Rayakan Bulan Bahasa, Narabahasa Gelar Diskusi Bahas Fenomena Meme  - Telusur

Rayakan Bulan Bahasa, Narabahasa Gelar Diskusi Bahas Fenomena Meme 

Acara Safari Bahasa bertema “Bulan Bahasa dan Fenomena Media Sosial” yang digelar Narabahasa. Foto: Istimewa.

telusur.co.id -Narabahasa sebagai pendamping kebahasaan menggelar diskusi panel sebagai kegiatan untuk memperluas pengetahuan dan kesadaran berbahasa. Kegiatan ini menjadi bagian dari acara Safari Bahasa bertema “Bulan Bahasa dan Fenomena Media Sosial” yang diadakan dalam merayakan Bulan Bahasa dan Sastra serta memperingati Hari Sumpah Pemuda. 

Diskusi panel dengan topik “Meme: Humor atau Bahasa Politik?” ini menghadirkan para panelis yang ahli di bidangnya. Diskusi ini membahas bagaimana bahasa kini tidak hanya hadir dalam bentuk lisan atau tulisan, tetapi juga gambar, potongan teks, serta guyonan singkat yang dikenal sebagai meme. Fenomena meme dipandang sebagai bentuk bahasa baru di ruang digital yang memiliki fungsi hiburan sekaligus sarana komunikasi sosial dan politik. 

Ivan Lanin selaku Direktur Narabahasa dalam sambutannya menyampaikan meme saat ini dijadikan bentuk komunikasi baru hasil dari fenomena kehadiran media sosial.

“Meme merupakan bentuk komunikasi yang lucu sekaligus contoh dari literasi multimodal. Kehadiran media sosial membuat batas antara bahasa lisan dan tulisan makin lebur. Kini, kita melihat makin banyak gabungan antara keduanya, dan meme menjadi salah satu bentuk komunikasi baru yang muncul dari fenomena tersebut,” ungkap Ivan. 

Salah satu panelis, Miftahulkhairah Anwar, S.S., M.Hum., M.Phil yang hadir sebagai pakar linguistik, banyak meneliti tentang bahasa di ruang digital, kesantunan, serta dinamika komunikasi masyarakat Indonesia masa kini. Ia menjelaskan bahwa bahasa memiliki sistem dan fungsi sosial yang kompleks.

“Bahasa, dalam pandangan linguistik, adalah sistem lambang bunyi bermakna yang bersifat arbitrer dan berdasarkan kesepakatan. Bahasa digunakan manusia untuk berinteraksi sosial, bekerja sama, dan mengidentifikasi diri. Bahasa tidak sekadar [terdiri atas] tatanan gramatika, tetapi juga memiliki fungsi sosial yang kuat,” jelasnya. 

Menurutnya, bahasa tidak pernah benar-benar netral karena selalu memuat konteks budaya dan kepentingan. Meme menjadi sarana partisipasi publik yang dapat berdampak positif bila digunakan dengan cerdas. 

“Meme dapat membuka ruang partisipasi, menunjukkan bahwa politik bukan hanya milik kalangan elite, melainkan juga masyarakat luas. Namun, jika kita tidak bijak membacanya, justru bisa menimbulkan kemunduran, sebab yang viral belum tentu bernilai baik. Satu kata bisa membakar, tetapi satu kata juga bisa memadamkan,” tambahnya. 

Sementara itu, menurut Ndoro Kakung, seorang praktisi media sosial yang juga aktif sebagai konsultan komunikasi, menyoroti bagaimana media sosial kini telah menjadi alat komunikasi utama masyarakat. Menurutnya, kehidupan digital saat ini membentuk pola pikir dan perilaku banyak orang, bahkan sampai pada tahap ketika emosi dan opini publik dikendalikan oleh algoritma media sosial. 

Meme memang bisa menjadi sarana kritik sosial dan politik, tetapi jika kualitas kritik hanya sebatas meme, diskusi publik akan kehilangan kedalaman dan substansi.

“Kalau kritik hanya sebatas meme, itu masih kurang. Kita harus bisa lebih keren lagi,” tegasnya. 

Ndoro Kakung menekankan pentingnya peningkatan literasi digital dan politik di tengah maraknya penggunaan meme sebagai komunikasi publik.

“Jika politik terus dijadikan meme tanpa peningkatan literasi, demokrasi akan jadi cair, tetapi dangkal. Jika rakyat diajari membaca meme seperti membaca teks politik dengan menyadari pembuatnya siapa, tujuannya apa, dan konteksnya apa, justru demokrasi akan lebih hidup. Semua tergantung siapa yang mengendalikannya,” tuturnya. 

Devan Yulio sebagai pengembang program :Dagelan, akun media sosial yang dikenal karena konten hiburan berupa meme dan aktif sebagai kreator konten, menyampaikan pandangannya tentang perubahan fungsi meme dalam ruang digital saat ini. 

Menurutnya, dahulu meme berfungsi sebagai hiburan semata. Namun, kini, meme telah berkembang menjadi sarana komunikasi dan kampanye politik untuk mendekatkan tokoh atau lembaga dengan masyarakat, bahkan tak jarang menjadi objek meme itu sendiri. 

“Karena semua orang kini bisa membuat dan menyebarkan meme, media sosial pun menjadi makin riuh dengan berbagai ekspresi dan opini publik. Di satu sisi, hal ini menunjukkan tumbuhnya kebebasan berekspresi. Namun, di sisi lain, ada pula kasus-kasus yang berujung pada masalah hukum, seperti pelanggaran UU ITE, ketika suatu meme dianggap menyinggung," pungkas Devin.

Selain diskusi panel, acara ini juga diramaikan oleh pembacaan deklamasi puisi dari Lentera Kata serta penampilan akustik dari Brikustik yang menambah kemeriahan acara. Narabahasa juga menghadirkan Pojok Meme, sebuah pameran yang menampilkan 15 meme pemenang sayembara daring yang diselenggarakan oleh Narabahasa pada 10-20 Oktober 2025. Karya yang dipamerkan telah melalui proses kurasi dengan mempertimbangkan unsur kebaruan, kelucuan, pesan, serta relevansinya terhadap konteks sosial dan bahasa digital masa kini. 

Melalui kegiatan ini, Narabahasa berharap publik dapat melihat bahwa bahasa tidak hanya hidup dalam teks dan tuturan, tetapi juga berbagai bentuk ekspresi yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kegiatan ini bertujuan untuk memperluas pemahaman publik tentang bahasa yang terus berkembang dan beradaptasi dengan zaman. 


Tinggalkan Komentar