnya yang nangkap itu orang yang sama dengan sebelumnya. Langsung dipulangkan. Walaupun pada akhirnya menyerang kapal Indonesia yang lainnya,” paparnya.

“Itulah kira-kira gambarannya Bapak/Ibu sekalian betapa yang kasus-kasus illegal ini sangat-sangat sulit untuk kita cegah. Di tengah-tengah upaya serius pemerintah melakukan pencegahan di semua level pemerintahan dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, sampai tingkat pusat. Dan tidak kurang-kurang juga langkah pencegahan kami lakukan seperti tempatnya Ibu Sewitri (Riau) karena Indonesia ini sangat kaya dengan jalur-jalur tua, perlintasan-perlintasan tua,” tambah Dzulfikar.

Wamen juga mengatakan, kebijakan visa kerja di negara tujuan sering menjadi faktor pendorong masyarakat memilih jalur ilegal, seperti lamanya proses visa ke Malaysia hingga beberapa bulan, bahkan lebih panjang untuk negara-negara Eropa.

“Dengan kebijakan visa kerja ini, kenapa orang banyak lebih memilih illegal daripada resmi? Karena visa itu tidak sepenuhnya berada di bawah kewenangan pemerintahan kita. Itu di negara penempatan. Kami simulasi yang paling cepat seumpamanya di Malaysia ada kurang lebih dua tiga bulan. Padahal kita hanya satu jam setengah mungkin atau paling lama dua jam penerbangan ke Malaysia. Tapi untuk visa kerja itu kita harus menunggi tiga empat bulan. Di tempat konstituennya Pak Ida Bagus itu lebih lama lagi, karena rata-rata para hospitality yang mengambil pelatihan di Bali menyasar pasar-pasar strategis di Eropa,” ungkapnya.

“Eropa di tengah-tengah kebutuhan dia terhadap pekerja yang produktif itu tidak berbanding lurus dengan kebijakan visa yang mereka tetapkan. Polandia seumpamanya itu satu tahun. Itu pun belum tentu diterima visa kerjanya. Dan kami waktu ke Warsawa dengan Pak Anas sudah menyampaikan keluhan-keluhan seperti itu tadi dan ini hampir terjadi di semua Negara di Eropa kalau terkait dengan kebijakan visa. Qatar memang kami sedang melakukan penjajakan Bapak/Ibu sekalian, kemarin sudah bertemu dengan Wakil Menteri Tenaga Kerja Qatar,” tambah Wamen.
    
Agita menegaskan komitmen DPD RI untuk terus memperjuangkan perlindungan Pekerja Migran Indonesia, antara lain melalui advokasi kebijakan pemulangan yang lebih humanis; penguatan sosialisasi anti-penempatan illegal; kolaborasi dengan pemerintah daerah dan pusat untuk meminimalisir praktik non-prosedural; serta mendorong percepatan layanan dokumen dan penempatan resmi.

“Kami ingin memastikan pekerja migran mendapat perlindungan maksimal sejak sebelum berangkat, selama bekerja, hingga kembali ke tanah air. Perlindungan kepada PMI adalah wujud dari keberpihakan negara kepada rakyatnya,” tegas Agita.
 


Tinggalkan Komentar