Tuntutan JPU Atas Terdakwa Kasus Kredit Fiktif Bank Permata, Dinilai Cacat Hukum - Telusur

Tuntutan JPU Atas Terdakwa Kasus Kredit Fiktif Bank Permata, Dinilai Cacat Hukum


telusur.co.id - Sidang kasus dugaan kredit fiktif Bank Permata kembali dilanjutkan dengan agenda pembacaan pledoi atau pembelaan oleh penasihat hukum terdakwa, Ardi Sedaka, atas tuntutan lima tahun penjara yang sebelumnya diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Penasihat Hukum terdakwa Ardi Sedaka, Didit Wijayanto, yang membacakan pledoi, menyoroti kejanggalan dan dugaan diskriminasi terhadap kasus ini.

"Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum harus dinyatakan 'Batal Demi Hukum' karena banyaknya pelanggaran-pelanggaran KUHAP maupun HAM yang telah terjadi dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan, selain juga terdapat cacat formil dalam Surat Dakwaan yaitu dengan mencantumkan peraturan perundang-undangan yang ternyata sudah daluarsa dan telah dinyatakan tidak berlaku lagi," kata Didit di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (25/8/20).

Pledoi Penasihat Hukum juga mengingatkan kembali beberapa hal, di antaranya bahwa penyidik diduga telah berperan ganda menjadi "Saksi Pelapor". Hal tersebut bertentangan dengan pasal 26 jo pasal 27 jo pasal 185 KUHAP, dan yang merupakan suatu tindakan yang disebut "abuse of power."

"Bahwa ternyata para Saksi menyatakan tidak memahami mengenai pasal-pasal yang disangkakan, tidak mengetahui siapa pelaku (tersangka), tidak memahami perbuatan pidana apa yang dilanggar, dan bahkan tidak memahami mengapa dirinya diminta keterangan sebagai saksi," tuturnya.

Didit menjelaskan, berdasarkan keterangan berbagai Ahli yang dihadirkan dalam persidangan, maka dapat dikatakan bahwa JPU tidak melaksanakan tugasnya secara benar, kurang teliti dan menimbulkan cacat formiil. Sehingga dakwaan harus dinyatakan "Batal Demi Hukum".

"Bahwa ternyata seluruh dokumen yang disita dan dihadirkan dipersidangan hanya berupa foto kopi saja. Sehingga jelas tidak memiliki nilai pembuktian dalam perkara tipibank, dan tidak dapat digunakan sebagai 'Barang Bukti' untuk menghukum terdakwa Ardi Sedaka," tukasnya.

Sebelumnya, JPU menuntut delapan terdakwa kasus dugaan kredit fiktif Bank Permata dengan hukuman masing-masing 5 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar, di PN Jaksel, Rabu (19/8/20).

JPU Bobby M mengatakan, pihaknya menuntut terdakwa Ardi Sedaka, Denis Dominanto, Eko Wilianto, Muhammad Alfian Syah, Yessy Mariana, Henry Hardijaya, Liliana Zakaria, dan Tjong Chandra dengan hukuman 5 tahun penjara karena secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 49 ayat 2 b UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 5 tahun dikurangi masa tahanan, dan denda Rp 5 miliar subsider 1 tahun," ujar Bobby.

Setelah JPU membacakan tuntutan, Ketua Majelis Hakim Florensani, kemudian bertanya kepada para terdakwa apakah memahami tuntutan jaksa dalam persidangan yang berlangsung secara daring itu.

"Para terdakwa tuntutan pak Jaksa bisa didengar? Terhadap tuntutan ini bagaimana? Nanti bisa membuat pledoi atau pembelaan diwakili penasihat hukum, kalau mau membuat masing-masing juga boleh. Sidang selanjutnya pada Selasa 25 Agustus, jam 3 (15.00 WIB)," katanya, dilansir dari Beritasatu.

Menurut data PN Jakarta Selatan, kasus ini terdaftar dalam tiga nomor perkara pada 17 Juni 2020. Pertama, dengan nomor perkara 664/Pid-Sus/ 2020/PN JKT.SEL, dengan terdakwa Eko Wilianto, Muhammad Alfian Syah, dan Yessy Mariana.

Kedua terdaftar dengan nomor perkara 665/Pid-Sus/ 2020/PN JKT.SEL, terdakwanya atas nama Denis Dominanta, Tjong Candra, dan Henry Hardijaya. Sementara, perkara ketiga teregistrasi dengan nomor perkara 666/Pid-Sus/ 2020/PN JKT.SEL, sebagai terdakwa Ardi Sedaka dan Liliana Zakaria.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, kasus ini terjadi pada bulan Desember 2013 hingga Mei 2015. Bermula ketika Johnny selaku Direktur PT Megah Jaya Prima Lestari (PT MJPL) mengajukan fasilitas kredit ke PT Bank Permata Tbk dengan tujuan pembiayaan tujuh kontrak pembangunan dan pengadaan sarana dan prasarana di lingkungan PT Pertamina (Persero) Tbk dengan nilai keseluruhan kontrak sebesar 1,6 Triliun.

Kredit itu disebut akan digunakan untuk proyek pembangunan pipanisasi avtur terminal bahan bakar minyak Makassar ke Depot Pengisian Pesawat Udara (DPPU) Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan.

Dugaan kredit fiktif mencuat ketika kredit PT MJPL macet, medio Oktober 2017. Direksi baru Bank Permata kemudian melakukan konfirmasi proyek MJPL kepada PT Pertamina. 

PT Pertamina menjawab melalui surat, dan baru diketahui kalau tujuh kontrak MJPL ternyata fiktif atau tidak ada, sehingga PT Bank Permata diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp 755 miliar.[Fhr]


Tinggalkan Komentar