UNAIR Soroti Kerentanan Perempuan di Pengungsian dan Mendesak Penguatan Ruang Aman - Telusur

UNAIR Soroti Kerentanan Perempuan di Pengungsian dan Mendesak Penguatan Ruang Aman

Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dra. Myrtati Dyah Artaria, M.A., Ph.D.,. Foto: Istimewa.

telusur.co.id -Situasi pengungsian yang seharusnya menjadi tempat perlindungan sementara bagi korban bencana, masih menyimpan risiko besar terutama bagi perempuan. Dalam beberapa bencana terakhir yang terjadi di Indonesia, perempuan tercatat sebagai kelompok yang paling rentan menghadapi ancaman keamanan, kekerasan, dan tekanan psikologis selama berada di lokasi pengungsian.

Ketua Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dra. Myrtati Dyah Artaria, M.A., Ph.D., menegaskan bahwa perubahan situasi akibat bencana sering kali menciptakan ruang yang tidak aman bagi perempuan. Ia menyebut kerentanan tersebut merupakan perpaduan antara norma sosial, ketimpangan kekuasaan, serta faktor biologis.

Menurut Prof Myrta, dalam kondisi normal, perempuan kerap dianggap sebagai pihak yang harus dilindungi. Namun, pada saat terjadi bencana, struktur perlindungan sosial itu melemah karena setiap individu berfokus pada keselamatannya sendiri.

“Dalam kondisi perlindungan yang longgar, terdapat peluang untuk beberapa oknum yang memanfaatkannya,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa perubahan lingkungan sosial secara tiba-tiba — dari ruang privat menuju area komunal yang padat juga meningkatkan risiko tersebut.

“Hal seperti ini sangat bergantung pada budaya masyarakat mengenai bagaimana perempuan diperlakukan,” kata Guru Besar Antropologi UNAIR itu.

Salah satu ancaman serius yang kerap muncul di pengungsian adalah kekerasan berbasis gender (KBG). KBG mencakup kekerasan fisik, seksual, psikologis, ancaman, pembatasan kebebasan, hingga tindakan lain yang didasari identitas gender korban. Meski dapat dialami siapa saja, perempuan dan anak perempuan menjadi kelompok yang paling sering terdampak.

Prof Myrta menjelaskan bahwa risiko tersebut bukan hanya berasal dari faktor sosial, tetapi juga faktor biologis.

“Risiko kekerasan berbasis gender juga dapat terjadi karena fisiologi laki-laki dan perempuan berbeda. Di mana dorongan sifat agresif itu lebih besar pada laki-laki karena secara hormonal mereka berbeda,” ujarnya.

Namun ia menegaskan bahwa akar terbesar KBG tetap berada pada ketidaksetaraan gender, budaya patriarki, rendahnya pendidikan, serta penyalahgunaan kekuasaan.

“Penyebab terbesar tetap pada faktor sosial, seperti budaya patriarki, ketidaksetaraan gender, rendahnya pendidikan, dan penyalahgunaan kekuasaan,” tegasnya.

Selain risiko kekerasan, perempuan di pengungsian juga menghadapi tekanan psikologis yang lebih berat akibat kehilangan rumah, harta, hingga anggota keluarga. Menurut Prof Myrta, pendekatan empatik menjadi kunci pendampingan yang efektif.

“Mereka yang membantu harus bisa menempatkan diri pada posisi para pengungsi. Prioritasnya adalah memenuhi kebutuhan paling mendesak, lalu kebutuhan spesifik lainnya,” ujarnya.

Kebutuhan tersebut mencakup aspek privasi, keamanan, serta akses terhadap fasilitas kesehatan, termasuk layanan kesehatan reproduksi. Staf pengungsian juga perlu memahami norma dan kebiasaan yang dipegang para penyintas perempuan agar pendampingan tidak menimbulkan masalah baru.

Prof Myrta menekankan bahwa pengungsian yang aman dan ramah perempuan harus memenuhi beberapa indikator penting, seperti penyediaan ruang terpisah, fasilitas kebersihan memadai, hingga mekanisme pelaporan kekerasan yang aman dan rahasia. 

“Memastikan keamanan, privasi, dan martabat mereka tetap terjaga sesuai dengan norma-norma yang mereka pegang,” tegasnya.

Ia juga menambahkan bahwa keberadaan tenaga pendamping yang terlatih dalam pencegahan dan respons KBG sangat penting untuk melindungi perempuan selama masa pengungsian.

Upaya membangun pengungsian yang inklusif dan ramah perempuan, menurutnya, memerlukan kolaborasi antara pemerintah, lembaga kemanusiaan, dan komunitas lokal, agar setiap penyintas mendapatkan perlindungan dan layanan yang layak.


Tinggalkan Komentar