telusur.co.id - Wacana koalisi permanen yang digulirkan Ketua Umum Golkar, Bahlil Lahadalia, pada HUT ke-61 Golkar langsung memantik respons dari PDIP dan PKS di kesempatan berbeda.
Menurut pakar politik Arifki Chaniago, respons cepat dua partai itu menunjukkan bahwa gagasan tersebut bukan isu seremonial, melainkan sinyal politik yang mereka anggap serius.
“PDIP sampai sekarang masih berada di posisi abu-abu. Tidak masuk kabinet, tetapi menunjukkan dukungan politik dari luar. Sementara PKS sebenarnya pernah berkoalisi dengan Prabowo, sebelum relasi itu retak ketika PKS mendukung Anies pada Pilpres 2024. Bisa mengusulkan satu menteri profesional ke Presiden terpilih sudah menjadi keuntungan tersendiri bagi PKS,” ujar Arifki, Rabu (10/12/2025).
Arifki menjelaskan pernyataan Bahlil yang sempat menyinggung Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar—terkait komentar Cak Imin soal banjir di Sumatera tentang taubat nasuha—menandakan bahwa dinamika internal kekuatan politik pendukung pemerintah sedang tidak mulus.
Sebagai mantan Cawapres Anies, ruang respon Cak Imin terhadap isu-isu publik masih menguntungkan secara elektoral karena bisa menjangkau audiens oposisi.
“Jika wacana koalisi permanen benar-benar digulirkan, partai-partai pasti mulai menyalakan lampu sen politiknya. Parpol yang semestinya berperan sebagai oposisi selama ini justru cukup nyaman dengan gaya Prabowo yang merangkul semua pihak dan membuka ruang bagi berbagai segmen kekuasaan. Keputusan untuk bergabung atau tidak ke pemerintahan sangat bergantung pada tawaran dan pilihan strategis masing-masing partai,” jelas Arifki.
Direktur Aljabar Strategic itu menilai, gaya politik Prabowo yang akomodatif memang memperluas jaringan dukungan, tetapi sekaligus melemahkan posisi tawar partai-partai pengusung awal.
Hal ini terjadi karena semakin banyak partai yang mungkin masuk dalam orbit kekuasaan Prabowo, membuat pengaruh partai pengusung harus dibagi dengan aktor lain, sehingga politik menjelang 2029 juga bakal lebih dinamis.
“Kalau melihat arah politik jangka panjang, kemungkinan-kemungkinan bagi Prabowo menuju 2029 sangat terbuka. Bisa tetap bersama Gibran, bisa dengan AHY, atau bergeser ke tokoh lain seperti Puan. Bersama Dedi Mulyadi bukan hal baru, karena Prabowo–Sandi dulu sesama kader Gerindra. Jika pilihan itu tidak bertemu, bukan tidak mungkin figur seperti Sekkab Teddy atau Menteri Keuangan Purbaya juga dipertimbangkan,” tutup Arifki.[Nug]



